Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA operasi tangkap tangan itu dipersiapkan dari kantor Komisi Pemberantasan Korupsi sejak awal pertengahan Maret lalu. Beberapa anggota tim penyidik sudah mulai bersiaga di sejumlah tempat di Jakarta. Mereka memantau pergerakan beberapa orang yang dicurigai akan melakukan transaksi penyerahan suap.
Menurut seorang penegak hukum yang mengetahui operasi tersebut, informasi akan adanya penyerahan sejumlah uang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang pada Kamis pagi dua pekan lalu sudah diketahui dengan jelas. Pemberinya dari PT Brantas Abipraya, lewat seorang perantara. "Sudah ada pernyataan oke dari sang jaksa," katanya.
Namun operasi yang sudah dirancang matang itu hampir berantakan. Penyebabnya, sejak Kamis dinihari, telepon seluler Kepala Kejaksaan Tinggi mendadak tidak aktif. Marudut Pakpahan, yang dicurigai sebagai perantara pemberian suap, kesulitan menghubungi Sudung. "Puluhan kali dikontak, tapi tetap tidak aktif," ujar penegak hukum tadi.
Menurut dia, mendadak tidak aktifnya telepon Sudung memantik curiga bahwa operasi tangkap tangan itu bocor. Sebab, sebelumnya komunikasi Marudut dengan Sudung sangat intens terkait dengan janji penyerahan suap itu. "Ini mencurigakan. Ia seperti tahu operasi itu sejak sehari sebelumnya," katanya.
Meskipun Sudung tak bisa dikontak, pemberian uang suap tetap dilakukan. Marudut tetap menerima suap dan berjanji akan meneruskan kepada Sudung. Seorang jaksa, anak buah Sudung, ditengarai ikut membantu meyakinkan bahwa uang titipan itu akan sampai kepada sang bos.
Kamis pagi dua pekan lalu itu, tim penyidik KPK menggagalkan transaksi suap tersebut. Mereka yang dicokok adalah Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya, Sudi Wantoko; Senior Manager Brantas, Dandung Pamularno; dan Marudut Pakpahan. Barang buktinya berupa uang senilai Rp 1,9 miliar dalam pecahan dolar Amerika Serikat.
Uang itu akan diserahkan kepada Marudut di toilet lantai 1 Hotel Best Western Premier The Hive, Cawang, Jakarta Timur. KPK menduga uang itu akan dibawa Marudut kepada Sudung agar kejaksaan menghentikan kasus dugaan korupsi proyek periklanan yang membelit Brantas.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang membenarkan bahwa lembaganya sudah mengantongi bukti kuat komitmen penyerahan suap tersebut. Menurut dia, hasil penyadapan pada malam sehari sebelumnya menguatkan hal rencana tersebut. Berbekal data ini, tim KPK bergerak ke Hotel Best Western untuk menangkap Marudut. "Telat sedikit saja, target bisa lolos dan urusan bakal lebih repot," ujarnya.
Soal terputusnya komunikasi Marudut dengan Sudung, Saut mengaku belum memiliki informasi. Namun dia menjamin tidak ada kebocoran informasi dari lingkup internal KPK dalam operasi tersebut.
Kendati memastikan operasi tangkap tangan itu steril, Saut mengakui lembaganya rawan pembocoran informasi. Apalagi KPK tidak punya aturan untuk menindak para pembocor. Beda dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, pada Pasal 44 mengatur tindakan setiap orang yang membocorkan rahasia intelijen akan kena jerat pidana paling lama 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta. "Kalau sungguh-sungguh mau menguatkan KPK, harus ditambahkan soal kebocoran ini," kata Saut.
MARUDUT Pakpahan, Sudi Wantoko, dan Dandung Pamularno ditangkap ketika sudah berada di mobil yang diparkir di area ruang bawah tanah hotel. Selanjutnya mereka dibawa ke gedung KPK untuk diperiksa. Pada saat bersamaan, tim lain KPK memantau Sudung Situmorang. Tapi tim ini tidak ditugasi menangkap bekas Kepala Kejaksaan Negeri Medan itu. Pimpinan KPK memilih cara memberi tahu Jaksa Agung Muhammad Prasetyo ihwal keterlibatan Sudung.
Menurut Saut Situmorang, ide menelepon Prasetyo sebagai strategi baru KPK agar tidak timbul gaduh. "Ini pemberantasan korupsi dengan elegan, kerja sama dengan penegak hukum lain," ujarnya.
Prasetyo pun menyilakan dua jaksa itu diperiksa KPK. Pada Kamis sore beberapa jam setelah penangkapan, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung Adi Toegarisman dan Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan Jasman Panjaitan mendatangi KPK. Jaksa Agung Prasetyo menyebut orang seperti Marudut Pakpahan sebagai penumpang gelap. "Mereka memanfaatkan penanganan perkara di kejaksaan," katanya. Kejaksaan Agung juga memeriksa Sudung dan Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Tomo Sitepu.
Seseorang yang tahu persis kasus ini mengatakan pimpinan KPK menjelaskan ihwal dugaan keterlibatan Sudung dan Tomo Sitepu. "KPK memastikan punya sadapan pembicaraan," ucapnya. Pada saat bersamaan, menurut seorang pejabat di Kejaksaan Agung, Sudung dan Tomo dimarahi Prasetyo setelah mereka mengakui berkomunikasi dengan Marudut.
Kamis malam dua pekan lalu, Sudung dan Tomo mendatangi KPK. Mereka diperiksa sebagai saksi selama 12 jam. Sudung enggan menjelaskan dugaan suap ini. "Sudah, ya. Semua sudah cukup itu," kata Sudung. Sedangkan Tomo membantah kenal Marudut dan orang Brantas. "Saya tidak pernah kenal dan tidak pernah bertemu," ujarnya.
Seorang penegak hukum di KPK bercerita, mereka sudah lama memantau Marudut Pakpahan, yang kerap mondar-mandir di kompleks Kejaksaan Tinggi DKI dan Kejaksaan Agung untuk mengurus perkara. Marudut kerap "menjual" beberapa nama petinggi jaksa dan jaksa senior kepada calon kliennya. "Marudut memang dekat dengan beberapa jaksa," tutur sumber ini.
Klien Marudut, PT Brantas Adipraya, merupakan perusahaan konstruksi pelat merah yang sedang diusut Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta perihal dugaan korupsi pembuatan iklan lapangan golf di Jakarta tahun 2011. Proyek ini menghabiskan anggaran Rp 7,8 miliar. Pengacara Marudut, Soesilo Aribowo, membantah kabar bahwa kliennya terlibat. "Setahu saya, tak ada janji ke Kajati atau Aspidsus," ujarnya.
Perkara ini awalnya diusut Kejaksaan Agung. Menurut Jasman Panjaitan, perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan diselidiki Kejaksaan Tinggi pada awal Maret lalu. Berdasarkan surat perintah pelimpahan perkara, diketahui alasan pelimpahan itu adalah angka dugaan kerugian keuangan negara berada di bawah Rp 7 miliar. "Mungkin terlalu kecil jika ditangani Jampidsus," katanya.
Pada 18 Maret lalu, empat anggota staf Brantas diperiksa penyidik Kejaksaan Tinggi DKI. Menurut seseorang yang mengetahui hal itu, surat panggilan mencantumkan keterangan "untuk penyidikan" sehingga membuat Sudi Wantoko cemas. Sudi lantas meminta Dandung Pamularno, yang kerap bermain golf dengan Marudut Pakpahan, meminta bantuan pengamanan perkara. Marudut menjanjikan urusan bisa selesai karena sudah berkomitmen dengan Sudung Situmorang.
Direktur Utama Brantas Abipraya, Bambang Marsono, mengatakan tidak tahu rencana pemberian uang oleh Sudi dan Dandung. "Bahkan tim legal kami tidak tahu," ujarnya. Ihwal perkara korupsi proyek iklan dibantah Komisaris Utama Brantas Haryadi. "Ini bukan kasus yang dilakukan oleh perusahaan," katanya.
Kini KPK mengincar seorang jaksa untuk disidik. Sebelum menyidik, KPK menunggu Kejaksaan Agung menyelesaikan urusan etik terhadap Sudung Situmorang. Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengatakan arah suap memang ke jaksa. "Faktanya kuat, kok."
Muhamad Rizki, Reza Aditya, Istman Musaharun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo