SEBELUM bertolak meninggalkan arena Musyawarah Nasional dan Konperensi Besar NU di Bandarlampung, Minggu dini hari lalu, warga Nadhiyyin mendapat sangu istimewa: doa tiga serangkai. Hizib nawawi untuk menjaga diri dari ancaman musuh, hizib bahr untuk menghadapi gejolak dunia, dan ijazah dala'il khairat yang merupakan penunjuk jalan menuju kebaikan. Ini bukan sembarang doa. Berkat doa tiga ini, kata K.H. Usman Abidin, Syuriah NU dari Lombok yang memberikan pada pidato penutup, "Nahdlatul Ulama bisa bertahan sampai sekarang." Usman Abidin, 77 tahun, barangkali bisa membaca tanda-tanda keretakan umat NU di Bandarlampung. Silang pendapat tajam dan konflik antar kelompok kembali muncul. Bahkan, delegasi beberapa daerah ada yang pulang sebelum rapat akbar ini ditutup. Pengurus Wilayah NU DKI Jakarta malah minta segera diadakan muktamar luar biasa. Tujuannya, mengevaluasi kepemimpinan Ketua Tanfidziyah Abdurrahman Wahid. Walhasil, NU kembali memasuki siklus retak -- bak penyakit kambuhan, selalu muncul tanpa bisa dicegah. Meskipun ada juga sejarah baru di Konbes pertama di luar Jawa tadi: untuk pertama kali dilahirkan jabatan pelaksana tugas dan wewenang Rais Am dan Wakil Rais Am. Bobot rapat di Bandarlampung ini hanya bisa disaingi Munas Alim Ulama di Kaliurang, 1982, yang menaikkan K.H. Ali Ma'shum ke kursi Rais Am. Kini, yang naik ke tampuk pimpinan Syuriah adalah K.H. Ilyas Ruchiyat, asal Singaparna, didampingi oleh K.H. Sahal Mahfudz dari Pati. Di jajaran Tanfidziyah, lembaga pelaksana kegiatan NU, Sekjen Ghaffar Rachman diganti oleh wakilnya, Ichwan Syam. Tampaknya, beban berat akan disandang para pejabat baru NU ini. Meskipun salawat badar tetap dinyanyikan pada penutupan Konbes dan para peserta bersalam-salaman, keretakan jelas muncul kembali di permukaan. Secara berseloroh, seorang anggota Syuriah mengatakan melihat tanda-tanda ganjil sebelum berlangsung acara pembukaan. Ia menyaksikan lambang NU di latar belakang Gedung Serba Guna Universitas Lampung, tempat acara berlangsung, terpasang tanpa tali melingkari bola dunia. Padahal, tali di simbol itu sangat penting sebagai lambang persatuan dalam ikatan Allah. Akhirnya, panitia memasang tali sungguhan sebelum Wakil Presiden Sudharmono membuka pertemuan tertinggi di antara dua muktamar itu. Firasat tak enak lainnya juga menimpa serombongan ulama yang menumpang pesawat Hercules dari Bandara Halim Perdanakusuma, Senin pagi pekan lalu. Setelah terbang sekitar setengah jam, rupanya sang Hercules ngadat dan terpaksa kembali ke Halim. "Alhamdulillah, kami semua selamat," ujar Usman Abidin, Wakil Rais Am Perkumpulan Tariqah Muktabarah NU, yang ikut dalam pesawat itu. Akhirnya, Abidin dan rombongan diangkut ke Bandara Branti, Bandarlampung, dengan Hercules yang sehat. Namun, guncangan paling keras bagi sekitar 650 pemuka NU yang mengikuti Munas dan Konbes ini adalah absennya K.H. Ali Yafie, Wakil Rais Am NU. Secara mengejutkan, ahli fikih asal Pare-Pare ini lagi-lagi mempersoalkan status pengunduran dirinya. Ini merupakan buntut dari diterimanya dana Rp 50 juta dari YDBKS, pengelola SDSB, oleh Sekjen PB NU Ghaffar Rachman, November 1991 lalu. Namun, sesungguhnya itu hanya merupakan puncak silang pendapat antara Gus Dur dan Yafie. Gus Dur mewakili kalangan pesantren yang kebanyakan basisnya di Jawa, sementara Yafie yang merupakan "teman dekat" bekas Ketua Tanfidziyah Idham Chalid dari Kal-Sel, mendapat dukungan dari ulama luar Jawa. Sebuah surat bertanggal 15 Rajab, atau 21 Januari, ditujukan Ali Yafie kepada Usman Abidin, yang baru saja kembali dari Mranggen, Jawa Tengah, untuk menghadiri Musyawarah Perkumpulan Tariqah Muktabarah NU. Dalam surat pribadi itu, cerita Abidin, Yafie menyebutkan bahwa Kiai Yafie tak hadir di Bandarlampung karena persoalan PW NU DKI Jakarta yang belum beres. Yafie menginginkan di Jakarta ada 15 cabang, sementara Gus Dur ngotot cuma lima. Akhirnya, urusan macet dan pengurus wilayah NU Jakarta belum sempat disahkan. Walau demikian, Ketua NU DKI Jakarta Asmawi Manaf, yang dikenal dekat dengan Idham Chalid, ikut diundang ke Bandarlampung. Satu lagi surat Yafie yang juga dititipkan pada Usman Abidin, yakni surat kepada Konbes Bandarlampung. Yafie meminta Abidin menggantikannya membacakan pidato pembukaan (iftitah). Pesan Yafie yang juga sangat penting: ia mengajukan kembali pernyataan pengunduran dirinya. Bagai api dalam sekam, urusan Ali Yafie ini kemudian jadi bara. Munas itu diwarnai kasak-kusuk soal absennya Yafie yang biasanya dilakukan para musyawirin sembari menyantap durian Lampung yang memang sedang melimpah ruah. Sampai-sampai, sebuah terobosan baru dalam sistem pengambilan keputusan hukum dan Bahtsul Masail, yang sebenarnya merupakan "revolusi" di kalangan warga ahlus sunnah wal jamaah, yang dibahas di Munas, seperti luput dari perbincangan (lihat Menghalalkan Itjihad di Bandarlampung). Diam-diam, rupanya Kiai Wahid Zaini, pengasuh pesantren Paiton Probolinggo, terbang ke Jakarta untuk menemui Ali Yafie, Kamis pagi pekan lalu. Pada TEMPO, Zaini mengaku sudah membeli dua tiket Jakarta-Bandarlampung untuk memboyong Yafie. Tapi, "Beliau tetap pada pendirian semula dan menyatakan udzur (berhalangan)," tutur Zaini, sembari menambahkan bahwa Yafie ingin suratnya diteliti, "Apa yang tersurat dan yang tersirat." Hari itu juga Zaini balik ke Bandarlampung dan melaporkan kunjungannya ke K.H. Yusuf Hasyim, dalam rapat Tim Khusus PB NU yang terdiri dari enam orang. Ternyata, Ali Yafie sesungguhnya memberi tiga syarat, yang kalau dipenuhi memungkinkan ahli fikih itu berangkat ke Bandarlampung. Pertama, Sekjen Ghaffar Rachman diberhentikan secara penuh. Kedua, ada bukti tertulis pengembalian uang YDBKS yang jumlahnya Rp 50 juta. Ketiga, ini yang paling berat, Gus Dur harus diskors satu tahun. "Saya sampaikan pada Zaini, terserah dia, mau menyampaikan ini atau tidak," ujar Yafie pada TEMPO. Dan ternyata Zaini menafsirkannya sebagai hal yang mustahil dipenuhi, dan ia menyimpulkan Yafie sama sekali tak menginginkan jabatan Rais Am. Tiga syarat Yafie itu pun tak disampaikannya ke Konbes. Zaini juga tak bilang bahwa ia dititipi Yafie perihal dua calon Rais Am dan wakilnya, K.H. Idham Chalid dan K.H. Sahal Mahfudz. Kemudian, secara kebetulan, anak kedua dari empat anak Yafie, Hilmy, sedang mengadakan penelitian di Lampung dan mampir di arena Konbes. Konon, Hilmy sempat ketemu delegasi SulSel dan menjelaskan bahwa Yafie ingin mundur saja. Namun, Yafie menjelaskan tak pernah mengutus anaknya. "Saya sudah pesan pada dia agar jangan melibatkan diri di Konbes. Selanjutnya, saya tidak tahu," kata Yafie. Namun, dalam rapat Tim Khusus PB NU dan 17 wakil Wilayah NU, Kamis malam pekan lalu, keterangan anak Yafie ini dipakai sebagai bahan pertimbangan. Surat Yafie juga dibacakan. Atas dasar ini, sidang yang dipimpin Yusuf Hasyim tersebut sepakat menerima pengunduran diri Ali Yafie. Kesepakatan ini tak bulat, mengingat sembilan wilayah NU tak bersedia menandatangani draft keputusan ini, termasuk Usman Abidin dari NTB. Alasannya, Abidin menganggap Zaini berbohong soal syarat yang dikemukakan Yafie. Toh nasi sudah menjadi bubur. Yafie sudah dianggap mundur. Agenda rapat Tim Khusus PB NU dan 17 Wilayah sebenarnya beranjak ke masalah kedua: pembahasan soal perlu atau tidaknya jabatan Yafie diisi. Perdebatan seru pecah lagi. Ada yang minta jabatan itu distatus quo-kan sampai muktamar 1994. Ada yang minta Rais Am dijabat secara kolektif oleh Dewan Syuriah. Akhirnya, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 2 Jumat dini hari, Yusuf Hasyim sebagai pimpinan sidang memutuskan masalah ini akan dibahas di rapat pleno Konbes esok harinya. Putusan lain, surat Yafie akan dibacakan, tapi wilayah-wilayah diminta tetap teguh memegang putusan pengunduran diri Ali Yafie. Esok harinya, ternyata kesempatan membacakan surat Yafie tak ada. Acara Jumat pagi itu diisi pandangan umum Wilayah NU secara bergiliran. Dan ada saja yang memanfaatkan forum ini untuk menghujat kepemimpinan Gus Dur. Misalnya Pengurus NU Jakarta yang diketuai Asmawi Manaf. Sembari mengacung-acungkan buku Khittah NU karya almarhum K.H. Achmad Siddiq, Manaf menyerukan dua tuntutan: muktamar luar biasa dan membersihkan oknum-oknum di PB yang menyebabkan Yafie keluar. PW DKI juga menyebarkan surat "NU DKI Menggugat". Jelas serangan Manaf tertuju pada Gus Dur, yang tampak duduk di deretan belakang. Toh tokoh Forum Demokrasi itu dengan enteng berkata pada para wartawan, "Apa yang tertulis ini benar seperempat saja. Yang seperempat itu, ya, tulisan bismillah, assalamualaikum . . . hehehe." Ketika mendapat kesempatan pidato, arek Jombang yang berkaca mata minus 15 ini malah tak menyinggung soal "perlawanan" Manaf. Gus Dur bicara soal kaderisasi ulama NU, perjalanannya ke Irak dan Iran, Insiden Dili, hingga soal suksesi. "Kenapa yang maju cuma satu calon (presiden), mbok keluar calon lain," katanya. Ia juga berterima kasih pada Yafie, yang selama ini mengabdikan diri di NU dengan ikhlas. "Dalam hati saya menjerit pada Allah, kenapa ini terjadi. Tapi roda organisasi harus jalan terus," katanya. Sidang pleno Konbes siang itu diskors untuk salat Jumat. Setelah itu, lagi-lagi pandangan umum dilanjutkan. Adalah Malik Madaniy, Wakil Katib Syuriah Yogya, yang tak sabar menunggu dibacakannya surat Ali Yafie. Ia memang ikut rapat Tim Khusus PB NU yang memutuskan untuk membacakan surat itu. Ia segera mengacungkan jari, mengajukan interupsi. Tapi sidang tak menggubris. Madaniy, dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogya, pun mencak-mencak. "Saya merasa dibohongi. Tampaknya, ada upaya terselubung untuk tak membahas surat itu di floor," kata Madaniy. Sampai Jumat malam, giliran Madaniy bicara belum tiba. Ia mendatangi Yusuf Hasyim, pimpinan sidang Tim Khusus. Tapi Pak Ud -- begitu Yusuf Hasyim biasa dipanggil -- tak memberi jawaban yang memuaskan. Emosi Madaniy makin pekat. Ia mendesak Wakil Katib Syuriah Agil Munawwar agar segera membaca surat Ali Yafie. Berhasil. Surat Yafie pun untuk pertama kali dibacakan di depan sidang pada Jumat malam itu. Ternyata, tak seperti dugaan Madaniy, tak ada pembahasan soal surat Yafie oleh pimpinan sidang Konbes. Anak Bangkalan (Madura) itu pun nekat maju ke depan mimbar dan merebut mikrofon. Baru setengah menit membacakan usul daerahnya soal jabatan Rais Am, naiklah Saharbillah, Ketua Pencak Silat Pagar Nusa, onderbouw NU, dan membelokkan mikrofon dari mulut Madaniy. Suasana memanas. Tanpa bentrok fisik, Madaniy bersedia diajak "turun". Sabtu paginya, Madaniy masih penasaran. Ia mengomel di luar gedung sidang. Ia protes keras mengapa tak ada tindak lanjut buat surat Yafie. "Saya ingin kembali ke kampus, meninggalkan NU yang saya cintai ini," teriaknya. Ia mulai histeris dan terisak-isak. Sekali waktu, ia terhuyung-huyung dan roboh di tangan orang banyak. Ia dilarikan ke sebuah hotel. Aksi Madaniy rupanya berhasil. Konbes memutuskan membuat Komisi Khusus untuk membahas surat Yafie. Komisi Khusus kembali diketuai oleh Yusuf Hasyim, paman Gus Dur ini. Tempat rapatnya pun agak tersembunyi, di Wisma Universitas Lampung. Sidang pertama, Sabtu siang, menghasilkan keputusan menerima pengunduran diri Yafie. Dan, ini penting, memutuskan untuk mengisi jabatan Yafie. Ini agak di luar dugaan, mengingat Jawa Timur, misalnya, sebagai basis terbesar NU, tadinya menginginkan jabatan itu kosong sampai muktamar 1994 nanti. Komisi Khusus kemudian menyerahkan soal pengisian jabatan ini pada Rapat Pleno Pengurus Besar NU, yang kewenangannya lebih tinggi. Begitulah, Sabtu siang itu, rapat pleno mulai mencari siapa pengganti Yafie. Hadir enam anggota PB dan 24 wakil wilayah. Ternyata, 16 Wilayah setuju mengisi kekosongan Rais Am dengan merujuk pasal 25 Anggaran Dasar NU -- yakni mengisi kekosongan itu dengan anggota pengurus yang urutannya langsung di bawahnya. Artinya, dengan rumusan ini, Yusuf Hasyim akan menjadi Rais Am dan Sahal Mahfudz wakilnya. Sedangkan delapan wilayah lainnya memutuskan setuju jabatan Rais Am diisi, tapi tak harus sesuai dengan pasal 25. Alasan delapan wilayah ini, bukankah ketika Rais Am Achmad Siddiq mangkat, Wakil Rais Am Ali Yafie juga tak otomatis naik. Gus Dur sendiri agaknya memang enggan memberlakukan Pasal 25 tadi. Karena, dengan begitu Yusuf Hasyim naik ke tampuk pimpinan. Dan ini tak dikehendakinya, mengingat, katanya, "Pak Yusuf bukanlah ulama, melainkan uzama (pemimpin)." Ditambahkannya, Pak Ud itu korban perang, maka pendidikannya di pesantren tak rampung. "Ini fakta dan saya kira Pak Yusuf tak tersinggung," kata Gus Dur. Figur Rais Am haruslah ulama dan Gus Dur ternyata punya calon: Sahal Mahfudz, yang urutannya di Syuriah tepat di belakang Yusuf Hasyim. Malah, dengan nada agak mengancam, Gus Dur mengatakan akan menggerakkan massanya kalau Pak Ud nekat mencalonkan diri. Dan itu sudah dilakukannya lewat PW NU Lampung. "Sudah saya panggili wilayah-wilayah itu, saya mainkan, lah," cerita Kusnan dari Lampung, pendukung semangat Gus Dur. Semula, Yusuf Hasyim memang enggan menjadi Rais Am. Namun, barangkali di luar dugaannya, 16 wilayah berdiri mendukungnya dalam voting Pleno NU. Dan ternyata Pak Ud sudah pula membuat sebuah pertemuan di rumah makan Danau Kembar, tak jauh dari gelanggang Konbes. Konon, dalam pertemuan sembari melahap durian itu, Pak Ud dan Kiai Sahal Mahfudz, yang sejak awal memang hanya ingin menjadi wakil, sudah membuat janji untuk berduet di panggung Syuriah. Yusuf Hasyim sebagai Rais Am, Sahal wakilnya. Tapi Gus Dur terus "main". Ia bilang, Pak Ud pernah menyatakan keberatannya untuk menjadi Rais Am. Dan pimpinan Syuriah harus ulama. Dan ulama paling tinggi kedudukannya dalam urutan dewan Syuriah setelah Pak Ud adalah Sahal Mahfudz. Maka, Sabtu sore menjelang salat asar, nama Sahal masih berkibar. Apalagi anak-anak muda yang bergabung dalam berbagai organisasi di bawah NU ikut-ikutan mendukung Sahal. Yusuf Hasyim agaknya justru tersinggung dengan "permainan" Gus Dur keponakannya itu. Namun, barangkali karena "angin" sudah di pihak Sahal Mahfudz, Pak Ud kembali pada sikap semula: menolak jabatan Rais Am. Ketika mengemukakan alasan keberatannya, Pak Ud bicara amat keras. Yusuf Hasyim melihat organisasi dijalankan dengan seenaknya. Ada Forum Demokrasi yang tak pernah dilaporkan ke PB NU. Katanya, akibat kegiatan Forum Demokrasi, umat NU di pelosok sering mengalami kesulitan. Katanya, ia tak melihat adanya demokrasi dalam tubuh NU. Dan sekarang, lanjut Pak Ud, ada pula rencana apel akbar yang akan dilaksanakan Gus Dur di Parkir Timur Senayan. "Ini apa-apaan?" teriak Pak Ud. Maka, kalau ada yang memaksanya menjadi Rais Am, ia akan mundur dari NU. Gus Dur sendiri punya jawaban untuk kegiatannya di Forum Demokrasi dan apel akbar itu (lihat Duet Gus Dur--Ajengan Singaparna). Namun, dalam urusan Rais Am, Gus Dur tetap merasa srek kalau Sahal Mahfudz yang naik. Tapi Pak Ud masih punya "jurus". Sebagai pimpinan sidang, ia ingin menanyai dulu kesediaan Sahal Mahfudz. Barangkali, karena "terikat" pertemuan di rumah makan Danau Kembar tadi, Sahal pun hanya mau menjadi Wakil Rais Am. Jalan pun buntu lagi. Diputuskan, Pleno PB NU itu diserahkan ke Rumpun Syuriah, yang beranggota delapan kiai di lingkungan Syuriah. Dua Rais Syuriah sudah pulang lebih dulu, jadi angotanya tinggal enam orang. Pimpinan sidang pun beralih ke Kiai Moenasir. Baik Yusuf Hasyim maupun Sahal Mahfudz tak hadir karena merekalah yang jadi "lakon". Ketika istirahat untuk salat magrib, Moenasir, rais asal Jawa Tengah ini, sibuk melobi Yusuf dan Sahal. Ketika keduanya sulit dibujuk, Moenasir melempar ide lain. Moenasir bilang, ia punya pilihan lain, kedua jabatan itu harus diisi ulama. Siapa? Kiai Ilyas Ruchiyat dan Kiai Sahal, dan siapa saja dari sisa Rais yang ada. Kemudian, Usman Abidin mencari notes NU untuk kertas suara. Dan dari gulungan kertas yang kebanyakan berhuruf Arab pegon (gundul). Seorang Rais bisa menulis dua calon, untuk Rais Am dan Wakil. Hasilnya: Ilyas mendapat 7 suara, Sahal 5 suara, Yusuf Hasyim 1 suara, Fuad Hasyim 1 suara, dan Usman Abidin 1 suara. Naiklah Ilyas dan Sahal. Ketika Ilyas terpilih, Gus Dur rupanya sedang mandi di rumah samping Wisma Unila itu. Adalah Wakil Sekjen Tanfidziyah Musthafa Zuhad yang mengabarinya. "Huaaah . . . saya kaget. Saya tak menyangka, kan rankingnya jauh di bawah," ujar Gus Dur. Toh ia menganggap NU akan tenang di bawah Kiai Ilyas, ulama Jawa Barat pertama yang naik ke tampuk pelaksana tugas dan wewenang Rais Am, yang memang halus ini. Barangkali Gus Dur benar. Barangkali juga NU akan makin riuh rendah, seramai apel akbar dengan dua juta manusia yang akan digelar Gus Dur itu. Yang jelas, beberapa pendukung Gus Dur sudah mulai bersikap kritis pada cucu Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari pendiri NU itu. Adalah Kiai Masduki dan Dr. Syekh Hadipoernomo yang "mengadukan" Gus Dur ke rumah Ali Yafie, Sabtu malam lalu. Khatib Syuriah Jawa Timur dan wakilnya itu, yang pulang sehari lebih cepat dari jadwal Konbes, kecewa Ali Yafie tak datang. Karena, "Siapa lagi yang bisa mengerem Gus Dur kalau bukan ulama luar Jawa. Ulama Jawa akan sungkan padanya karena ia cucu Hadratus Syaikh." Mungkin memang susah mengerem Gus Dur. Idenya banyak dan agaknya sulit disaingi kalangan kiai, termasuk oleh duet baru Singaparna-Pati di puncak Syuriah ini. Konbes Bandarlampung tampaknya hanya akan menegaskan dominasi Tanfidziyah atas Syuriah. Seperti halnya pada zaman Idham Chalid sebagai Ketua PB NU, Gus Dur pun akan menggelinding dengan aman. Toriq Hadad, Siti Nurbaiti (Jakarta), dan Wahyu Muryadi (Bandarlampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini