Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dan guruh pun berdiri menantang

Guruh sukarno putra berani mencalonkan diri menjadi presiden. tanggapan dari beberapa pakar politik. guruh ingin menerobos budaya calon tunggal. kurang mendapat dukungan dari pdi.

16 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIFE begins at forty, kata orang arif. Bung Karno ditunjuk memim- pin negeri ini pada usia 44 tahun. Pak Harto dipilih sebagai pejabat presiden ketika umurnya 46 tahun. Bill Clinton, yang pada 20 Januari ini dilantik menjadi presiden Amerika Serikat, juga berusia 46 tahun. Guruh Sukarno Putra rupanya ingin mencatat rekor baru. Di usia 40 tahun, pada 13 Januari ini, putra bungsu proklamator itu mencalonkan diri sebagai presiden -- usia minimal calon presiden menurut Tap MPR. Hanya empat hari menjelang pergantian tahun, maskot Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang selalu menyuarakan perubahan dalam masa kampanye lalu itu akhirnya menepati janji pada warga ''metal'' -- merah total, sebutan untuk massa PDI. Seperti ingin melunasi ''utang'', Guruh menyatakan siap dicalonkan sebagai presiden. Ia mengirim surat ke pimpinan partainya, daerah- daerah, dan -- ini penting -- Fraksi PDI di MPR. Inilah tradisi baru suksesi kepresidenan di sini. Dan Guruh Sukarno adalah orang pertama yang berani merintis jalan ke kursi presiden lewat jalur formal, yakni fraksi di MPR. Dulu, tahun 1978, memang pernah ada Darius Marpaung, bekas anggota DPR Gotong Royong dan MPRS -- ketika itu berusia 50 tahun dan berasal dari Porsea, Sumatera Utara -- yang mencalonkan diri sebagai presiden lewat MPR dan menulis surat ke Pak Harto. Tapi ia tak mencalonkan diri lewat fraksi. Pencalonan ini akhirnya hanya dianggap lelucon. Pernah pula ada yang mengaku Pangeran Diponegoro IV, keturunan pahlawan asal Kerajaan Mataram, yang membuat surat terbuka dan ingin menjadi presiden karena wisik sang pangeran. Berar Fathia, 38 tahun, wanita Jakarta yang konon masih kerabat Mangkunegaran dan aktif di lembaga hak asasi manusia, tahun lalu juga menyatakan niat siap jadi presiden. Namun, Diponegoro dan Berar tak meneruskan niatnya ke MPR. Begitu pula Ali Sadikin. Bekas Gubernur DKI ini termasuk yang paling sering dicalonkan kelompok masyarakat. Di hari peringatan Sumpah Pemuda lalu, 20 orang mahasiswa Jakarta, Yogya, dan Surabaya mencalonkan Bang Ali sebagai presiden lewat Fraksi PDI. Setelah itu, ada beberapa mahasiswa dari berbagai kota yang minta Ali Sadikin jadi presiden. Ada pula kelompok Lembaga Penegak Hak Asasi Manusia yang mencalonkan Bang Ali ke DPR. Sikap Bang Ali? ''Saya siap kalau dicalonkan. Kalau mencalonkan diri mah, itu tidak etis. Saya jangan disamaratakan dengan Guruh, meskipun saya dukung sikapnya. Kalau MPR memilih, saya oke saja. Saya ini kurang apa. Jenderal sudah, menteri sudah, gubernur sudah. Tapi kalau seperti anggota DPR bilang bahwa presiden harus yang sudah berpengalaman, ya susah,'' ujar orang Sumedang, 65 tahun, yang rajin menjaga kondisi tubuh ini. Di kantor pimpinan DPR/MPR, ada banyak nama dicalonkan dan didu- kung. Ada yang minta Berar Fathia, ada yang ingin Soerjadi, Ketua Umum PDI. Nama Guruh justru tak disebut-sebut. Dari sekitar 50 surat yang masuk, kebanyakan mendukung kembali pencalonan Pak Harto. Namun, sampai sejauh ini, baru Guruh Sukarno yang secara resmi mengirim surat pencalonan ke fraksi MPR. Dukungan untuk Guruh juga datang dari seantero negeri. Kata anak bungsu Bung Karno dan Fatmawati ini, surat dan telegram dukungan mengalir ke rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Umumnya dari rakyat kecil. Misalnya, pekan lalu, ada telegram dari dua pedagang di Pasar Kunduran, Blora, Jawa Tengah, yang memberi semangat agar Guruh maju terus dalam pencalonan presiden. Tapi apa sebenarnya maksud Guruh? Cari popularitas? Atau sekadar meramaikan pentas politik menjelang Sidang Umum MPR Maret mendatang? Bukankah kalau dibandingkan Pak Harto, anak muda ini ''belum apa-apa''? Mas Ruh, begitu dia biasa dipanggil akrab, punya jawaban. ''Saya melihat ada yang tak beres di sini. Salah satunya adalah soal demokrasi. Saya bertekad untuk menyelamatkan- nya,'' katanya dalam wawancara panjang dengan TEMPO pekan lalu. Dan jabatan yang paling efektif di negeri ini untuk menyelamatkan demokrasi, katanya, adalah presiden (lihat: Lakon Anak Mantan Presiden). Tentu Guruh sudah berhitung sebelum maju. Seperti kata Marsilam Simanjuntak, direktur Gugus Riset untuk Publik, ''Guruh pasti tahu benar bahwa pencalonannya tak akan memberikan hasil maksimal berupa kemenangan.'' Tapi dokter lulusan UI yang lebih banyak aktif di bidang politik ini melihat pencalonan Guruh dari aspek pencalonan itu sendiri. Yaitu, kata Marsilam, memecahkan kebekuan atau status quo, bahwa presiden hanya dipilih dengan satu calon. ''Jadi, pencalonan Guruh mempunyai makna politik demokratisasi yang besar. Karena, dia memungkinkan terjadinya voting dalam pemilihan presiden, yang sesuai dan dibenarkan oleh UUD 1945,'' kata bekas aktivis Imada (Ikatan Mahasiswa Djakarta) ini. Sepanjang sejarah Orde Baru, memang belum pernah ada calon presiden yang maju menandingi Pak Harto. Marsilam melihat makna lain dari upaya Guruh, yakni pendidikan politik. ''Guruh mengetuk pintu rakyat, minta permisi dan dukungan. Dia secara aktif menempatkan kedaulatan rakyat di atas calon presiden. Rakyat tak jadi pasif dan mendapat pendidikan politik paling berharga. Untuk alasan ini, saya mendukung Guruh,'' kata Marsilam. Menurut Afan Gaffar, doktor ilmu politik yang kini mengajar di Fisipol UGM Yogyakarta, pencalonan Guruh tak lebih hanyalah menunjukkan hak berdemokrasi. Guruh dinilai hanya mencoba menerobos budaya calon tunggal. ''Kesan saya, Guruh hanya ingin meramaikan demokrasi politik Indonesia. Tepatnya, Guruh hanya menampilkan diri dalam kerangka banyolan politik,'' kata Gaffar. Sedangkan pakar politik Indonesia William R. Liddle, dari Ohio State University, menyatakan simpatinya pada Guruh. ''Sayang kalau pencalonan presiden terus-menerus calon tunggal,'' katanya. Namun, ia toh tak melihat Guruh serius. ''Guruh belum membuktikan dirinya sebagai polikus kaliber nasional,'' tambah Bill Liddle. Ia melihat, Orde Baru tak melahirkan tokoh selain Pak Harto. Tapi ia toh mencoba merujuk pemilihan presiden di AS. Ketika tujuh calon Partai Demokrat tampil awal tahun lalu, pers meledeknya sebagai ''tujuh orang kerdil'' yang tak punya karisma. ''Tapi orang kerdil itu kini jadi raksasa. Sayang, proses ini tak ada di Indonesia,'' katanya. Lantas apa target Guruh? Menurut sebuah sumber di PDI, Guruh sebenarnya hanya ingin memberikan semacam otokritik untuk partainya. ''Dia mengamati partai ini kok tidak tegas. Menjelang rapat pimpinan, sebenarnya keinginan Guruh cuma satu: PDI punya calon presiden yang mewujudkan perubahan. Dia itu kan jurkam PDI yang konsisten, tegas, dan jelas menyuarakan perubahan,'' kata sumber ini. Memang benar. Ketua Umum Soerjadi gencar menyuarakan pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua kali saja. PDI juga yang melontarkan perlunya kriteria keberhasilan seorang presiden, sebagai salah satu syarat untuk memilihnya kembali. Guruh waktu itu bisa dianggap maskotnya. Sampai-sampai Menko Polkam Sudomo sempat berkomentar, kalau kampanye PDI seperti itu dan kemudian mencalonkan Pak Harto, kelak PDI bisa repot. Ketua Badan Litbang PDI, Kwik Kian Gie, juga senada. Guruh mengambil langkah pencalonan hanya untuk memastikan bahwa PDI mencalonkan selain Pak Harto. ''Kalau soal keseriusan, saya kira dia tahu kalau tak mungkin menandingi Pak Harto. Pertimbangan Guruh hanya masalah konsistensi PDI,'' kata ekonom yang asyik berpolitik ini. Lebih jauh Kwik menebak jalan pikiran Guruh. Dia sudah banyak berkampanye dan mengutarakan perubahan. Logisnya, kalau dia maju, ya harus didukung rapat pimpinan. ''Jadi, dia sekarang akan bilang, saya minta dukungan kawan separtai. Menurut saya, seharusnya kansnya lebih besar daripada, misalnya, Yahya Nasution (Ketua DPP PDI) mendukung Rudini atau sekelompok orang mencalonkan Ali Sadikin,'' ujar Kwik lagi. Tampaknya, dukungan partai sendiri itulah yang tak akan didapatkan Guruh Soekarno. Sampai menjelang rapat pimpinan, hanya PDI Bali yang menyambut gembira majunya Guruh. ''Kami merasa bangga karena ada aktivis PDI yang siap menjadi presiden,'' kata Gusti Ketut Adi Suedendi, ketua PDI Bali. Katanya, turunnya anak- anak Bung Karno dalam kampanye lalu telah ikut mendongkrak perolehan kursi di DPRD I Bali. Bahkan kursi wakil ketua DPRD Bali kini bisa diraih PDI. Walhasil, Bali tegas berdiri di belakang pencalonan Guruh sebagai presiden. Nama ini dibawa ke rapat pimpinan PDI di Kopo, Bogor, Senin dan Selasa pekan ini. DKI, yang juga basis Guruh, ternyata memunculkan nama Soeharto sebagai calon presidennya. Ini diumumkan Ketua DPD DKI Alex Asmasubrata, Jumat malam pekan lalu seusai rapat pimpinan daerah- nya. Nama Guruh hanya muncul sebagai calon wakil presiden -- mendampingi tiga nama pejabat negara yang lain. Daerah lain yang siap berangkat ke Kopo ketika dihubungi TEMPO juga memilih menutup mulut. Termasuk juga PDI Jawa Timur, daerah pemilihan Guruh (lihat Surat Guruh dan Amplop Tertutup). Ketua Umum Soerjadi mengutarakan bahwa Guruh tak cukup hanya dengan berupaya memasukkan surat ke Fraksi PDI. Jalan ke tangga pencalonan presiden, katanya, juga harus ditempuh Guruh lewat rapat pimpinan PDI. ''Dia harus bisa meyakinkan daerah agar terpilih,'' kata orang Ponorogo yang juga disebut-sebut sebagai salah satu calon presiden dari PDI ini. Soerjadi juga mempertanyakan kematangan politik Guruh. ''Kualitas kepemimpinan, intelektualitas, kenegarawanan, itu penting. Guruh baru muncul di jajaran partai pada Pemilu lalu, apa dia sudah cukup matang. Saya bicara objektif, sebab jabatan presiden bukan untuk main-main,'' kata wakil ketua DPR/MPR ini. Dia menolak anggapan bahwa tema perubahan yang ditawarkan PDI itu mengarah pada pergantian pimpinan negara. ''Silakan saja orang menafsirkan begitu. Yang didengungkan PDI itu politik. Artinya, kami tak mau asal berbeda. Nama calon presiden yang muncul bisa sama dan bisa berbeda, asal bisa dipertanggungjawabkan,'' kata- nya. Kemudian, ujar Soerjadi lagi, kalau nama Guruh nongol di Kopo, bisa saja dilakukan voting. Apakah ini untuk menghadang Guruh? ''Saya ini sudah habis-habisan di partai. Tapi saya tak mendahulukan kepentingan pribadi dalam pencalonan presiden nanti. Silakan, calonkan siapa saja, asal dari bawah dan kriterianya jelas,'' kata Soerjadi. Menurut sumber TEMPO di jajaran pengurus PDI, majunya Guruh memang membuat gusar para petinggi PDI. Konon, ketika Guruh hadir dalam rapat pimpinan daerah PDI Ja-Tim di Surabaya, pada 30 Desember, dan menyatakan akan maju ke kursi presiden, seorang pengurus PDI mencak-mencak. Seniman tari dan penggubah lagu itu dianggap membuat susah. Soalnya begini. ''Kalau PDI keluar dengan nama Guruh, saya kira DPP tak akan sanggup menanggung risikonya,'' ujar sumber TEMPO ini. Kalau Guruh maju sebagai calon presiden dan PDI terus bertahan, akan terjadi voting. ''Itu bisa menggegerkan.'' katanya. Jadi, kata sumber TEMPO ini, besar kemungkinan PDI akan tetap muncul dengan nama Pak Harto. Kalau ini terjadi, giliran Guruh yang akan protes kepada partainya. Dan kalau banyak daerah yang simpati pada Guruh, maka dalam Kongres PDI untuk memilih ketua umum baru, setelah SU MPR nanti, boleh jadi kedudukan Soerjadi bisa bergoyang (lihat Apa yang Baru dari Kopo). Apalagi, kata sang sumber, Soerjadi tengah dipusingkan dengan kasus penculikan dua anggota PDI. Kemungkinan, Soerjadi akan diperiksa pertengahan bulan ini. Sebab, sudah ada izin dari Presiden. ''Jadi, Guruh menempatkan PDI dalam dilema besar,'' kata sumber ini. Kalau Guruh gagal di Kopo, Afan Gaffar punya saran. ''Guruh dapat mempersiapkan diri secara matang di lembaga legislatif. Dia bisa mengasah visinya dan mematangkan konsep kenegaraannya. Dia harus juga mampu, dengan karismanya, menggerakkan massa pendukungnya seperti yang dilakukan Cory Aquino atau Benazir Bhutto,'' ujar Gaffar. Marsilam Simanjuntak memandang, kalah atau menang, Guruh sudah berhasil memulai sebuah era baru pemilihan presiden. ''Kalau Guruh kalah, itu menunjukkan bahwa walaupun sudah diprakarsai Guruh, PDI ternyata tak sanggup keluar dari tatanan secara total. Secara teoretis, seharusnya PDI sanggup,'' tambah Marsilam. Sanggupkah PDI? Tampaknya tidak. Lalu, apa kata Guruh? ''Kalau begitu, ya, buat apa kita rame-rame begini? Udah deh, nggak ada cerita. Tak perlu lagi sidang umum memilih presiden,'' katanya dengan gayanya yang khas. Sudahlah, Mas Ruh. Kan ada kesempatan lima tahun lagi. Toriq Hadad, Bambang Sujatmoko, Ardian T. Gesuri, dan Sri Pudyastuti (Jakarta), Bambang Harymurti (Washington)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus