LAUT di Selat Makassar menelan korban lagi. Sabtu dinihari dua pekan lalu kapal, motor Samudera Indah, berbobot mati 60 ton dan tengah mengangkut sekitar 200 penumpang, terbalik dan tenggelam di perairan Muara Sembakung, sekitar 500 km dari pantai Samarinda, Kalimantan Timur. Sedikitnya 64 orang penumpang ditemukan tewas terkurung di kapal yang terbuat dari kayu itu. Musibah laut kedua terbesar dalam tiga tahun terakhir ini di wilayah Selat Makassar itu sempat menyibukkan aparat SAR di Tarakan, Kalimantan Timur. Dan dengan kerja keras, tim penolong akhirnya berhasil menyelamatkan 132 penumpang kapal yang sedang mengangkut ratusan tenaga kerja Indonesia yang mau pulang kampung usai bekerja di pelbagai perkebunan di Sabah, Lahdatu, dan Tawao, Malaysia. Puluhan penumpang lain, menurut laporan koresponden TEMPO, Rizal Effendi, belum ditemukan. Sedihnya, belum ada konfirmasi resmi berapa jumlah korban yang hilang tadi. Sebab, jumlah pastl berapa penumpang yang diangkut kapal yang tengah berlayar dari pelabuhan Nunukan, Kal-Tim, menuju Tarakan itu juga belum diketahui. Kepala syahbandar Tarakan, M. Fahri, mengatakan, izin muat kapal tersebut sebenarnya hanya 80 orang. Tapi, kapal, menurut beberapa penumpang yang selamat, mengangkut penumpang "ratusan orang". Karena ketidakpastian itu, pihak penolong terpaksa bertindak cepat. Apa boleh buat, 64 mayat yang dapat dikeluarkan dari kapal langsung dikuburkan secara masal di pekuburan Markoni, Tarakan. Sementara itu, beberapa yang bisa diselamatkan kini dirawat di Rumah Sakit Angkatan Laut EIyas, Tarakan. Apa penyebab tenggelamnya kapal? Seorang penumpang yang selamat mengatakan, yang tahu persisnya hanya juragan kapal, Asmadi, yang kini ditahan polisi resort Bulongan, Kalimantan Timur. "Yang saya tahu, kejadian itu tengah malam, ketika hampir semua penumpang sedang tidur. Tiba-tiba ada guncangan keras, dan air masuk," tutur Nyonya Djumilah, 34, penumpang yang kehilangan dua anak dan ibu kandungnya akibat kecelakaan itu. Setelah guncangan keras itu, yang rupanya terjadi, karena kapal, menurut penumpang yang lain, "menabrak sesuatu", ibu muda itu berusaha menjangkau dua anaknya, Dessy 9, dan Fitri, 2. Tapi, tak berhasil, karena keadaan di dalam kapal gelap. Air yang meluncur masuk ke dalam kapal membuat dia lemah dan hampir pingsan. Untunglah, tak berapa lama kemudian seseorang menarik dia keluar dari kapal. "Saya selamat, tapi anak dan ibu saya meninggal," raung Nyonya Djumilah dengan suara parau. Penyebab pasti kecelakaan tersebut nanti tentu bisa diperiksa. Namun, satu hal yang mencolok, dan tampaknya seperti suatu kebiasaan yang tak bisa hilang dalam setiap kecelakaan kapal laut di perairan Sulawesi dan Kalimantan, adalah: masih ada saja kapal mengangkut penumpang di atas kapasitasnya. Padahal, contoh akibat buruk pelanggaran itu sudah sering terlihat. Agustus, 1982, misalnya, kapal motor Hasrat Mulia tenggelam di Selat Makassar dengan 150 penumpang lebih di dalamnya. Lebih dari 75 penumpang tenggelam ?kibat kecelakaan di kapal yang kapasitas angkutnya sebenarnya hanya 60 orang itu (TEMPO, 21 Agustus 1982). Akan halnya, Samudera Indah, menurut para penumpang, juga berlayar dengan kapasitas lebih. Penumpang begitu berjejal, sehingga geladak penuh oleh pekerja yang kebanyakan mengaku mau melaksanakan ibadat puasa di kampung mereka. Anehnya, petugas di pelabuhan Nunukan, menurut cerita para penumpang, tak menegur juragan kapal. "Petugas hanya memerintahkan kami agar tak bergerombol di geladak, untuk menjaga keseimbangan kapal," tutur seorang penumpang. Dan kapal pun berlayar sampai lima jam kemudian tragedi laut itu terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini