Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Museum untuk Belajar dan Bermain

Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan menyediakan cara belajar ilmu pengetahuan rumit dengan mudah dan gembira. Sebuah tempat belajar yang layak kunjung.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah "pesawat ruang angkasa" mendarat di Jakarta. Berwarna keputihan, beratap kerucut terpancung ke langit, mirip menara reaktor nuklir, sesungguhnya "pesawat" itu adalah gedung museum Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PPIptek), yang terletak di kompleks Taman Mini Indonesia Indah. Museum yang sengaja didesain futuristik ini menampilkan simbol-simbol pengetahuan seperti parabola, timbangan raksasa, dan kawat spiral melingkar ke atas, yang jika disentuh bisa meregang dan merapat. Keasyikan seperti ini bukan lagi monopoli museum teknologi di luar negeri. Dengan investasi Rp 20 miliar untuk alat-alat peraga yang canggih, Pusat Peragaan ini merupakan museum ilmu pengetahuan pertama di Indonesia. Menurut Fajar Suprapto, Kepala Divisi Pengembangan dan Kerja Sama, Pusat Peragaan tersebut memang dirancang sebagai pusat ilmu, dengan berbagai alat peraga yang mampu menyederhanakan ilmu pengetahuan. "Dengan alat peraga, rumus-rumus rumit yang diajarkan di sekolah bisa dipahami dengan lebih mudah," tutur Fajar. Didirikan pada 10 November 1995, atas ide B.J. Habibie, yang saat itu masih menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi, museum seluas 2,4 hektare itu memang menyajikan banyak "keajaiban". Pengunjung bisa berjam-jam bermain di berbagai wahana yang tersebar di tiga lantai galeri dan gedung utama, seperti wahana transpor darat, laut, dan udara, serta wahana telekomunikasi dan ruang pemutaran film-film ilmu pengetahuan. "Berbeda dengan museum lain, alat-alat peraga itu bisa disentuh sehingga ada interaksi dengan pengunjung," kata Fajar, yang sudah sejak 1995 bergabung di museum tersebut. Salah satu peragaan yang menarik adalah "bayangan beku". Di sini, tubuh seseorang dijepret dengan sinar blitz, dan bayangannya akan tetap tinggal di tembok walaupun pemilik tubuhnya sudah pergi. Peragaan ini acap memancing diskusi yang asyik. Dengan mudah pengunjung, yang mayoritas adalah pelajar, bisa memahami efek berpendar fosfor yang ada di dinding. Ada lagi peragaan "istana cahaya", yang memungkinkan pengunjung melihat fenomena cahaya, seperti pemantulan dan pemendaran. Museum pengetahuan tersebut memang menjadi tempat yang semakin digemari oleh pelajar. Apalagi dengan ditayangkannya kuis Galileo di sebuah stasiun televisi swasta—sebuah kuis ilmu pengetahuan populer yang memakai alat-alat peragaan dari Pusat Peragaan—popularitas museum itu semakin meroket. Dalam tiga bulan terakhir, pengunjung museum selalu berjumlah di atas 10 ribu per bulan, padahal sebelumnya hanya ribuan. Apalagi, museum tersebut juga mempunyai program untuk anak-anak sekolah, seperti kunjungan rombongan ke museum atau sebaliknya pihak museum yang mendatangi sekolah dengan membawa berbagai alat peraga. Bahkan, anak-anak balita pun diberi kawasan untuk bermain puzzle, menempel gambar di tembok untuk pengembangan kemampuan imajinasi dan motoriknya. Kegembiraan anak-anak berseragam pengunjung museum itu memang tampak nyata. Mereka asyik mencoba berbagai alat dan ribut mendiskusikannya. "Enak sekali bisa melihat ilmu secara nyata, sehingga bisa mempermudah belajar," tutur Anggitatriasari, murid sebuah sekolah dasar di Pamulang, Jawa Barat. Misalnya, saat ada peragaan sepeda di atas kabel yang terentang di atas kolam, para pelajar itu mencoba memahami cara kerja otot manusia. "Di sini terlihat prakteknya dan itu bisa merangsang pengetahuan lebih banyak," kata Sri Meity, guru sebuah sekolah dasar. Selain peragaan itu, masih ada lebih dari 250 alat peraga ilmu pengetahuan yang bisa disentuh, dipelajari sambil bermain. Untuk lebih menarik perhatian pengunjung, pengelola museum juga berusaha memperbarui alat-alat peraganya. Tidak mengherankan kalau investasi untuk alat-alat peraga mencapai Rp 20 miliar, walaupun sebagian besar buatan tenaga dalam negeri, untuk menekan biaya. "Itu sudah ditolong dengan alat-alat peraga hibah yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan besar," kata Fajar. Pendidikan yang bagus tampaknya memang membutuhkan biaya yang besar. Bina Bektiati, Mustafa Ismail

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus