Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Musik, Ayatullah ?

Ayatullah Khomeini melarang semua jenis musik. Musik diibaratkannya candu yang membuat manusia tidak produktif. Dalam sejarah Islam, kedudukan musik dan agama saling menunjang. (ag)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOHAMMAD Iqbal, ulama dan salah seorang "arsitek" Republik Islam Pakistan, diceritakan berkata menjelang matinya "Biarlah saya mendengar Beethoven di sorga." Dan kini Ayatullah Khomeini, arsitek Republik Islam Iran, sebaliknya melarang semua jenis musik -- dari yang pop sampai yang Beethoven. "Musik tak ada bedanya dengan candu. Karena itu harus dihilangkan program siarannya di radio dan televisi," kata ulama 79 tahun itu menurut kantor berita resmi Iran PARS. Aneh. Meski toh tak terlalu mengherankan. Iqbal, seniman besar yang juga menyukai kata-kata besar itu, wajar saja bila memberi penghargaan tinggi kepada Beethoven maupun barangkali musik-musik sejenis. Ia betapa pun bukanlah seorang kyai -- dalam artinya yang asli yang semacam pertapa. Tapi di hadapan seorang kyai, apa sih sebenarnya yang tak pantas dalam hal musik Iran? Seni Baca Qur'an Kedengarannya baik-baik saja. Memang, Radio Iran ada menyiarkan musik populer dan rock Barat, yang berhasil menarik banyak sekali muda-mudi Iran berdansa di disko-disko. Tapi itu dulu -- sebelum revolusi. Sekarang ini Radio Iran kebanyakan hanya memutar lagu-lagu Parsi dan klasik. Jadi mengapa dimusuhi? "Sekali otak manusia terbiasa dengan musik," kata Khomeini, "ia akan menjadi tidak produktif, menjadi tak berguna dan parasit." Jadi jelas. Bukan karena musik menyebabkan tindakan amoral menurut agama, misalnya. Alasannya dengan begitu jadi tidak terlalu resmi Islam -- bahkan "tidak produktif" dan "candu" itu sungguh bukan istilah kalangan ulama. Dan sikap anti musik tak cuma dipunyai Khomeini sendiri. Hitler misalnya, tak suka musik kecuali karya Wagner. Juga Plato. Namun tantangan seorang kyai terhadap,musik bukan 100% ganjii. Terutama di waktu-waktu yang lalu, memang terdapat para ulama yang menolak segala bentuk ekspresi musik. Hidup, bagi mereka, adalah kira-kira sebuah konsentrasi kesalihan yang sama sekali bersih, yang tidak tercampur -- bahkan tidak dengan musik, walaupun musik dianggap sumber emosi spiritual yang tinggi. Kesalihan dalam Islam adalah sesuatu yang kuat, tulus, dan sunyi. Tanpa musik, tanpa gambar, tanpa perintang-rintang. Suasana yang hendak dicapai memang lebih murni spiritual, dan bukan "psikologis". Tak dijelaskan dalam berita adakah Khomeini juga melarang seni baca Qur'an --yang sampai-sampai di tahun 50-an masih ada juga ditentang di Indonesia. Barangkali ia tak melarang tilawat itu. Khomeini memang bukan tokoh derwisy, yang menggunakan musik berlimpah-limpah untuk mencapai "kesatuan dengan Tuhan". Tapi sangat tak bisa dipercaya bila ia berniat menghapuskan seluruh lagu keagamaan dan puji-pujian kepada Nabi dan para imam, seperti dinyanyikan dalam perkumpulan-perkumpulan. Syahdan dalam sejarah kultur Islam musik sebenarnya merupakan salah satu komponen gemilang yang telah dihasilkan oleh percampuran budaya bangsa-bangsa. Bahkan di masa 4 orang khalifah Islam yang pertama (632-660), yang terkenal keras pada diri sendiri dan sangat hemat, Makkah dan Madinah ternyata dipenuhi musik juga. Tercatat misalnya musikus wanita 'Azzah al Mailaa yang populer dengan al ghinaa ur raqiiq (lagu-lagu tenang)nya, dan yang rumahnya menjadi salah satu "pusat musik". Juga Jamilah, di kota yang sama, yang dikelilingi baik para musikus, penyair maupun orang-orang terhormat. Demikian pula dua musikus lelaki: Tuwais dan Saib Khatiz. Memang, betapa pun terasa ada jarak antara lingkungan "duniawi" ini dengan para khalifah yang alim. Toh bukan jarak permusuhan kegiatan musik tetap dibiarkan berkembang. Sebab, alasan apakah gerangan yang bisa dipakai untuk melarang orang menerima kelembutan melodi, untuk membiarkan jiwa saling bertutur? Dan bukankah ada kisah Nabi Daud? Daud, dalam riwayat di samping seorang jagoan perang yang bisa melipat besi, juga seorang biduan yang kampiun benar. Ada cerita betapa suara sang nabi yang bernyanyi itu bergelombang mencapai bukit dan pohon-pohon. Kalau ia tarik suara, atau membawakan instrumen, burung-burung turun -- dan hinggap di tubuhnya, di lengannya. Sepenuh jiwa mereka ini menenggelamkan diri dalam lagu -- sehingga pada desah terakhir melodi, ketika lagu berhenti, burung-burung itu pun berjatuhan ke tanah. Mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus