Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEHEBOHAN Panama Papers di berbagai belahan dunia menyeret pejabat aktif di republik ini. Tak tanggung-tanggung, jejak Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis terekam karena menjadi Direktur Sheng Yue International Limited, perusahaan yang terdaftar di British Virgin Islands. Benarkah dia mendirikan perusahaan di negara surga pajak? Selasa pekan lalu, Harry hanya menjawab dengan satu kata, "Tidak."
Meskipun Harry membantah, fakta berbicara sebaliknya. Namanya tercatat di antara 11,5 juta dokumen milik firma hukum Mossack Fonseca. Investigasi organisasi wartawan global, International Consortium of Investigative Journalists, mengungkap aktivitas firma hukum ini membantu seseorang memiliki perusahaan di wilayah surga pajak. Kehadiran Harry setidaknya tercatat dalam korespondensi antara Sheng Yue International dan Novia Lu, anggota staf Mossack Fonseca.
Pada 29 Februari 2010, Mossack Fonseca mendaftarkan Sheng Yue International dengan nomor registrasi 1572541. Harry mencatatkan alamat Sheng Yue di Akara Bldg, 24 De Castro Street, Wickhams Cay I, Road Town, Tortola, British Virgin Islands. Dalam dokumen Sheng Yue, perusahaan itu memiliki hak menerbitkan 50 ribu lembar saham senilai US$ 1 per saham.
Ketika pendaftaran dilakukan, Harry menjabat Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat. Harry memakai alamatnya di DPR, yakni ruang 1219, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan. Pekerjaan yang dicantumkan adalah pengusaha. Berdomisili di Jakarta, Harry justru memilih Hong Kong sebagai alamat korespondensi, yaitu Room 1307-8, Dominion Center, 43-59 Queen's Road East, Wanchai.
Komunikasi Mossack Fonseca dengan Sheng Yue kembali terdokumentasi pada 26 Maret 2010. Dalam suratnya, Mossack Fonseca menyampaikan terima kasih karena dipilih sebagai firma untuk mendaftarkan perusahaan di British Virgin Islands. Mossack Fonseca sekalian meminta Sheng Yue International melampirkan dokumen yang diperlukan, seperti surat pendaftaran, anggaran dasar perusahaan, nomor registrasi, daftar anggota, dan nama direktur perusahaan.
Mossack Fonseca mengingatkan bakal menunjuk nominee jika perusahaan tak segera menunjuk direktur. Dalam bisnis remang-remang, nominee mengacu pada orang yang namanya dipakai seolah-olah sebagai pemilik. Padahal sang nominee tak memiliki otoritas apa pun terhadap operasi perusahaan. Jika perusahaan tak mengajukan nama, Mossack Fonseca memberikan tambahan biaya tahunan senilai US$ 400 untuk penunjukan direktur dan US$ 50 buat pengamanan aset.
Tiga hari berselang, Harry merespons surat Mossack Fonseca itu. Dia meneken surat pernyataan sebagai Direktur Tunggal Sheng Yue International. Tak jelas apa aktivitas perusahaan itu sejak didirikan hingga kini. Pada September 2012, Mossack Fonseca merilis laporan yang menyatakan Sheng Yue International masih berdiri, memenuhi seluruh kewajiban, dan tak sedang menjaminkan asetnya. Mossack Fonseca menulis, "Tidak ada gugatan, tidak ada upaya melikuidasi atau menunjuk pengelola baru perusahaan."
Untuk apa Harry mendirikan perusahaan cangkang yang umumnya lazim dilakukan pebisnis? Tempo berusaha mendapatkan jawaban mantan politikus Golkar kelahiran Kepulauan Riau ini. Mulanya dia bersedia memberikan keterangan pada Jumat pekan lalu. Namun, sehari sebelumnya, seorang anggota stafnya mengabarkan wawancara dibatalkan karena Harry masih di luar kota.
Harry menjadi anggota DPR sejak 2004. Di Senayan, dia banyak bergelut di sektor keuangan, perbankan, dan perpajakan. Pada periode 2004-2009, Harry pernah menjadi Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah. Dia juga menjadi anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang BPK, lembaga yang dipimpinnya kini. Pada periode lalu, Harry duduk sebagai Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan serta Ketua Badan Anggaran DPR.
Dari data Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara pada 2012, Harry Azhar tercatat memiliki kekayaan Rp 9,9 miliar, yang sebagian besar berupa tanah dan giro. Dia hanya melaporkan kepemilikan sepuluh jenis surat berharga senilai Rp 1,1 miliar. Soal kepemilikan saham di Sheng Yue International tidak tercantum.
Politikus Golkar lain yang terdeteksi di Panama Papers adalah Airlangga Hartarto. Majalah Globe Asia memasukkan Airlangga sebagai salah satu dari seratus orang terkaya di Indonesia dengan harta senilai US$ 230 juta. Ayahnya, Hartarto, adalah Menteri Perindustrian pada era Orde Baru. Airlangga merupakan bos PT Fajar Surya Wisesa Tbk, pabrik bahan pengemas kertas di Cibitung, Jawa Barat. Dia juga menjabat Presiden Komisaris PT Ciptadana Asset Management. "Ciptadana mengelola aset senilai Rp 2 triliun," kata Airlangga.
Di politik, kiprahnya dimulai ketika menjadi Wakil Bendahara Golkar era Jusuf Kalla. Di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, Airlangga tercatat sebagai salah satu ketua. Di parlemen, Airlangga pernah duduk sebagai Ketua Komisi Energi dan Komisi Badan Usaha Milik Negara. Saat ini, Airlangga duduk di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR.
Dalam dokumen Panama Papers, Airlangga tercatat sebagai beneficial owner dua perusahaan, yakni Smart Property Holdings Limited dan Buckley Development Corporation. Smart Property didaftarkan pada 8 Oktober 2012 melalui agen Coutts & Co Trustees (Jersey) Limited. Adapun Buckley diregistrasi pada 4 September 2010 dengan dua pemegang saham, yakni Fidelis dan Magnus Nominees Limited. Airlangga mengakui kepemilikan perusahaan ini. "Pebisnis minimal punya dua atau tiga," ujarnya.
Menurut Airlangga, memiliki perusahaan cangkang adalah praktek lazim dalam dunia bisnis, apalagi jika pengusaha hendak berinvestasi di luar negeri. Negara tujuan investasi tidak ingin perusahaan berbadan hukum Indonesia. Mereka memilih perusahaan yang tercatat di kawasan surga pajak semacam British Virgin Islands atau Panama. Mengapa? "Penghitungan pajaknya lebih sederhana," kata Airlangga.
Dia mengklaim telah melaporkan harta kekayaannya, termasuk perusahaan cangkang itu, kepada KPK. Pada 2014, kekayaannya tercatat sebesar Rp 61 miliar. Setengah nilai hartanya berasal dari harta tak bergerak, seperti tanah dan rumah. Variabel penyumbang terbesar lain berasal dari surat berharga, senilai Rp 24 miliar. "Sudah saya laporkan seluruhnya," ucap Airlangga. Meskipun mengakui memiliki perusahaan di kawasan surga pajak, Airlangga mengklaim tak mengenal Mossack Fonseca.
Pejabat lain yang terekam dalam Panama Papers adalah Johnny Gerald Plate. Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem ini tercatat sebagai anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. Dia dikenal sebagai Presiden Komisaris PT Indonesia AirAsia. Johnny juga menjadi Komisaris PT Mandosawu Putratama Sakti, yang bergerak di bidang properti, Komisaris Utama PT Aryan Indonesia (Kidzania), dan Direktur Utama Bima Palma Group.
Johnny mencatatkan perusahaan di British Virgin Islands dengan nama Serenity Pacific Limited pada 18 Oktober 2007. Di perusahaan ini, Johnny bertindak langsung sebagai direktur. Johnny bersama Mohamad Riza Chalid juga membuka perusahaan bernama Gainsford Capital Limited pada 8 April 2008. Keduanya lalu menunjuk Fernandez Patrick Charles, yang berbasis di Singapura, sebagai direktur perusahaan.
Johnny membenarkan pernah membentuk perusahaan cangkang di British Virgin Islands. Hanya, dia lupa nama perusahaannya karena didaftarkan beberapa tahun silam. Politikus asal Nusa Tenggara Timur ini menuturkan membentuk perusahaan itu karena ingin mendirikan suatu usaha. Perusahaan ini tak lagi dia pakai. Sebab, "Mungkin investasinya batal atau gagal," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo