SECARA mengejutkan, Rais Syuriah PBNU, K.H. Ilyas Ruchiyat, 57 tahun, tampil sebagai pejabat Rais Am setelah melalui pemungutan suara yang cukup seru. Sedangkan K.H. Sahal Mahfudz terpilih menggantikan posisi K.H. Ali Yafie sebagai pejabat Wakil Rais Am. Pemilihan pimpinan tertinggi NU melalui pungutan suara ini berlangsung dalam sebuah komisi kecil, setelah komisi khusus sebelumnya gagal mencapai kata sepakat. Ini peristiwa besar buat NU. Untuk pertama kali dua jabatan penting tersebut diisi melalui konperensi besar. Padahal, rapat pleno PB NU di Ancol, Jakarta, akhir tahun lalu, sepakat bahwa masalah Rais Am ditangguhkan hingga muktamar mendatang. Munculnya Kiai Ilyas sebagai pelaksana tugas dan kewenangan Rais Am melegakan banyak pihak. Ahli tasawuf dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, ini dikenal sebagai ulama yang netral. "Beliau tidak mengenal blok-blokan," komentar K.H. Ali Yafie. "Orangnya baik, keturunan ulama, dan memiliki pesantren besar." Ketua PB NU Abdurrahman Wahid juga merasa plong atas terpilihnya Kiai Ilyas dan Kiai Sahal. "Ini merupakan ahlul halli wal aqdi terbaik dari yang ada," ujar Chalid Mawardi menimpali. Keputusan ini membuktikan bahwa mayoritas peserta Konperensi Besar NU di Bandarlampung lebih mengutamakan keutuhan organisasi. Akhir tahun lalu, organisasi Islam terbesar di Indonesia ini sempat diguncang heboh kasus Yayasan Al-Hasyimiyah, Tuban, yang menerima sumbangan dana SDSB "perantaraan" Sekjen PB NU Ghaffar Rahman. Waktu itu, Kiai Ali Yafie berkeberatan dengan langkah-langkah yang dilakukan pengurus PB NU itu, dan mengajukan pengunduran diri sebagai Wakil Rais Am. Tapi ahli fikih terkemuka asal Sulawesi Selatan ini kemudian diimbau agar tidak mundur. Meski Ghaffar dicopot sementara dari kedudukannya, toh itu tak "mengendurkan" keinginan Kiai Ali Yafie mengundurkan diri sebagai Wakil Rais Am. Ia bahkan tak muncul membuka Konperensi Besar NU di Bandar Lampung. Maka, Kiai Ilyas, setelah terpilih sebagai pelaksana tugas Rais Am, secara hati-hati mengatakan: "Saya menerima jabatan ini sebagai amanat dan ujian. Mudah-mudahan selamat." Ia adalah pejabat Rais Am kedua yang berasal dari Jawa Barat -- pendahulunya K.H. Anwar Musaddad. Selama ini jabatan Rais Am selalu dipegang oleh kiai-kiai dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Terpilihnya Ilyas agaknya merupakan jalan tengah. Jauh sebelumnya nama-nama yang santer beredar untuk menjadi pejabat Rais Am adalah Kiai Sahal, K.H. Idham Chalid, dan K.H. Yusuf Hasyim. Kiai Sahal, pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, dikenal sebagai Rais Syuriah PB NU yang bisa bekerja sama dengan Ketua PB NU Abdurrahman Wahid. Kiai Idham, bekas Ketua PB NU, sengaja disorongkan kelompok ulama politikus yang berseberangan dengan Gus Dur. Sedangkan Kiai Yusuf Hasyim, populer dengan panggilan Pak Ud, diusulkan karena dalam struktur kepengurusan menjabat Rais Awal, persis di bawah Wakil Rais Am. Namun, ketiga nama unggulan itu terpelanting. Yang muncul justru Kiai Ilyas, anak kedua dari 27 putra Kiai Ruchiyat dari Pondok Pesantren Cipasung. Meski Kiai Ilyas -- lahir 31 Januari 1934 -- cuma berpendidikan pesantren, dalam memimpin Pondok Cipasung ia banyak memperhatikan soal pendidikan formal. Ia juga mendirikan SD, SMTP, SMTA, dan perguruan tinggi, di Cipasung. Jabatan resmi Kiai Ilyas sekarang ini adalah Rektor Institut Agama Islam Cipasung (IAIC) -- perguruan tinggi dengan 4.000 mahasiswa. Dalam kehidupan sehari-hari, Kiai Ilyas dikenal sebagai "kiai sarungan". Ia tak pernah melepas sarungnya, sekalipun tengah di kampus IAIC. "Saya hanya bercelana panjang jika menghadiri acara resmi di Bandung atau Jakarta," katanya. Penampilannya sehari-hari yang tak berubah itu justru membuat orang makin respek kepadanya, dan kemudian mengantarnya sebagai orang penting dalam NU. Perjalanan Kiai Ilyas hingga ke jabatan puncak itu memang dirintisnya dari tangga paling bawah. Waktu remaja, ia berturut-turut memimpin IPNU Singaparna, dan terus ke tingkat Jawa Barat. Setelah itu, ia terpilih sebagai Rais Syuriah Singaparna, dan kemudian melangkah sebagai Rais Syuriah dan Musytasyar NU Jawa Barat. Hasil Muktamar lalu mendudukkannya sebagai salah Rais Syuriah PB NU, Rais nomor urut enam dari 14 Rais yang ada. Sebagai pelaksana tugas Rais Am, Kiai Ilyas berharap agar keutuhan NU kembali terwujud, sehingga semua program bisa berjalan dengan lancar. Maka, langkah pertama yang dilakukannya sebagai pejabat tertinggi NU adalah mengadakan konsolidasi ke dalam. "Agar NU benar-benar dijalankan sebagaimana khitah 1926," katanya. Selama ini, ujar Kiai Ilyas, yang terjadi di tubuh NU adalah perbedaan pendapat. "Itu merupakan nasihatnasihat buat PB NU. Mudah-mudahan menjadi perhatian kita semua," tambahnya. Ia juga menyadari adanya perbedaan pendapat antara dirinya dan Gus Dur. Tapi, tuturnya lagi, karena yang mengambil keputusan adalah Kiai Ali Yafie, yang terlihat adalah perbedaan pendapat antara Abdurrahman Wahid dan Ali Yafie. Menghadapi gaya kepemimpina Gus Dur yang suka "anehaneh" itu (menurut ukuran NU, tentu), Kiai Ilyas secara tegas mengingatkan, "Masing-masing pihak terlebih dahulu harus mengerti dan menyadari tugasnya. Masing-masing harus toleransi, jujur, dan saling menghargai." Akan halnya Kiai Sahal Mahfudz, 55 tahun, yang menggantikan kedudukan Kiai Ali Yafie, juga dikenal sebagai seorang ulama yang baik, berperi laku halus, luwes, dan bijaksana. Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda di Desa Kajen, Pati, Jawa Tengah ini termasuk satu di antara sepuluh ulama yang pantas memegang jabatan tertinggi di NU. Kiai Sahal adalah saingan utama Kiai Ali Yafie dalam pemilihan Wakil Rais Am pada Muktamar NU ke-28 di Krapyak, 1989 lalu. Waktu itu Kiai Sahal mendapat 100 suara -- separuh perolehan Kiai Ali Yafie -- yang didukung Kiai Idham Chalid. Kiai Sahal, ulama yang dikenal sebagai kutu buku itu (termasuk komik juga dibacanya), diperkirakan bisa dengan mudah bekerja sama dengan Ketua PB NU Abdurrahman Wahid. Beberapa pendapatnya sesuai dengan Gus Dur. Rektor Institut Islam NU Jepara ini pernah mengatakan akan tetap mempertahankan kepemimpinan Gus Dur, "Sebagai eksponen yang punya komitmen tinggi terhadap khitah 1926, dan juga memiliki wawasan yang luas." Seperti halnya Gus Dur, gagasan Kiai Sahal juga sempat membuat banyak orang terbelalak. Pada acara halal-bihalal Keluarga Besar K.H. Bisri Sjansuri di Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, selepas Lebaran tahun lalu, Sahal mengemukakan hukum mencoblos dalam pemilu. Menurut Sahal, hukum mencoblos tanda gambar dalam pemilu termasuk fardlu kifayah -- kalau sebagian umat Islam sudah melakukannya, yang lain boleh tidak melakukan. Pernyataan Sahal segera disambar oleh Ketua MDI Jawa Timur As'ad Umar dan K.H. Sohib Bisri, pengasuh Pesantren Darul Ma'arif, Denanyar, Jombang. Menurut kedua kiai dari Jombang ini, hukum mencoblos termasuk fardlu 'ain -- wajib bagi setiap umat Islam untuk melakukannya tanpa kecuali. "Kalau dikatakan fardlu kifayah, nanti banyak orang bisa jadi golput," kata Shohib Bisri, waktu itu. Menurut Kiai Sahal, bila fardlu kifayah diterapkan untuk pencoblosan tanda gambar, hal itu tidak berarti memberi peluang bagi golput. "Justru fardlu kifayah itu tidak memberi peluang sama sekali untuk golput," katanya. Ia menambahkan pengertian kifayah di sini tidak seperti dalam pengertian salat jenazah. Dalam pemilu, orang yang tidak melaksanakan haknya itu tidak memperoleh pahala dan merugi. Gus Dur rupanya bisa menerima gagasan Kiai Sahal itu. Masalahnya, katanya, jangan dilihat dari sudut pandang agama, tapi juga dari peraturan negara yang mempunyai kekuatan tersendiri. Ini menunjukkan bahwa Kiai Sahal punya wawasan luas dan berpandangan jauh. Apalagi sebentar lagi kan pemilu. Kia Sahal memang dididik oleh orangtuanya, K.H. Mahfudz, agar mandiri. Sejak kecil, Sahal, yang lahir di Desa Kajen 17 Desember 1937, sudah digembleng orangtuanya di berbagai pesantren. Ia pernah belajar di Pesantren Brendo di Pare, Kediri, lalu di Pesantren Serang di Rembang, dan kemudian baru Maslakul Huda. Dalam pendidikan formal, Sahal cuma sampai di kelas tiga madrasah tsanawiyah. Tapi kesukaannya pada buku dan kegemarannya pada pesantren membuktikan Sahal kecil berhasil menjadi ulama yang disegani dan punya bobot tersendiri. Dialah yang menggelar konsep "pondok pesantren sebagai moderator pembangunan pedesaan". Di situ, terutama sejak mengasuh Maslakul Huda tahun 1963, Sahal memperkenalkan pendidikan manajemen, sosial, lalu tata cara berorganisasi dan dakwah dengan bahasa Inggris dan Arab. Sebab itu, pesantren warisan orangtuanya menjadi sentral kegiatan pesantren-pesantren lain. Dan hingga kini, di Maslakul Huda tak kurang dari 500 santri yang berguru pada Kiai Sahal. Agus Basri, Siti Nurbaiti, dan Wahyu Muryadi (Bandarlampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini