KETIKA Harun Zain mulai memangku jabatan Gubernur Sumatera Barat
pada awal 1966, diakui secara luas keadaan di daerah itu serba
mandeg. Ini bisa difahami bila dilihat lembaran hari kemarin di
sana. Sehabis peristiwa PRRI (1958-1960) potret daerah ini bukan
merupakan wajah yang elok. Rumah penduduk banyak yang musnah.
Irigasi macet. Sawah ladang pun terbengkalai. Jalan dan jembatan
banyak yang rusak, hingga memisahkan kampung yang satu dengan
yang lain.
Keadaan begitu kian dirasa rusuh, karena zaman itu memang bukan
zaman pembangunan. Di zaman jor-joran politik ketika itu,
suasana teror -- baik fisik maupun mental -- amat terasa di
bekas daerah PRRI itu. Harap diingat itu bekas Letkol Untung dan
Latif ketika itu masih berpos di daerah itu. Maka orang pun jadi
takut punya harta, karena setiap saat ada saja datang orang
merampok, tanpa ada kemungkinan mengusutnya. Para pemuda dan
kaum terpelajar serta merta makin banyak yang merantau ke Jawa,
terutama ke Jakarta. Tak ketinggalan keluarga yang punya anak
perawan dan perempuan. Banyak juga dari mereka yang ketika itu
'dipaketkan' pada sanak famili di rantau, karena takut diganggu
orang.
Suasana begitu tak dengan sendiri nya reda ketika meletus
peristiwa G-30-S/PKI. Tapi dengan hancurnya kekuatan Komunis,
kalangan cendekiawan, para pemuda dan sejumlah perwira mulai
merasa bebas untuk berdiskusi. Timbul satu pertanyaan yang
sungguh sulit mereka pecahkan: Siapa kiranya yang patut memimpin
daerah ini?
Dari pusat ada ditunjuk Saputro, untuk menggantikan Gubernur
Sumbar yang pertama, Kaharuddin Dt Rangkayo Basa. Tapi sang
pengganti itu rupanya belum dipandang cocok buat membenahi
daerah yang rawan itu. Dalam suasana yang ingin melihat seorang
putera daerah tampil sebagai pemuka, banyak orang bersepakat
menilai drs Harun Alrasyid Zain, 39 tahun (ketika itu), Rektor
Universitas Andalas sebagai calonnya.
Mereka berhasil. Presiden Soekarno waktu itu mengangkat Harun.
Di samping jadi gubernur, Harun Zain beroleh 'hadiah' pula
ketika dalam beslitnya tercantum gelar profesor. Agaknya BK
mengira dia tentu berpangkat profesor, mengingat kedudukannya
sebagai rektor.
Dari mana Harun Zain mulai? Lebih dulu ia menoleh pada dirinya.
Ia mempunyai latar belakang di,bidang pendidikan. Dari balik
kacamatanya sebagai seorang ekonom dia melihat bahwa kehancuran
yang terjadi bukan melulu di sektor fisik, melainkan lebih parah
lagi melanda sektor non fisik. Ini disimpulkannya dengan
gambarall, "bukan sekedar ada orang berontak lalu dilampang
(ditempeleng, Red) sebentar."
Oleh adanya kenyataan begitu, seperti halnya Vorang di Sulawesi
Utara (TEMPO, 5 Maret) Harun Zain di Sumatera Barat juga
berangkat dari persoalan yang sama. "Mengembalikan harga diri,
menjadi program pertama Harun, setelah mengkaji keadaan," kata
drs Zaglul St Kebesaran, Ketua DPR Sumbar di depan Menteri
Dalam Negeri ketika plantikan Harun Zain sebagai Pj Gubernur
bulan April lalu di Padang.
Menjadi seorang penguasa di Sumatera Barat, ada sulitnya. Bahkan
untuk menjadi kepala jawatan atau kepala dinas saja, bisa serba
salah bila kurang hati-hati. "Daerah ini bisa jadi batu ujian
buat karir kita selanjutnya komentar seorang kepala dinas di
Padang. Sebab masyarakat Minang terkenal kritis. Barangkali
inilah satu daerah yang punya keunikan: di sini dikenal istilah
"parlemen lapau." Karena di lepau atau warung orang biasa
membuka obrolan perihal perkembangan keadaan. Isi pembicaraan
itu adakalanya juga bertiup sampai ke kamar-kamar pejabat.
Sehingga diperlukan semacam sikap yang bijak buat menanggapi
suara parlemen warungan itu, yang sering juga membikin kaget
sang pejabat. Tidak ada maksud jelek, seperti diakui Harun Zain
mengenang awal masa jabatannya, "sebab rupanya itu memang
sebagian dari kultur orang Minang, dan di situ pula mereka
mengadu otak," katanya.
Tak pelak lagi, orang Minang memang pandai bersilat lidah.
Bahkan, seperti kata St Mohamad Rasyid SH, 66 tahun, bekas
ubernur Militer Sumatera Tengah semasa revolusi, "orang Minang
itu sebenarnya bisa memimpin diri sendiri." Rasyid, yang pernah
bermukim di luar negeri selama 14 tahun, setelah dicopot sebagai
Dubes RI di Itali waktu pecahnya peristiwa PRRI itu, kini
tergolong salah seorang pemuka masyarakat Minang di Jakarta.
Tinggal di rumah yang sederhana di Jl. Minangkabau 14, dia tak
segera menjawab ketika ditanya pendapatnya tentang Harun Zain.
Kepada Yunus Kasim dari TEMPO, Rasyid kemudian menyimpulkan
bahwa yang dibutuhkan masyarakat Sumatera Barat adalah "seorang
koordinator."
Sebagai orang Minang di rantau Rasyid termasuk orang yang kritis
terhadap kepemimpinan Harun. Dia tak mengelak banyak sudah yang
dilakukan Harun Zain selama 10 tahun ini. Mulai dari sawah
rakyat, jalan dan jembatan sampai sekolahan. Tapi dari balik
kacamatanya, ada satu hal yang dinilainya kurang dari Harun yang
dibesarkan di luar daerahnya itu. "Zain jujur dan pintar,"
katanya. "Tapi dia akan lebih berhasil kalau saja lebih tegas
dan berani mengambil keputusan sendiri." Menurut orang tua itu,
"dalam masa jabatannya Zain kurang menghimpun pendapat rakyat,
terutama yang mewakili tiga tungku sejarangan" (unsur ninik
mamak, cerdik pandai dan alim ulama).
Agak berbeda dengan Rasyid, adalah pendapat H.A. Burhani
Tjokrohandoko, 53 tahun, Brigjen TNI-AD yang kini memangku
jabatan Dirjen Urusan Haji. Pernah menjabat beberapa pos penting
di Sumatera Barat selama 16 tahun, Burhani selama 1971-1974
adalah Ketua DPRD di Sumbar. Dia mengakui Sumatera Barat
sekarang maju. "Tapi jangan lupa, basisnya sendiri memang sudah
baik," katanya kepada Klarawijaya dari TEMPO.
Maksudnya basis? "Sebelum adanya pembangunan, di Sumatera Barat
suah tidak ada orang yang tak makan," lanjutnya. Tapi sebegitu
jauh, Burhani menilai Harun sebagai "orang yang dekat dengan
tiga tungku sejarangan." Kalau pun ada hal yang menurut Burhani
belum sempat dikerjakan Harun ain adalah "pemanfaatan 31 bekas
perkebunan asing di sana yang kini masih terlantar." Sebagian
dari perkebunan itu memang sudah diserahkan kepada swasta. Tapi
"pihak swasta itu menganggap bekas perkebunan asing itu sebagai
harta karun -- menuras tanpa berhasil menyelamatkan dengan
baik," katanya.
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula halnya dengan
kepemimpinan Harun Zain. Sebagai orang universitas yang tak
lepas dari sikap seorang tehnokrat. bekas rektor itu dalam awal
jabatannya memang menaruh perhatian besar pada tenaga-tenaga
Universitas Andalas dan universitas lainnya. "Sebab di manai pun
kalau orang membicarakan perkembangan, tak bisa luput dari
faktor kepemimpinan intelektuil," begitu Harun menjelaskan
strateginya.
Kepemimpinan- "intelektuil" seperti yang dikemukakan Harun itu
tentu tak boleh berhenti pada para lulusan sekolahan tinggi.
Sebab tak sedikit di kalangan ninik matlak (pemangku adat),
alim ulama dan cerdik cendekia sampai 'parlemen lepau' yang
mampu menghayati getaran masyarakat Minang. Masalah pembangunan
tak berhenti pada pemecahan masalah berdasarkan angka dan data,
tapi perlu juga berurusan dengan orang-orang yang terlibat dalam
masalah serta pemecahannya itu.
Barangkali itu pula sebabnya, selama 4 tahun dari awal masa
jabatannya. Harun Zain melakukan serangkaian perjalanan untuk
lebih mengenal denyutan daerahnya. "Kunjungan itu beroleh
sambutan secara adat," kata seorang stafnya. Telempong- puput
dan serunai kembali terdengar di mana-mana."
Tapi sehabis mendengar bunyi serunai, yang berarti membuat orang
kembali punya harapan, orang awam pun biasanya meminta bukti
yang kongkrit. Itu pula sebabnya jalan dan jembatan yang rusak -
yang membuat daerah itu berkeping-keping bak kantong-kantong
yang terisolir satu dengan yang lain mendapat prioritas untuk
dibenahi. Perbaikan pun dilakukan (lihat grafik 1).
Berangsur-angsur kondisi prasarana itu dipulihkan, termasuk
perbaikan irigasi dan sarana produksi lainnya. Setelah daerah
kantong terbuka, menaik pula volume ekspor dari Teluk Bayur.
Kemajuan lewat angka memang kentara dari tahun ke tahun. Kalau
di tahun 1967 nilai ekspor Sumatera Barat hanya sekitar $ 1
juta, maka tahun ini menurut taksiran Harun bakal di atas $ 75
juta. Dia juga merasa gembira ka rena hasil bumi yang diekspor
itu "bukan berasal dari perkebunan estate (milik negara) -- yang
menumt Bur hani tadi masih terlantar itu. Tapi dari perkebunan
rakyat, hingga hasil dari ekspor tadi "bisa dirasakan secara
lebih merata," katanya.
Harun juga membanggakan kisah sukses dalam produksi padi (lihat
grafik II). Sekalipun angka penduduk kian bertambah, produksi
padi dari Sumatera Barat itu telah ikut dikenyam oleh propinsi
tetangga, seperti Jambi dan Riau.
Sekalipun timbul beberapa kritik terhadap gaya kepemimpinan
Harun, Ketua Majelis Ulama Sumatera Barat, H. Mohamad Daud Dt
Palimo Kayo memberi pujian. "Pendekatan Harun pada kalangan
ninik mamak dan alim ulama itu membuat dia dapat berakar di
dalam masyarakat," katanya. "Swadaya masyarakat bahkan mencapai
ratusan juta rupiah,' sambut seorang staf Bappeda sembari
menunjuk keadaan pada awal Pelita I.
Dengan kembali hidupnya peranan ninik mamak, setidaknya itu
telah mendorong upaya perbaikan berbagai kampung. Itu pula awal
dari perbaikan kampung halaman, dusun dan teratak. Sistim
kemasyarakatan Minangkabau memang menitik-beratkan kesetiaan
pada negari, meskipun sang warga ada di mana saja. Dengan
demikian boleh dibilang pembangunan daerah tak seluruhya harus
merepotkan pemerintah. Sebelum dana Inpres dikenal pada berbagai
peristiwa masyarakat sering juga bertanya pada camat: Apa
partisipasi pemerintah daerah, kami sudah membangun ....
Tangan Harun Zain memang belum sempat menjamah semua kebutuhan
prasarana di Sumbar. Seperti kata St. Mohamad Rasyid, "perbaikan
jalan-jalan baru sebagian berhasil." Rasyid lalu menunjuk
beberapa contoh. "Jalan darat ke Muara Labuh dan Asahan Panjang
masih payah," katanya. "Juga ke Koto Tinggi dan sekitarnya -
tempat ribuan pejuang dan Gubernur Militer dulu - sampai kini
belum dikerjakan. Begitu pula air ledeng di kota-kota kabupaten
belum banyak beroleh perhatian."
Sekalipun Sumatera Barat kini terbilang 'maju', sebanyak 805%
dari APBDnya masih bergantung dari pusat. Peranan Jakarta dengan
begitu amat menentukan. Belum seluruh rancangan yang disodorkan
Harun terkabul, walaupun banyak rekannya dari Berkeley yang kini
memegang jabatan kunci dalam Kabinet. Tapi paling tidak,
dibanding dengan propinsi tetangga - seperti Jambi dan Riau yang
ada Caltex, Sumatera Barat berpacu lebih kencang.
Tergolong sebagai gubernur yang rajin, ada satu hal yang agaknya
menarik tentang gaya diplomasi Harun: pintar meyakinkan orang.
"Orang asing pun putus sama dia," puji Hendra Asmara, ekonom
yang belakangan ini dikenal dengan penyelidikan 'Garis
Kemiskinan' itu. Sehari-hari menjabat direktur Lembaga
Penelitian Ekonomi Regional FE-Universitas Andalas di Padang,
Hendra yang keluaran UI itu termasuk orang yang dekat dengan
Harun. Contohnya? Apalagi kalau bukan modal pemerintah Jerman
Barat yang mengalir masuk ke bidang pertanian, peternakan dan
perkebunan rakyat di sana. Ini berlangsung sejak 5 tahun lalu.
Di Bukittinggi dibangun beberapa lab penelitian. Perkebunan
karet di Abai Siat, Sawahlunto Sijunjung dikembangkan. Begitu
pula peternakan terkenal Padang Mangatas yang kini juga
dijadikan tempat pembibitan ternak penduduk berhasil
direhabilitir dengan bantuan modal dari Jerman.
Dari Inggeris masuk pula modal untuk perkebunan cengkeh.
Perikanan beroleh uluran bantuan dari Selandia Baru. Pompanisasi
di Singkarak sedang digarap oleh modal dari Swiss berdasarkan
paket bantuan Bank Pembangunan Asia (ADB). Dan sedang dalam
proses pula untuk mendirikan satu stasiun pertanian terbesar
untuk pulau Sumatera yang merupakan bantuan AID. Sementara
swasta Jepang sedang tergiur untuk menancapkan modalnya pada
alam permai Minangkabau untuk dijadikan proyek turis.
Sumatera Barat berpenduduk sekitar 3,1 juta jiwa, dan hampir
tiga perempat dari jumlah itu hidup dari sektor pertanian.
Mereka baru bisa menggarap 0,5 Ha per keluarga. Luas daerah ini
sekitar 4,2 juta Ha atau lebih kurang sama dengan luas Jawa
Barat (4,6 juta Ha). Dibanding dengan jumlah penduduk Jawa Barat
(plus Jakarta) yang mencapai 27 juta jiwa, sekilas nampak tanah
di Sumatera Barat masih luas. Dan memang di sini masih banyak
dijumpai hutan, gunung di sana-sini dan danau. Sedangkan sawah
cuma bisa nyelip di lembahlembah yang luasnya hanya sekitar 4,5
dari jumlah seluruh daerah.
Yang selebihnya itu? "Hanya bisa dibuka kalau modal ada," kata
Harun Zain sembari menunjuk contoh proyek Sitiung. "Dari segi
potensi kita masih ada bedanya dengan di Jawa," tambahnya, "dan
itulah yang sering saya bilang pada kawan-kawan di Bappenas,
daripada orang Minang datang terus ke Jawa, beri kita
proyek-proyek yang lain. Saya menganut teori: ada gula ada
semut."
Sejak semula duduk di kursi gubernur, Harun memang mengambil
sikap bagaikan seorang guru. Ia merasa tak keliru bersikap
begitu, meski dalam kenyataan sering tujuannya kurang kena.
Tambahan pula ia membiarkan masalah teknis pemerintahan diurus
oleh stafnya di kantor gubernur. "Saya hanya mengurus hal-hal
yang bersifat makro," katanya kepada TEMPO.
Mungkin pendiriannya itu bermaksud baik. Artinya, ingin memberi
kesempatan buat orang lain memperbaiki diri. Tapi tak mustahil
pula lalu terjadi salah tafsir. Misalnya, karena ia menyerahkan
urusan teknis pemerintahan itu hanya sebagai urusan staf saja,
maka kebanyakan bupati hanya terdiri dari tokoh kelas-3.
Akhirnya pemerintahan di daerah tk II kurang berjalan baik -
meski sudah ditanam juga sarjana di sana. Justru persoalan
teknis ini yang sering menimbulkan berbagai soal di lapangan.
Tak kurang dari Dt Palimo Kayo pula yang melihat: "Dalam segi
kontrol ada kelemahan pemerintah daerah pada pelaksanaan
pembangunan selama ini," katanya.
Selain itu hubungan pemerintah daerah dengan orang Minang di
rantau, nampaknya kurang dibina. "Orang Minang di Jakarta pernah
mengajak Harun bicara, tapi kurang diperhatikan. Ia ragu-ragu
dan malahan curiga. Ini sangat saya sayangkan," ujar Sutan
Mohamad Rasyid, yang juga salah seorang famili dekat Harun.
Akan halnya hubungan pemerintah daerah dengan DPRD Sumbar, oleh
kalangan Pemda memang digambarkan sebagai "hubungan suami
isteri." Namun A.A. Navis -- salah seorang anggota dewan dari
Golkar punya kesimpulan: "Hubungan suami isteri yang kurang
mesra. Tak pernah ada soal yang dibicarakan secara santai atau
informil."
Barangkali karena hubungan yang kaku itu, misalnya masalah Bank
Pembangunan Daerah belum mulus terselesaikan. BPD punya 7 anak
perusahaan, seperti PT Tani Makmur, PT Pembangunan Sumbar, PT
Sarana Andalas Agung, PT Padang Rattan Manau dan sebagainya.
Harun menilai adanya lapangan usaha itu sebagai "membuka
kesempatan kerja bagi para sarjana dan pembinaan kader
wiraswasta." Ini sedikit berbeda dengan pandangan DPRD Sumbar
(hasil pemilihan umum 1971), yang menganjurkan agar BPD dibatasi
geraknya sebagai bank dagang umum, serta modal yang ditanamnya
dalam anak perusahaan itu ada kepastian hukum yang jelas. Akte
pembentukan anakanak perusahaan itu, dianggap oleh DPRD Sumbar
sebagai kurang beres. Sebab, nama yang tercantum dalam akte,
kabarnya mewakili nama pribadi-pribadi dan bukan sebagai
mewakili pemerintah daerah.
Tapi memang sasaran pokok yang sejak semula dipatok, bukan pada
adanya jalan yang mulus atau adanya proyek-proyek besar itu.
Melainkan pada sektor non-fisik: pulihnya harga diri masyarakat.
Dengan kata lain, seperti diakui Harun sendiri: "Saya baru
meletakkan fondasi-fondasi. Belum isi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini