Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Muka lama bebas hambatan

Munas mui secara bulat memilih kembali k.h. hasan basri sebagai ketua umum mui periode 1990-1995. pengurus baru didominasi muka lama. terbit buku biografi hasan basri. mui masih banyak tantangan.

1 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBARAT jalan tol, Munas MUI (Majelis Ulama Indonesia) IV, yang dibuka Presiden Soeharto di Istana Negara, melaju tanpa hambatan. Acaranya lancar, termasuk sidang-sidang komisi yang berlangsung di Hotel Sahid pada 22-25 Agustus lalu. Bahkan tim formatur dalam tempo dua setengah jam menyusun pengurus lengkap yang baru. Dan seperti diduga sebelumnya oleh peserta munas, K.H. Hasan Basri secara bulat terpilih kembali sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian (DPH) periode 1990-1995. Itulah hadiah ulang tahunnya yang ke-70. Sehari kemudian buku biografinya, K.H. Hasan Basri 70 Tahun, Fungsi Ulama dan Peranan Masjid, terbit pula. Buku itu disusun oleh Ramlam Mardjoned. Muka lama, hampir sembilan puluh persen, mendominasi susunan pengurus baru. K.H. H.S. Prodjokusumo masih tetap menjabat Sekretaris Umum DPH. Cuma dua wajah baru di jajaran DPH, yaitu K.H. Ali Yafie dan H. Azhar Basyir, M.A. Keduanya duduk sebagai salah seorang ketua. Sempat terbetik kabar bahwa Mustasyar NU K.H. Ali Yafie dan K.H. Azhar Basyir, M.A., Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah, bakal bersaingan. Ali Yafie, malah heran mendengar dirinya diisukan menggantikan Hasan Basri. "Pak Hasan jauh lebih pantas ketimbang saya," katanya. Walau munas sudah selesai, tantangan terhadap MUI belum khatam. Umpamanya soal fatwa yang tidak seragam. Untuk masalah yang sama, fatwa MUI daerah yang satu dengan daerah lain sering berbeda. Bahkan, ada kalanya fatwa MUI Pusat bertentangan dengan sikap organisasi Islam. Maka, mekanismenya memang harus diatur. "Masalah yang bersifat lokal difatwakan MUI daerah. Jika berskala nasional, dibikin MUI pusat dengan unsur-unsur di luar MUI," ujar Hasan Basri. Kemudian tentang dakwah islamiah. Suatu kali Presiden pernah mengimbau MUI untuk menyebar 1.000 dai ke daerah terpencil. Nyatanya, hingga kini masih tersendat. Bahkan, di Istana Negara, Pak Harto wanti-wanti supaya MUI sanggup menciptakan khairah ummah, umat pilihan. "Untuk mewujudkan amanat Presiden itu, MUI masih harus kerja keras menggalakkan bidang dakwah," kata Menteri Agama Munawir Sjadzali. Sebenarnya, Indonesia sudah punya ribuan dai. Tapi, umumnya mereka cuma pandai berdakwah lisan. Padahal, daerah-daerah terpencil membutuhkan dai yang mampu melakukan dakwah dengan tindakan, dakwah bil hal. Kalau perlu, ikut bertani. "Jadi, bukan dai yang habis ngomong terus pulang," kata Prodjokusumo. Repotnya, dai seperti itu susah dicari. Walau demikian, tahun ini MUI siap menerjunkan 200 dai ke daerah transmigran. Perhatian MUI juga diarahkan pada keterbelakangan perekonomian umat Islam Indonesia. Sebagai kelanjutan Lokakarya tentang Bunga Bank di Cisarua, Bogor, beberapa hari sebelum Munas, MUI mengimbau agar bank memberi keringanan kepada pengusaha kecil dalam agunan pinjaman. Sayang, MUI belum menetapkan soal halal-haram bunga bank. MUI akan mengkajinya dulu. Padahal, seperti kata Hasan Basri seusai acara di Istana, Presiden setuju bila bunga diganti dengan sistem bagi hasil keuntungan. Ini, kalau bunga bank itu memang mencekik. Sebetulnya, ada potensi yang bisa diharapkan kalau digarap dengan baik. Beberapa bulan lalu, MUI meminta Departemen Agama dan Menteri Dalam Negeri membikin Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pengelolaan BAZIS (badan amal, zakat, infak, dan sedekah). BAZIS akan berjalan efektif bila melibatkan aparat pemerintah dari tingkat gubernur hingga kepala desa. Itu ditegaskan kembali dalam rekomendasi Munas. Sedangkan Rudini, dalam ceramahnya di depan peserta Munas, menegaskan bahwa zakat adalah urusan intern lembaga keagamaan. Pengelolaannya merupakan kewenangan penuh lembaga keagamaan, dalam hal ini lembaga Islam. "Lembaga-lembaga lain di luar lembaga agama, termasuk lembaga pemerintah, tidak bisa ikut campur," kata Rudini. Priyono B. Sumbogo, Rustam F. Mandayun, dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus