LEBIH dari seribu orang berbondong ke Masjid Agung Tanara, Serang. Menteri Agama Munawir Sjadzali, Kuasa Usaha Arab Saudi, berikut sejumlah cendekiawan yang bermarkas di LIPI juga datang ke desa kecil itu. Semua karena Syeikh Nawawi. Ia meninggal di Mekah pada 25 Syawal 1314 Hijri atau 1897 Masehi. Pekan lalu, hari meninggalnya yang sudah 94 tahun itu kembali diperingati di Tanara. Dan berbeda dengan tahun silam, 10 Juni lalu malah ada peletakan batu pertama oleh Bupati Serang T. Sumarna, sebagai tanda mulainya pembangunan Pesantren Syeikh Nawawi. Dengan dana Rp 81 juta, di lahan 7 hektar, tahap awal disiapka~ 48 kelas untuk para santri. Nawawi memang tidak sembarang Nawawi. Kesohornya nama ulama asal Banten ini bukan sebatas pagar kampung kelahirannya. Ia bahkan disebut pembangkit pemikiran Islam di Saudi dan Mesir. Selain profesor (syeikh) dan peneliti, Nawawi dihormati sebagai pemuka ulama Saudi alias Sayyidu 'Ulama il-~hijaz. Karyanya yang monumental adalah Marah Labid li Kasyfi Ma'na Qur'an Majid (Terminal Burung untuk Menyingkap Makna Quran). Di sini nama tafsir itu disebut al-Munir (Penerang). Karena itu, Drs. Didin Hafiduddin Maturidy, 37 tahun, mengamatinya serius. Rektor Universitas Ibnu Khaldun, Bogor,itu mengatakan, Nawawi menafsir secara ra'y, rasional. Itu bila tak ada keterangan dari ayat lain di Quran dan Hadis, yang disebut m~u'sir. Jadi, kitab ini disusun berdasar metode campuran tadi. Sistematikanya klasik, yang tiap kalimat dikupas runtut: dari al-Fathihah (Pembuka) hingga berakhir ke al-Nas (Manusia). "Kupasan al-Munir lebih lengkap," kata Dr. Abdul Djalal pada Zed Abidien dari TEMPO. Ia membandingkan dengan Jalalayn (Tafsir Dua Jalal) yang ditulis Jalaluddin Muhammad ad-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman as-Sayuthi. Dosen Fakultas Syariah IAIN Surabaya ini menilai bahwa al-Munir bagus dan ilmiah, tapi di negeri ini masih sedikit pemakainya. Kendati demikian, itu tanpa mengurangi semangat A. Asnawi, M.A. terhadap tafsir yang dua jilid itu, dengan halaman 511 dan 476. Lahir di Banten 52 tahun lalu, untuk disertasi di lAlNJakarta, sejak 1985 hingga kini Asnawi meneliti karya Nawawi tadi. Tidak mau menyebut al-M~nir, Asnawi tetap melihat tafsir itu Marah Labid, sesuai dengan judul aslinya yang dari Nawawi. Judul itu, katanya, mengandung simbol angka yang menunjuk ke tahun awal ditulis, 1302 H (1887 M). Sebelumnya, orang hanya ingat: tafsir ini selesai ditulis pada 1305 H atau 1890 Masehi seperti dicantum di akhir kitab. Dan tafsir ini, kata Asnawi, mengantar untuk masyarakat Islam dari pemikiran tradisional ke modern. "Mengantar saja. meski kurang berani," ujarnya. Dominasi teologi Asy'ari, yan~g tradisional itu, agak dikikis, lalu diganti dengan teologi Maturidi yang moderat, untuk mudah memahami Mu'tazilah yang maju. Tapi semua itu dibungkus dengan tradisi. Padahal, dilihat dari isinya, pemikiran Maturidi hampir tanpa beda dengan Mu'tazilah. Dosen Fakultas Syariah IAIN Jakarta iui menyimpulkan: Nawawi minimal penganut teologi Maturidi, penengah ekstremitas antara Mu'tazilah dan Asy'ari. Contoh, sejauh mana Tuhan mempengaruhi manusia, yang kerennya disebut kasb itu? Mu'tazilah berkata, jika manusia makan, misalnya, perbuatannya itu tak dipengaruhi Tuhan. Sedangkan teologi Asy'ari menganggap itu ditentukan Tuhan. Lain dengan paham Maturidi yang dianut Nawawi. Perbuatan makan pada dasarnya ditentukan Tuhan, meski dilakukan manusia, yang bertangan dan punya mulut itu. Asnawi sedang mengkaji pendapat Nawawi tentang takdir. "Saya belum berani menyebut Syeikh Nawawi itu Mu'tazili," tuturnya. Padahal, di pendahuluan al-Munir itu Nawawi tegas mengacu ke tafsir para ulama yang rasional: al-~Futuhat al-Ilahiyyah (Pembukaan Tuhan), Mafatih al-Ghayb (Kunci Kegaiban), al-Siraj al-Munir (Cahaya Penerang), Irsyad al-'Aql al-Salim (Pembimbing Akal Sehat). Kitab-kitab itu ditulis oleh al-Jamal (1794 M), al-Razi (1209 M), al-Syarbayni (1569 M), dan Abu Su'ud (1574 M). Syeikh kita ini juga merujuk al-Miqbas (Cuplikan) karya al-Fayruzzabadi (1409 M), yang disusun berdasarkan hadis dari Ibn Abbas. Di Marah Labid Nawawi berusaha merangkum kandungan kitab tafsir tersebut. Karena itu, kata Asnawi, Marah Labid jadi analitis, membandingkan satu pendapat dengan lainnya. Dan enak dibaca. Ada pendapat lain dari Dr. Quraisy Shihab. Nawawi masih terpaku pada cara pikir ulama dari Saudi dan Mesir. "Mereka ,mengutip dan memperbandingkan, tapi kurang kritis," katanya. "Maka, tak usah heran bila Marah Labid dipenuhi hadis palsu seperti diriwayatkan al-Kalbi, perawi yang oleh jumhur ulama dianggap pembohong" Kisah-kisah israilityyat alias mitos dinukil begitu saja oleh Syeikh Nawawi. Contohnya, menurut ahli tafsir lulusan Al-Azhar Kairo dan dosen IAIN Jakarta ini, terlalu banyak untuk disebut. Kitab-kitab tafsir yang jadi rujukan Nawawi, kata Shihab, tidak luput dari kisah israiliyyat. Misalnya al-Miqbas, 90 persen hadis yang dikutip di situ palsu, dan konon bersumber dari Ibn Abbas. Al-Fayruzzabadi, penulis kitab yang dirujuk Nawawi itu, tak sepenuhnya bersalah. Dia bahkan berjasa mengumpulkannya. Puluhan karya Nawawi merebak ke ragam masalah (lihat Kitab Berdebu Pencari Ilmu). "Sebagian untuk pembaca elite, sisanya untuk yang awam," kata Asnawi. Maka, jangan anggap ganjil bila di kitab kecil Fath al-Majid (Pengantar tentang Tuhan Mahaagung), "iman" itu diartikan "sekadar" mengenal Tuhan, lewat penelitian selintas. Tapi di Marah Labid, iman dia artikan "Tahu berterima kasih kepada Tuhan." Pemahaman yang menyrempet Mu'tazilah. Menilai Nawawi pembaru - seperti dikehendaki di pengantar tafsirnya - dan pengaruh terhadap Muhammad Abduh? Tafsir Juzz 'Amma Abduh ditulis setelah diilhami pemikiran Nawawi? Beredar pada 1901 tafsir itu menyusul Marah Labid yang telah dibaca luas di Mekah dan Mesir. Berbeda dengan Nawawi, Abduh (1849-1905 M) memasukkan soal-soal kebudayaan modern ke tafsirnya. Dan tak serupa Rasyid Ridha, justru Abduh masih banyak mengutip hadis lemah. Sementara itu ada ~cont~oh lain penafsir Mu'tazili. Dialah al-Zamakhsyari di dalam alKasysyaf (Penyingkap). "Seorang Mu'tazili tidak otomatis menolak israiliyyat," kata Shihab. Abduh jelas Mu'tazili, pembaru. Untuk Nawawi memang perlu diteliti lagi. Ahmadie Thaha, Riza Sofyat, Z.M.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini