Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nyala Kanan, Belok Kiri

Mustasyar NU sepakat mencopot pengurus yang terlibat pencalonan presiden-wakil presiden. Kopi pahit tidak mendukung.

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN lebih mudah membaca angin ketimbang menebak langkah Abdurrahman Wahid. "Jika kita ibaratkan lampu sein mobil, ketika lampu kanan menyala, mobilnya justru ke kiri," kata K.H. Idris Marzuki, ulama sepuh Nahdlatul Ulama (NU). "Gus Dur juga selalu mengaku golput, meski kenyataannya malah kampanye ke mana-mana. Anda tahu sendirilah siapa pasangan yang terus dikampanyekannya. Jadi, beliau memang sulit?."

Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, yang akrab dipanggil Mbah Idris itu memang tak bisa menyembunyikan gundah-gulananya. Sebagai satu dari sembilan mustasyar (penasihat) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), ia risau akan hasil keputusan pertemuan di Cipasung, 15 Juli, yang bersepakat mencopot para pengurus NU yang terlibat politik praktis, khususnya dalam pemilihan presiden-wakil presiden periode 2004-2009.

Itu satu butir keputusan jangka pendek dari pertemuan selama satu setengah jam tersebut. Keputusan jangka panjang adalah menyiapkan amendemen anggaran dasar (AD)/anggaran rumah tangga (ART) tentang aturan larangan pengurus NU di semua level terlibat dalam proses politik praktis, baik dalam jabatan legislatif maupun eksekutif, sejak proses pencalonan ataupun ketika menjabat dalam satu jabatan politik.

Mengingat yang berhasil masuk ke putaran kedua tinggal Hasyim Muzadi seorang yang merupakan pengurus NU, mudah diduga tandem Megawati itulah yang menjadi sasaran tembak kelompok Cipasung. "Saya sedih, NU saat ini benar-benar dalam posisi mengkhawatirkan," Idris mengeluh dengan nada agak keras. "Keputusan itu bertolak belakang dengan realitas politik. Yang penting dibahas harusnya justru soal kepemimpinan dan figur ulama, karena NU itu sejatinya organisasi para ulama."

Idris tak hadir ketika pertemuan digelar karena sedang menunaikan umrah. Dua mustasyar lainnya juga berhalangan, yakni K.H. Haderani H.M. dan K.H. Syech Muchtar Muda Nasution. Empat mustasyar yang hadir di pondok pesantren yang berlokasi di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, itu adalah Abdurrahman Wahid, K.H. Tuan Guru Turmuzi dari Mataram, K.H. Ayip Abdullah Abbas wakil dari Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, dan sahibut bait K.H. Ilyas Rukhiyat. Dua mustasyar lainnya hadir melalui media teleconference, yaitu K.H. Abdullah Faqih dari Tuban, Jawa Timur, dan K.H. Sanusi Baco dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Sebaliknya, juru bicara Pesantren Cipasung, K.H. Chobir M.T., menyatakan pertemuan itu digelar untuk merespons perkembangan yang terjadi di dalam tubuh jam'iyyah (organisasi) dan menangkap aspirasi yang berkembang di tengah warga NU. "Tapi sah-sah saja jika masyarakat menilai para mustasyar telah dimanfaatkan Gus Dur untuk kepentingan politiknya setelah dia tersisih dalam pencalonan presiden," ujar Chobir.

Musyawarah itu sendiri merupakan tindak lanjut pertemuan Rembang, 16 Mei, yang menghasilkan rekomendasi serupa. Sebagai konsekuensinya, Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid, yang masing-masing menjabat Ketua Umum dan Ketua PBNU, harus non-aktif karena ikut bertarung dalam bursa wakil presiden.

Hasyim, seperti biasa, menanggapi dengan tenteram. "Rekomendasi itu tidak mengikat," katanya seusai pembukaan pra-muktamar di Hotel Sari Pan Pasifik, Jakarta, Ahad 18 Juli, "Baru akan dibahas dalam muktamar mendatang." Muktamar ke-31 itu direncanakan berlangsung di Solo, Jawa Tengah, 28 November tahun ini.

Hasyim tidak menampik kemungkinan perubahan atau amendemen AD/ART Nahdlatul Ulama yang mengizinkan ia tetap menjabat Ketua Umum PBNU sekaligus wakil presiden?tentu bila ia dan Mega bisa mengalahkan SBY-Kalla di putaran kedua. Begitu juga sebaliknya, bila yang muncul adalah kesepakatan bahwa calon presiden dan calon anggota legislatif tidak boleh rangkap jabatan dengan struktur kepengurusan di PBNU. "Usulan apa pun bisa disetujui atau tidak di muktamar nanti," katanya.

Ketika mengunjungi kantor majalah ini Jumat pekan lalu, Hasyim merasa hubungannya dengan Gus Dur justru makin baik setelah pemilu presiden putaran pertama. "Kalau sebelumnya, tahu sendirilah, saya kan sampai dicap melawan konstitusi segala," tuturnya. Namun, ia mengakui, komunikasi mereka masih belum bisa selancar dulu, apalagi untuk mendapat restu sebagai tambahan sangu menghadapi pemilihan putaran kedua September mendatang. "Belum, belum ada (dukungan) itu. Masih diusahakanlah," Hasyim menambahkan.

Untuk urusan ini, Megawati jauh lebih "beruntung". Empat hari setelah pertemuan di Cipasung, Gus Dur membuka jurus "spektakuler" dengan mengunjungi seteru politik terbesarnya dalam tiga tahun terakhir itu di rumah pribadi sang Presiden di Kebagusan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Itulah pertemuan pertama mereka sejak Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden pada 23 Juli 2001.

Dalam diplomasi silaturahmi yang melibatkan kacang goreng, singkong rebus, kelapa muda, dan secangkir kopi pahit untuk Gus Dur itu, keduanya seperti sedang membalikkan jarum jam ke masa mereka sering mengistilahkan persahabatan itu seperti hubungan "kakak-adik" yang guyub. "Megawati lebih banyak diam mendengarkan joke-joke Kiai," kata Bingki Irawan, pengurus perkumpulan Kong Hu Cu, Matakin, yang menemani Wahid, kepada Istiqomatul Hayati dari Tempo News Room.

Sebuah kunjungan isyarat dukungankah? "Siapa bilang?" Gus Dur menyergah para wartawan di kantor PBNU sehari sesudahnya. "Saya tidak akan mendukung Megawati. Saya akan tetap golput hingga (pemilihan) selesai," ia menambahkan dengan nada berang. Namun, di mata sosiolog dan pengamat NU, Laode Ida, pertemuan itu menunjukkan cucu pendiri NU tersebut masih memegang kendali politik di pentas nasional, terutama bagi sekitar 40 juta warga NU. "Semua perhatian politik masih berpusat pada manuver Wahid," ujarnya.

Lepas dari maksud tersirat pertemuan Wahid dengan Megawati, menurut Laode Ida, arus dinamika politik di Indonesia pasca-pemilu legislatif 5 April lalu memang berputar di seputar Wahid. "Semua perhatian politik berpusat pada manuver-manuver Wahid yang sulit diikuti," katanya. "Sepak terjangnya mempengaruhi dinamika politik nasional." Analisis ini disetujui Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Mahfud Md. "Pilihan politik ribuan kiai NU yang tak pernah muncul di koran-koran tapi menjadi simpul-simpul kekuatan NU sangat bergantung pada arahan Gus Dur," katanya.

Entahlah. Di tengah suhu politik yang suam-suam kuku menjelang September mendatang, menebak jurus Gus Dur memang hampir sama musykilnya dengan menafsirkan lampu sein mobil itu: nyala kanan, belok kiri.

Akmal Nasery Basral, Dwidjo U. Maksum (Surabaya), Rinny Srihartini (Bandung), Cahyo Junaedy (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus