Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBERAPA menarikkah Republik Rakyat Cina sehingga minat orang untuk menjadi suporter ke Asian Games di Beijing tiba-tiba membludak? Sampai-sampai Menteri Sekretaris Negara Moerdiono terheran-heran, bahkan sedikit kesal. Jawabannya mungkin bisa ditujuk dari hasil pengumpulan pendapat yang dilakukan TEMPO Agustus lalu. Ternyata, RRC masih kalah dengan Singapura. Buktinya, jawaban dari pertanyaan: Negeri mana yang paling ingin Anda kunjungi? Ada empat negara yang bisa dipilih. Keempatnya dikenal berkebudayaan Cina: Hong Kong, RRC, Singapura, dan Taiwan. Singapura ternyata memperoleh 33% pilihan responden. Yang memilih RRC cuma 24%. Itu pun bukan dengan alasan yang terlalu serius. Sebagian besar, 51%, cuma ingin berwisata. Bahkan hanya sekadar ingin tahu seperti apa Daratan Cina itu, 27%. Alasan lain yang sekiranya lebih penting, seperti berkunjung ke negeri leluhur, cuma dikemukakan oleh 13% responden. Hanya 5% yang ingin berkunjung untuk bisnis, dan 3% berobat. Ketika diminta memilih negara mana yang Anda anggap paling penting bagi Indonesia di antara keempat alternatif tadi, Singapura kembali nomor satu. Hampir separuh, 43%, menilai Singapuralah yang terpenting. RRC memperoleh 30%. Berikutnya baru Hong Kong dan Taiwan. Perolehan yang cukup menarik jika mengingat seluruh responden adalah warga negara Indonesia keturunan Cina. Tak kurang dari 700 kuesioner disebar ke Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogya, Kudus, dan Surabaya. Akhirnya, 638 memenuhi syarat untuk dianalisa. Banyak jawaban lain yang menarik. Tercatat 24% dari mereka mengaku sudah lebih dari tiga generasi tinggal di Indonesia, sementara 21% adalah generasi ketiga, dan 17% generasi kedua. Ada juga yang menyatakan dirinya sebagai generasi pertama, yakni 22 responden atau sekitar 3%. Sedangkan 32% responden sudah tak tahu lagi, terhitung generasi keberapa. Pekerjaan mereka juga beragam. Terbanyak adalah pegawai swasta, 205 orang atau 32%. Kemudian wiraswasta 29%. Pelajar atau mahasiswa tercatat 22%. Sisanya beragam, mulai dari profesional, seperti dokter atau pengacara, sampai sedikit pegawai negeri yang cuma sembilan orang. Sebagian besar dari responden tidak menganut agama "tradisional" keturunan Cina seperti Budha atau Konghucu, yang cuma tercatat 18% dan 4%. Mayoritas adalah penganut Kristen dan Katolik yang jika dijumlah mencapai 69% responden. Ada juga 7% yang Islam. Tetapi, keterkaitan mereka dengan kebudayaan Cina masih cukup erat jika melihat kemampuan berbahasa. Lebih dari separuh mengaku tahu berbahasa Cina. Bahkan 15% aktif, sementara 40% pasif. Lalu, apa kata mereka tentang proses pembauran. Tepat tiga perempat responden menganggap pembauran berjalan seret karena masih ada diskriminasi terhadap warga keturunan Cina. Susahnya, ketika diuji dengan pertanyaan apakah mereka mengalami kesulitan dalam mengurus soal-soal yang agak birokratis seperti KTP, pengadilan, atau sekolah, rata-rata jawaban yang diberikan adalah tidak. Apakah ini karena "keseganan" mereka berkonfrontasi langsung terhadap birokrasi, bahkan sewaktu mengisi kuesioner yang jelas merahasiakan identitas mereka? Kembali ke soal pembauran, 80% responden sependapat bahwa menikah dengan pribumi adalah cara terbaik untuk mempercepat proses penyatuan itu. Cara mendirikan sebanyak mungkin perusahaan patungan antara warga keturunan Cina dan pribumi disetujui oleh dua pertiga responden. Penjualan saham konglomerat kepada koperasi yang diprakarsai Presiden Soeharto pun dianggap cukup baik oleh 59% responden untuk mempercepat pembauran. Soal agama ternyata mereka anggap tidak relevan dengan pembauran. Masuk Islam, misalnya, oleh 62% responden dianggap tidak mempercepat proses pembauran. Demikian juga dengan tradisi ke-"Cina"-an. Ada dua pendapat yang sama besar tentang soal ini. Ada 47% yang beranggapan pembauran akan makin cepat jika tradisi "Cina" ditinggalkan, sedangkan 43% tidak sependapat. Di sini, 10% responden memilih diam. Sedikit catatan, ternyata ada juga responden yang bersikap apatis pada upaya pembauran. Menurut 13% dari mereka, tak ada lagi cara yang bisa menanggulangi proses penyatuan bangsa ini. Bagaimana pandangan mereka pada normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan RRC yang diteken 8 Agustus lalu. Hampir semua, 90%, sependapat hubungan itu akan menguntungkan Indonesia di bidang ekonomi. Sedangkan 42% menilai hubungan itu akan menguntungkan untuk keamanan dalam negeri, sementara 34% bilang tidak. Sisanya ragu menjawab. Soal dampak buruk hubungan diplomatik itu, pro dan kontra ternyata cukup tajam. Misalnya saja soal kemungkinan membanjirnya imigran gelap dari RRC. Tak kurang dari 34% mencemaskan soal itu, sedangkan 48% tidak. Sisanya memilih diam. Angka yang hampir mirip juga muncul pada kemungkinan pelarian modal ke RRC: 34% mencemaskan hal itu, 48% tidak. Kemungkinan penyusupan agen-agen komunis di sini ternyata membuat 38% responden khawatir, 44%-nya tidak. YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo