Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Para Suhu Penopang Beringin

Badan Penelitian & Pengembangan Golkar merekrut limapuluhan pegawai negeri. Langkah Beringin membangun citra.

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak biasanya kantor pusat Partai Golkar dipenuhi guru besar dan doktor, Rabu siang dua pekan lalu. Para pemegang gelar akademis itu tak berseragam Partai Beringin. Tapi mereka banyak yang mengenakan batik bernuansa kuning, warna kebesaran partai itu.

Para ”suhu” itu dilantik menjadi pengurus Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kekaryaan Partai Golkar oleh sang ketua umum, Jusuf Kalla. Ada 183 nama yang dilantik. Nama mereka dibacakan melalui pengeras suara, termasuk 23 orang yang siang itu absen.

Susunan kepengurusan badan itu mengundang perhatian publik. Itu karena masuknya puluhan pejabat dan pegawai negeri sipil. Di antaranya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Ada pula Satrio S. Brodjonegoro, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Jusuf Kalla dalam pidatonya saat pelantikan menyebut bahwa badan itu tidak dibentuk untuk menaikkan perolehan suara Golkar dalam pemilihan umum. ”Badan ini dibentuk untuk kepentingan bangsa,” kata sang Wakil Presiden.

Badan tersebut merupakan organ yang berada di luar struktur kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar. Tugasnya, antara lain, mengkaji dan meneliti kondisi kepartaian secara berkala. Mereka juga diminta menganalisis perilaku para pemilih. Periode kepengurusan ditetapkan lima tahun.

Pada zaman Orde Baru, Badan Penelitian dan Pengembangan menjadi departemen dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Golkar. Semua anggotanya pun politisi Golkar. Akbar Tandjunglah sebagai ketua umum yang memisahkan badan itu dari Dewan Pimpinan Pusat pada 2003.

Menurut Agung Laksono, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Badan Litbang Kekaryaan yang sekarang dibentuk adalah lembaga yang ”obyektif, independen, dan netral”. Anggotanya pun tak lagi harus masuk Golkar. ”Lalu, apakah hasil kajian mereka dipakai oleh Golkar? Bisa iya, tapi juga bisa tidak,” kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu.

Kepengurusan Badan dibagi menjadi Dewan Pakar dan Dewan Pelaksana. Dewan pertama dipimpin oleh Haryanto Dhanutirto, Menteri Perhubungan zaman Presiden B.J. Habibie. Adapun Dewan Pelaksana dikomandani oleh Profesor Dr. Mustopadidjaja, mantan Kepala Lembaga Administrasi Negara.

Pengurus Badan Litbang yang dilantik pada 10 Januari lalu sebenarnya merupakan hasil ”penyegaran” dari pengurus yang sudah dibentuk pada awal 2005. Sebagian besar personelnya direkrut ketika Kalla memulai kepemimpinannya. Kepengurusan awal Badan Litbang periode 2005-2009 disusun oleh Said Didu, aktivis Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia yang kini menjadi Sekretaris Kementerian BUMN.

Anwar Nasution, Miranda Goeltom, dan Direktur Jenderal Pajak (saat itu) Hadipurnomo adalah mereka yang masuk kepengurusan awal. ”Saya juga direkrut oleh Pak Said Didu,” kata Mustopadidjaja. Ketika dihubungi secara terpisah, Said Didu membantah keterangan ini.

Belakangan, tak semua pengurus awal itu aktif. Beberapa orang bahkan pindah ke partai lain. Misalnya Inspektur Jenderal (Purn.) Nurfaizi, mantan Kepala Polda Metro Jaya, dan Jafar Hafzah, Direktur Jenderal Tanaman Pangan, yang melompat ke Partai Demokrat. Maka, pada pertengahan tahun lalu Badan Litbang Kekaryaan membentuk tim penyegaran yang dipimpin Transtoto Handadhari, Direktur Utama Perum Perhutani.

Tim itu bertugas menghubungi semua tokoh yang akan diajak bergabung. ”Secara historis, mereka umumnya pernah menyalurkan pemikirannya melalui Golkar,” kata Prasetyo Sunaryo, Asisten Deputi Urusan Pengembangan Ilmu Hayati Kementerian Riset dan Teknologi, yang menjadi sekretaris tim penyegaran.

Para profesor itu direkrut dengan bermacam cara. Tokoh seperti Miranda Goeltom, Anwar Nasution, dan Satrio Brodjonegoro kembali dimasukkan daftar karena mereka beberapa kali hadir dalam acara yang digelar Golkar. Nama mereka pun sudah ada dalam kepengurusan awal. ”Saya beberapa kali menjadi narasumber di Golkar,” Miranda mengakui, ”tapi saya tak bisa jadi anggota Partai.”

Beberapa nama lain direkrut dengan pendekatan personal. Mustopadidjaja, misalnya, merekrut Profesor Dr. Saleh Ali, bekas anak buahnya di Lembaga Administrasi Negara, untuk menjadi anggota Dewan Pakar. ”Kami berdua memang sudah lama saling kenal,” kata Saleh kepada Tempo.

Masuknya nama Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri, cukup unik. Profesor yang kini ditahan di Markas Besar Kepolisian RI dengan tuduhan korupsi itu direkrut oleh Agung Laksono.

Rokhmin dan Agung kerap bersua dalam pertemuan Sedulur Cirebonan. Ini adalah paguyuban masyarakat Cirebon, Majalengka, dan Kuningan di Jakarta, tempat Rokhmin menjadi ketua umum dan Agung sebagai ketua dewan penasihat. ”Enam bulan lalu, dalam pertemuan Sedulur Cirebonan, Pak Agung mengajak saya bergabung ke Litbang Golkar,” tutur Rokhmin.

Menurut sumber, nama Rokhmin sempat dibahas secara khusus oleh Kalla dan Agung karena statusnya sebagai tersangka kasus korupsi. Namun Kalla kemudian menganggap tidak ada masalah karena Rokhmin belum dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan. Kepada Tempo, Agung membenarkan informasi itu.

Tak semua nama yang dijaring dan disusun tim penyegaran disetujui Dewan Pimpinan Pusat Golkar. Misalnya, tim awalnya memplot Setyanto P. Santosa, mantan Direktur Utama Telkom, sebagai Sekretaris Dewan Pakar. Tapi Dewan Pimpinan Pusat mengubahnya menjadi Kemala Motik Abdul Gafur. Ada pula nama yang masuk tiba-tiba. ”Misalnya Pak Marzuki Darusman jadi Wakil Ketua Dewan Pakar,” kata Prasetyo Sunaryo.

Setelah penyegaran itu, hasilnya memang luar biasa: dari 183 pengurus, 14 adalah profesor dan 39 doktor. Belakangan, beberapa dari mereka membantah ikut dalam kepengurusan Badan Litbang Kekaryaan. Umumnya dengan alasan bahwa status pegawai negeri tak memungkinkan mereka masuk partai politik. Anwar dan Miranda termasuk mereka yang mengelak.

Pelibatan para pegawai negeri itu memang menjadi sorotan publik dan kalangan politisi partai lain. ”Pegawai negeri tak boleh melakukan kegiatan politik, apalagi masuk partai politik,” kata Panda Nababan, politisi PDI Perjuangan.

Anis Matta, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera, juga menganggap Golkar melanggar undang-undang. ”Kalau melibatkan pegawai negeri, kenapa tidak sekalian merekrut TNI?” katanya.

Tapi tudingan itu dibantah Hadi Buana, Sekretaris Dewan Pelaksana badan tadi. Pengurus badan itu ia sebut tak harus menjadi anggota Partai Golkar. Ia lalu menunjuk para pengurus yang tak berseragam Golkar saat pelantikan. ”Para pegawai negeri itu juga tak punya nomor pokok anggota Golkar,” ujarnya.

Sumber Tempo di kalangan Partai Beringin memberikan informasi menarik: dipasangnya para profesor dan pejabat itu didasari pertimbangan politis, untuk mendongkrak citra sang ketua umum. ”Kesannya dia menguasai jajaran birokrasi,” kata politisi kawakan itu.

Kalla sendiri menyebut badan itu dibentuk untuk menggabungkan kekuatan para intelektual dan partai politik. Seperti biasa, ia menjawab enteng: ”Dengan kekuatan Golkar, saya tidak tahu siapa memanfaatkan siapa: Golkar memanfaatkan keahlian atau keahlian memanfaatkan Golkar.”

Bisa jadi, keduanya saling mengambil untung....

Budi Setyarso, Sunariah, Aqidah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus