Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Siasat baru gus dur duet baru gus dur

Munas dan konbes NU di bandarlampung. pengunduran diri K.H. Ali Yafie. terpilihnya K.H. Ilyas Ruchiyat dan K.H. Sahal Mahfudz. wawancara Abdurrahman Wahid, dan K.H. Ali Yafie.

1 Februari 1992 | 00.00 WIB

Siasat baru gus dur  duet baru gus dur
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TALI yang melingkari bola dunia simbol NU itu lupa dipasang di ruang sidang konperensi besar dan musyawarah nasional NU di Bandarlampung, pekan lalu. Para peserta pun pada bisikbisik: "Janganjangan NU pecah." Dan ternyata benar terjadi, walau panitia sempat menyusulkan tali dengan simpul itu. Sumbernya tak lain soal kursi, terutama setelah Wakil Rais Am K.H. Ali Yafie mengajukan pengunduran diri. Setelah kembali ke "Khitah 1926" dalam Muktamar Situbondo(1984), NU menanggalkan kegiatannya di bidang politik praktis. Organisasi tradisional Islam ini kembali ke hakikatnya, sebagai organisasi kemasyarakatan yang lebih banyak mengurus masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan kesejahteraan umat. Peran pengurusnya pun bergeser. Syuriah yang beranggota para kiai kembali punya peran di bidang keagamaan. Tanfidziyah, kepemimpinan NU yang bertugas sebagai eksekutif, tak lagi mengurus politik praktis. Banyak pihak ketika itu berharap organisasi tradisional NU itu akan menjadi organisasi modern. Apalagi Ketua Tanfidziyahnya Abdurrahman Wahid yang banyak akal dan ide itu bisa diterima oleh berbagai kalangan. Dalam muktamar Krapyak, Yogya (1989), K.H. Achmad Siddiq, yang dikenal dekat dengan Gus Dur, terpilih lagi menjadi Rais Am. Namun, organisasi dengan "dua mesin" (Syuriah dan Tanfidziyah) itu tak lama berjalan seimbang. Ucapan dan tindakan Gus Dur sering membuat kaget para ulama yang sebagian besar sudah sepuh. Mulai dari soal mengganti salam bismillah sampai pembentukan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Ketika masih ada duet Siddiq-Gus Dur, kepincangan itu bisa diluruskan. Rais Am Achmad Siddiq, yang tinggal di Jember, bisa menenangkan para ulama, terutama yang duduk dalam Syuriah. Memang pernah ada "pengadilan Gus Dur" oleh para ulama di Cirebon (Maret 1989). Atau ada usaha untuk memojokkan cucu pendiri NU ini dalam Muktamar Krapyak, Yogyakarta. Dengan dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah, duet Siddiq-Gus Dur masih tampil di muktamar yang lalu. Gus Dur tetap Gus Dur. Ia banyak diserang, tapi tak sedikit yang menerimanya. Mulai dari pernyataannya mengenai "kasus Monitor" sampai soal SDSB. Ia tak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, tapi kemudian mendirikan Forum Demokrasi. Di pentas nasional, pimpinan NU ini tampaknya masih saja beredar. Namun, di dalam tubuh NU sendiri, ia tak selalu di atas angin. Sepeninggal Kiai Siddiq awal 1991, Gus Dur seperti pemain tunggal. Syuriah pun mulai mempersoalkan ucapan dan tindakannya. Ali Yafie, dalam rapat pleno PB NU di Ancol, memang ditunjuk sebagai "pelaksana sehari-hari" Rais Am. Namun, hubungannya dengan Gus Dur tampak kurang mulus. Apalagi setelah pecah kasus bantuan SDSB yang diterima lewat PB NU. Wakil Rais Am itu minta agar yang terlibat yakni Gus Dur dan sekjennya Gaffar Rahman ditindak. Kalau tidak, ahli ilmu fiqh itu akan mundur. Usaha untuk mendamaikan memang sudah dilakukan akhir tahun lalu. Tapi ketika peserta rapat akbar NU itu sedang asyik membahas berbagai hal yang menyangkut kepentingan umat, datang surat Kiai Yafie. Sekali lagi, ulama asal Sul-Sel ini minta mundur dengan alasan yang sama. Wakil Rais Am, yang tak datang ke Lampung, itu minta agar para peserta membicarakan kepemimpinan NU itu. Di luar agenda peserta pun bersemangat membicarakan lowongnya kursi Rais Am, Wakil Rais Am dan, Sekjen. Tanpa harus menerjang AD/ART, mereka mencari jalan tengah. Jabatan yang diberikan kepada pimpinan puncak, yang seharusnya dipilih di muktamar, adalah "pelaksana tugas dan wewenang" Rais Am dan Wakil Rais Am. Yang ditunjuk menduduki kursi itu adalah K.H. Ilyas Ruchiyat dari Pesantren Cipasung, Jawa Barat dan K.H. Sahal Mahfudz dari Pesantren Maslahul Huda di Pati, Jawa Tengah. Memang, kemelut tentang siapa yang memimpin NU reda untuk sementara. Sebelum suasana menjadi panas memperdebatkan soal kursi, para peserta sudah merumuskan beberapa kesepakatan, seperti soal istinbats BPR, asuransi, dan tanah. Untuk bidang politik, NU juga menegaskan kembali sikapnya bahwa NU tak melibatkan langsung dalam politik praktis. Warga NU bebas menentukan pilihan dalam pemilu nanti. Yang juga akan menjadi sorotan, dengan pucuk pimpinan NU tanpa ulama Ja-Tim itu, masihkah Gus Dur berkiprah seperti sebelumnya. Mungkin ia sudah menyiapkan siasat baru dengan duet Gus Dur -- Ilyas itu. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus