HANCUR sudah citra Bali sebagai pulau yang paling aman di Indonesia. Selama ini, terjadi beberapa kali kerusuhan, tapi Pulau Bali, yang dikenal punya adat yang kuat, tetap tenteram. Citra baik itu dibuktikan dengan berbondong-bondongnya orang datang ke Bali jika di Jakarta atau kota lain terjadi kerusuhan.
Kini citra itu terpuruk. Amuk massa terjadi pada Rabu dan Kamis pekan lalu. Kerusuhan massa itu dipicu oleh kekalahan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri dalam merebut posisi presiden. Kerusuhan bermula di Kota Singaraja, tempat kelahiran nenek Megawati. Kantor bupati dan sejumlah mobil dirusak. Hal yang sama terjadi di Negara, kota di ujung barat. Kantor bupati dan sejumlah kantor lainnya juga dirusak dan dibakar. Esok harinya, kerusuhan lebih luas terjadi di Denpasar. Kompleks perkantoran bupati Badung luluh-lantak dibakar, toko-toko dirusak dan isinya dijarah, dan kantor bank juga diobrak-abrik. Bahkan ratusan taksi di pangkalannya juga dihancurkan. Kota Denpasar dan sekitarnya jadi lumpuh oleh amuk massa pada Kamis itu, justru tatkala Megawati bersaing untuk merebut kursi wakil presiden, yang ternyata kemudian dimenanginya.
Memang, amuk massa tak cuma terjadi di Bali. Di Solo juga terjadi perusakan serupa, kantor wali kota dan bank dibakar. Di Jakarta, tempat terkumpulnya massa PDI Perjuangan paling besar, juga ada massa yang beringas. Tapi mereka tak sampai membakar gedung, apalagi menjarah toko.
Kenapa semua ini bisa tejadi? Kenapa mudah sekali rakyat marah? Dan, kenapa kalau marah kantor-kantor pemerintah dan fasilitas umum yang dijadikan sasaran? Sesuatu yang tak wajar tiba-tiba saja dianggap sebuah kewajaran.
Banyak analisis tentang ini. Ada akumulasi kekesalan di lapisan ''jerami kering" di bawah yang mudah sekali disulut. Kekesalan kepada pemerintah itu akibat tersumbatnya aspirasi politik rakyat selama puluhan tahun. Untuk kasus Bali dan Solo, barangkali itu bisa menjelaskan kenapa gedung-gedung pemerintah—di Bali ditambah kantor Golkar, sebagai simbol pemerintahan lama—yang jadi sasaran.
Barangkali ada sebab lain, misalnya tersumbatnya komunikasi politik dari pusat ke daerah. Ketika Megawati dikalahkan Gus Dur, massa di daerah yang jauh dari Jakarta mengira karir politik Mega sudah tamat. Ketika Gus Dur berjalan bersama Mega menenteramkan massa PDIP di Jakarta, massa di daerah-daerah mungkin tak tahu sikap Mega yang menerima dengan lapang kekalahannya dari ''saudaranya" Gus Dur.
Ada analisis lain lagi, misalnya rakyat seperti tidak diberi penjelasan tentang pemilu macam apa yang baru saja lewat, yang menghasilkan suara PDIP paling banyak. Sebagian besar pendukung PDIP mengira, pemilu itu juga ''memilih presiden". Padahal, Pemilu 1999 ini sama dengan pemilu-pemilu pada masa Orde Baru, bukan memilih presiden secara langsung, tetapi memilih partai untuk mendudukkan anggota DPR dan MPR. Pemilu 2004 baru dirancang untuk langsung memilih presiden.
Sayang, amuk dan anarki telah terjadi, kantor pemerintah jadi sasaran. Padahal, untuk Solo dan Bali, yang paling punya peluang duduk di kantor itu nantinya adalah politisi dari PDIP juga, yang suaranya mayoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini