Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIMINTA pemimpin partainya menjadi calon legislator Pemilu 2014, Dwi Ria Latifa menyatakan gamang. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu membayangkan biaya besar yang harus ia siapkan. Apalagi seorang karibnya menyebut angka Rp 6 miliar. "Saya nyaris pingsan," kata pengacara itu.
Dwi Ria ditawari daerah pemilihan Jakarta. Ia menolak dan malah memilih Kepulauan Riau, yang dianggap konyol oleh elite partainya. Tapi perempuan 46 tahun itu punya alasan, antara lain hitungan ekonomis. Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, adalah kampung halamannya. Ia 18 tahun di kota itu, sebelum akhirnya pindah ke Jakarta untuk bersekolah dan kemudian berkarier.
Ibu, kakak, nenek, dan uwak Dwi Ria tinggal di ranah kepulauan itu. Ia juga masih punya kawan-kawan masa kecil. Politikus ini menganggap jaringan masa lalunya sebagai modal sosial yang tak sedikit. Apalagi sebagian dari mereka kini menempati posisi kunci sebagai tokoh masyarakat.
Meski begitu, Dwi Ria tak bisa berpangku tangan. Sistem pemilihan yang pemenangnya ditentukan dengan suara terbanyak membuatnya harus tetap turun ke daerah pemilihan. Jauh sebelum daftar calon sementara diumumkan Komisi Pemilihan Umum, ia bolak-balik Jakarta-Batam-Kepulauan Riau setiap pekan.
Ongkos wira-wiri itu tentu tak murah. Sekali jalan ke Kepulauan Riau, Dwi Ria menyediakan setidaknya Rp 10 juta. Selain buat ongkos tiket pesawat pulang-pergi, duit habis untuk transportasi lokal dan sumbangan sosial guna menjangkau semua kabupaten di daerah pemilihan.
Masalahnya, daerah pemilihan itu terletak di sejumlah pulau berbeda. Dwi Ria harus menyewa kapal dengan biaya tinggi. Beruntung, ia tak perlu mengeluarkan ongkos penginapan atau sewa mobil. "Saya tinggal di rumah ibu dan keluarga saya," ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 itu. "Mobil juga tak perlu sewa karena banyak teman dan keluarga yang membantu."
Melihat pengeluaran sebelum daftar calon diumumkan, Ria mengaku berancang-ancang dengan dana Rp 1-1,5 miliar. Pengeluaran terbesar untuk transportasi dan sumbangan-sumbangan. Yang lain-lain, seperti baliho dan biaya saksi, belum dihitungnya.
Perebutan kursi Dewan membutuhkan biaya semakin mahal. Dengan sistem proporsional terbuka, calon legislator akan beradu popularitas. Pemilik kursi Senayan akan ditentukan oleh perolehan suara setiap calon. Walhasil, pertarungan antarcalon dalam satu partai pun bakal terjadi.
Menurut politikus Partai Gerindra, Martin Hutabarat, visi dan misi calon sering tak dilirik pemilih. Calon harus populer dan punya duit. "Kecuali kalau niatnya hanya iseng-iseng berhadiah," kata Martin, anggota Dewan periode 2009-2014, yang akan mencalonkan diri lagi di daerah pemilihan Sumatera Utara III.
Martin menganggap persaingan di daerah pemilihannya tak sekeras Sumatera Utara I, yaitu kawasan Medan dan Deli Serdang. Di sini, sejumlah politikus terkenal mencalonkan diri. Ada Ruhut Sitompul, Sutan Bhatoegana, dan Ramadhan Pohan dari Partai Demokrat, Meutia Hafiz dari Partai Golkar, juga Tifatul Sembiring dari Partai Keadilan Sejahtera. Dari PDI Perjuangan ada Sofyan Tan, tokoh pendidikan lokal yang dikenal punya basis dukungan kuat.
Dengan rival petarung yang keras seperti itu, menurut Martin, calon setidaknya harus menyediakan Rp 1 miliar. "Itu minimal," ujar Martin. Martin merinci, pada 2009 saja ia menyiapkan Rp 1,5 miliar. Dana itu sebagian besar habis untuk atribut kampanye, misalnya membuat kaus, jaket, topi, dan aksesori lain seperti gantungan kunci. "Ada 10 ribu kaus yang selembarnya Rp 25 ribu," katanya.
Tahun ini, Martin berencana memasang baliho untuk menarik perhatian pemilih di 10 kabupaten dan 180 kecamatan. Harga satu baliho Rp 500 ribu. Perlu lima-enam baliho di setiap kecamatan. Ia menghitung anggaran untuk pos ini sekitar Rp 650 juta.
Beban lain adalah tatap muka. Setiap blusukan bertemu dengan warga, Martin harus menjamu mereka. Setidaknya ada 75 pertemuan dalam satu tahun ini dengan 200 orang yang hadir. Martin harus menyediakan tempat, akomodasi, serta konsumsi. "Paling tidak air minum dan kue atau bolulah yang paling murah," ujarnya. Jika dipukul rata, setiap pertemuan butuh Rp 10 juta, dan total Rp 750 juta.
Pertemuan tatap muka, menurut Ruhut Sitompul, menghabiskan porsi besar dana kampanye. Itu jika dilakukan di lapangan terbuka dengan panggung dan orkes musik. Sekali acara perlu ratusan juta rupiah karena sang calon wajib mengongkosi bensin peserta. "Dulu bisa kasih Rp 20 ribu, sekarang mana mau? Minimal Rp 50 ribu," katanya. Belum lagi aksesori yang dibagikan.
Hitung-hitungan Ruhut, dana kampanye bisa mengecil jika si calon tokoh yang dikenal publik. Ia menyebutkan angka Rp 1 miliar untuk keperluan kampanyenya. "Saya sudah dikenal. Meski kontroversial, itu iklan buat saya," ujar Ruhut.
Merasa sudah terkenal dan ramah media, Ruhut mengaku tak perlu lagi menyewa konsultan politik. Jenis paket pemenangan seperti itu kini marak ditawarkan sejumlah lembaga konsultan politik. Harganya sesuai dengan paket yang ditawarkan. Dari survei hingga permak citra, semua akan diurus konsultan.
Jorjoran duit buat kampanye, menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, tak bisa dibendung lagi pada Pemilu 2014. Besaran itu bisa naik 2-3,5 kali lipat dibandingkan dengan keperluan Pemilu 2009. Angka ini didapat Pramono ketika mewawancarai 23 anggota Dewan dalam penyusunan disertasinya. "Dari Rp 800 juta pada 2009 menjadi Rp 1,2-2 miliar untuk tahun 2014. Ini biaya besar," kata Pramono, yang mencalonkan diri lagi.
Menurut Pramono, kenaikan gila-gilaan ongkos ke Senayan ini merupakan konsekuensi sistem proporsional terbuka. Dengan sistem nomor urut pada pemilu sebelumnya, kampanye bersama para calon satu partai dalam satu daerah pemilihan biasa dilakukan. Semua serempak memenangkan suara partai. Kini calon dari partai yang sama bisa saling sikut.
Menurut Pramono, kebanyakan ongkos keluar untuk belanja logistik, seperti alat peraga kampanye atau kado buat pemilih, juga buat membayar saksi pada saat pemilihan dan penghitungan suara. Biaya saksi per daerah pemilihan bisa mencapai Rp 1,5 miliar. Sebab, satu daerah pemilihan meliputi 3-5 kabupaten/kota. Ada juga belanja iklan untuk media cetak dan elektronik, baik lokal maupun nasional. "Angkanya berbeda, tergantung popularitas calon," ujar Pramono.
Calon legislator dari kalangan artis atau aktivis yang populer cenderung mengeluarkan ongkos sedikit ketimbang calon dari birokrasi atau pengusaha. Masalahnya, kata Pramono, biaya kampanye itu tak sebanding dengan pendapatan yang mereka terima sebagai anggota DPR. Tiap bulan, rata-rata penghasilan bersih anggota Dewan sekitar Rp 50 juta. Angka itu masih dipotong iuran rutin untuk partai dan pengeluaran lain.
Walhasil, banyak anggota Dewan periode 2009-2014 kesulitan membayar utang kampanye Pemilu 2009. Sebagian dari mereka, menurut Sekretaris Fraksi Persatuan Pembangunan Arwani Thomafi, mengalami stres. "Gaji yang diterima langsung dipotong bank. Apalagi calon yang tidak terpilih," katanya.
Widiarsi Agustina, Ananda Badudu, Ira Guslina, Wayan Agus Purnomo, Muhammad Rizki
Orang Miskin Dilarang 'Nyalon'
Perkiraan keperluan dana calon legislator, menurut penelitian disertasi doktoral Pramono Anung:
Rp 250-800 juta
Artis, Olahragawan, Tokoh Agama
Rp 600 juta-1,4 miliar
Aktivis dan Aktivis Partai
Rp 1-2 miliar
Birokrat, Pensiunan TNI/Polri
Rp 1,5-6 miliar
Pengusaha dan Profesional
Aneka Pengeluaran
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo