Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH berbilang jam negosiator polisi dan buron konflik Poso duduk semeja di rumah Ustad Adnan Arsal di kawasan Tanah Runtuh, Desa Gebangrejo, Poso, Sulawesi Tengah. Semuanya sekitar 30 orang: beberapa juru runding polisi dan 24 orang yang diduga bertanggung jawab atas sejumlah kerusuhan di wilayah itu.
Agenda pertemuan pada Rabu malam dua pekan lalu itu hanya satu: merembukkan kalimat yang akan dipakai untuk menerangkan penyerahan diri ke-24 buron itu. Para buron mengusulkan kalimat "mengikuti proses hukum", bukan "menyerahkan diri", seperti keinginan polisi. Mereka beralasan, "menyerahkan diri" tidak sesuai dengan ajaran Islam.
"Tapi tim polisi keberatan dengan usul itu," ujar Harun Nyak Item Abu, anggota tim negosiator polisi, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Beberapa kali suasana rembukan mendadak panas. Misalnya ketika Basri, buruan yang paling dicari karena diduga menjadi pelaku utama serangkaian pembunuhan selama konflik Poso, melebarkan topik yang dirembuk. Ia mempertanyakan kesungguhan polisi karena belum juga memeriksa 16 nama yang disebutkan terpidana mati konflik Poso, Fabianus Tibo.
Sebelum dieksekusi, Tibo mengatakan ke-16 orang itu terlibat penyerbuan Gereja Santa Theresia di Moengko Baru, Pesantren Wali Songo di Sintuwu Lembah, dan pesantren di Kayamaya. "Apakah ada jaminan polisi mau memeriksa 16 nama ini?" Basri bertanya. Kamis dini hari, sekitar 02.00, pertemuan dihentikan. "Deadlock," kata Harun. Mereka sepakat melanjutkan pertemuan selesai salat subuh.
Entah siapa yang mangkir, janji bertemu batal. Tiba-tiba, ketika Poso mulai terang tanah, puluhan polisi menggerojok desa itu. Targetnya menangkap 24 orang yang tadi malam jadi teman berembuk. Polisi rupanya sudah habis kesabaran. "Para buron mengulur-ulur waktu saja," ujar juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Polisi Muhamad Kilat.
Dalam penyerbuan ini, polisi mengerahkan pasukan dari Markas Besar Kepolisian RI dan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Mereka dikawal panser. Tapi gerak maju polisi dihadang tirai peluru dari aneka senjata-M-16, AK-47, FN-45, hingga senjata rakitan. Sesekali mereka terhenti oleh letupan bom rakitan.
Ketika polisi berhasil menduduki desa, diketahuilah dua warga, Dedi Parsan dan Ustad Riansyah, tewas tertembak. Riansyah, menurut polisi, alumni kamp militer di Afganistan. Menurut Kilat, keduanya didor karena melawan ketika hendak ditangkap. Polisi juga meringkus empat dari 24 buron. Namun Basri lolos.
Dalam "serangan fajar" itu, tak ada polisi yang menjadi korban. Tapi, pada pemakaman Ustad Ryansyah, siangnya, malang menimpa Brigadir Dua Deddy Irawan. Ia bersirobok dengan warga yang mengantar jenazah, dan mereka mengeroyok Deddy hingga tewas.
Polisi mengklaim berhasil menyita sejumlah senjata dari desa itu. Di antaranya 5 senjata dari jenis yang biasa dipakai TNI atau polisi, 3 senjata rakitan, 380 butir amunisi, dan 3 bom rakitan. Tentang asal senjata, Muhamad Kilat hanya berujar, "Masih diteliti di laboratorium forensik Mabes Polri."
Informasi malah datang dari Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, Ariyanto Sangaji, yang giat menyelidiki asal senjata di Poso sejak 2002. Ia mengatakan, senjata itu ditengarai berasal dari Mindanao, Filipina Selatan. "Polisi sudah lama tahu soal ini," ujarnya.
Menurut Ariyanto, senjata itu masuk ke Poso lewat Pulau Sangihe. Di sana, jalur distribusi dipecah, tergantung agama pembeli. Jika yang membeli kelompok muslim, senjata dimasukkan ke Poso via Palu. Kalau pemesannya dari kelompok Kristen, senjata dikirim melalui Tentena.
Senjata yang diselundupkan dari Filipina Selatan adalah senapan laras panjang M-16 dan pistol FN-45. "Senjata itu dibeli dari kelompok milisi MILF atau Moro," kata sumber Tempo yang pernah membeli senjata dari milisi itu. Sepucuk M-16 dan FN-45 dihargai Rp 6 juta.
Menurut Ariyanto, ada juga pasokan dari Jakarta dan Surabaya. "Kebanyakan berupa peluru tajam dan amunisi," katanya. Dalam jumlah kecil, ada juga senjata sisa konflik Ambon, yang diselundupkan melalui jalur Pulau Banggai-Luwuk-Poso.
Akan halnya senjata rakitan, sebagian besar buatan pandai besi lokal, yang biasa membuat pagar dan teralis. Senjata rakitan terbaik berasal dari Ampana dan Poso Kota. "Bahan bakunya dari baja, jadi kuat," kata Ariyanto. Harga per pucuknya sekitar Rp 1 juta untuk pistol dan Rp 4 juta untuk senjata laras panjang.
Maria Hasugian, Muhamad Darlis (Palu)
Dari Empat Penjuru
Para penyelundup menggunakan empat pintu untuk memasok senjata ilegal ke wilayah konflik di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Senjata yang mengalir dari setiap pintu berbeda-beda, sesuai dengan pesanan dan kebutuhan. Senjata itu kemudian dibawa dengan kapal nelayan, feri, kapal Pelni, dan bus umum, dan seterusnya disalurkan ke para pengguna.
Musim teduh, begitu kode yang dipakai para pemain senjata gelap untuk menyatakan situasi aman untuk pengiriman. Masa aman itu, menurut sumber yang diwawancarai Tempo, adalah Juni hingga September. Pada bulan-bulan ini, ombak di laut tingginya hanya sekitar satu meter.
Inilah keempat pintu tersebut:
Jakarta dan SurabayaDua kota ini kebanyakan memasok peluru atau amunisi. Bekasi dan Pelabuhan Tanjung Perak pernah dijadikan tempat transaksi senjata ilegal berikut peluru dan amunisi.
Filipina SelatanKelompok-kelompok yang bertikai membeli senjata M-16 dan FN-45. Harga satu pucuknya Rp 6 juta hingga Rp 7 juta.
Ambonn Setelah konflik Ambon mereda pada 2003, puluhan senjata diselundupkan ke Poso dengan kapal Pelni. Sedangkan senjata yang masuk ke Ambon dipasok dari Filipina, Jakarta, dan Surabaya.
Palu dan PosoSemua senjata rakitan diproduksi di dua kota ini. Namun tempat perakitan terbaik ada di Ampana dan Poso Kota. Kualitasnya setara dengan senjata organik karena menggunakan baja sebagai bahan bakunya. Mereka juga mengubah peluru karet menjadi peluru tajam.
IMH Sumber: Penelusuran Tempo dan investigasi Yayasan Tanah Merdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo