SENIN malam 23 Agustus lalu sebuah kapal kayu "Cho Long" memuat
sejumlah pelarian dari Vietnam merapat pada sebuah sumur
terapung di Laut Natuna, masih di wilayah perairan Indonesia.
Sumur lepas pantai yang ternyata punya maskapai minyak Agip
(Itali) itu terletak pada kordinat 6ø 50' Lintang Utara dan 180ø
25' Bujur Timur, 176 mil laut sebelah utara pulau Natuna. Kepada
fihak Agip para pelarian itu memohon-agar segera menghubungi
Kedubes AS di Jakarta. Maksudnya tentu untuk minta penampungan.
Dan Agip, seperti kata Atase Pers USIS Jerry Kyle pada TEMPO
memang mengkontak Kedubes AS Uwat telex memberitahukan tentang
24 pelarian yang minta pertolongan. Menurut sebuah sumber
TEMPO, 24 pelarian itu jumlah terbesar yang pernah diberitakan
masuk ke perairan Indonesia semenjak usainya perang Vietnam --
terdiri dari 7 laki-laki dan 6 wanita dewasa, 9 anak dan 2 bayi.
Dengan kata lain, kapal kayu yang panjangnya hanya 10 meter itu
padat muatannya.
Karuan saja para pejabat di Tanjung Pinang, ibukota kabupaten
Riau Kepulauan, jadi sibuk. Bupati dan seorang stafnya disertai
dua pejabat imigrasi cepat mendatangi kapal itu. Pertolongan
pertama cepat diberikan, berupa makan minum dan obat-obatan
secukupnya. Tapi sang bupati yang tentu merasa rikuh minta agar
mereka segera meninggalkan perairan Indonesia, paling lambat
Kamis pagi 26 Agustus lalu. Kepada mereka bupati kabarnya juga
mengingatkan agar jangan memasuki salah satu tempat di perairan
Singapura. Apa sebabnya bupati hanya menyebutkan Singapura,
entahlah. Tapi malah diduga negara di kawasan ASEAN lainnya
juga akan menolak untuk menampung para pelarian Vietnam dari
pemerintahan komunis sekarang. Alasannya tentu politis: mau
berbaik-baik dengan tetangga di daratan Asia itu.
Tidak Relevan
Sementara itu Kedubes AS di Jakarta segera menghubungi Komisaris
Tinggi PBB untuk urusan pengungsi di Kuala Lumpur. Kedubes AS
sendiri tak buru-buru menyanggupi untuk menampung mereka di
wilayah AS. "Ini memang soal yang sulit bagi kami", kata Kyle.
"Tapi akan lebih mudah kalau mereka punya hubungan keluarga di
AS". Menurut peraturan yang berlaku di AS begitu pula di
Perancis yang banyak keturunan Vietnam -- siapapun diizinkan
untuk tinggal di AS kalau terbukti punya hubungan keluarga
dengan seorang warga negara AS atau seseorang yang sudah menetap
di sana. Menurut Kyle, dalam telex itu memang disebutkan salah
seorang pelarian mengaku punya hubungan famili di AS dan
beberapa lainnya di Perancis. Tapi urusan mengecek keluarga yang
terpisah ribuan kilometer itu bukan soal yang bisa selesai
sehari dua. Dan jika mereka ternyata tak kedapatan punya
hubungan famili di AS? Menarik nafas sebentar, Kyle lalu
berkata: "Yah, pada instansi terakhir biasanya kami terpaksa
harus menampung mereka".
Bahwa AS akhirnya akan turun tangan, itu memang menjadi
konsekwensi dari negeri bekas pendukung rezim Thieu. Tapi apakah
memang ada perjanjian antara ASEAN dengan Republik Sosialis
Vietnam untuk tak menampung pelarian dari sana'? "Tidak ada".
kata Cao Xuan Ha, Atase RSU di Jakarta pada TEMPO. Tapi dia
merasa agak heran dengan makin santernya berita tentang pelarian
dari Vietnam selama bulan-bulan terakhir ini. "Dulu menjelang
pembebasan Saigon banyak orang Vietnam yang lari karena
ditakut-takuti oleh Amerika", kata Cao. Seakan sangsi akan
kebenaran berita itu, dia menunjuk pada kedatangan Wakil Perdana
Menteri Vietnam Pham Hien beberapa waktu lalu di Jakarta.
"Masalah pelarian itu dianggap tak relevan lagi untuk
dibicarakan dengan Menlu Adam Malik", katanya.
Relevan atau tidak, berita telex yang sampai di Kedubes AS --
dan uluran tangan bupati Riau Kepulauan kepada para pelarian itu
tentunya bukan isapan jempol. Beberpa kalangan diplomat Barat
di Jakarta bahkan beranggapan pemerintah Vietnam yang sekarang
tak begitu menghalangi penduduk yang merasa tak betah dan ingin
pergi dari sana. Terutama kalangan cendekiawan yang dianggap tak
bisa mengikuti suasana baru di Vietnam. Tapi benar tidaknya
keterangan itu tentunya perlu diselidiki dari kalangan mana saja
para pelarian itu berasal.
Sementara itu ada masalah lain yang dikemukakan delegasi Hanoi
ketika berkunjung ke Jakarta, sehubungan dengan batas perairan.
Yakni bahwa batas landas kontinen kedua negara -- yang letaknya
di utara Natuna -- perlu dirundingkan kembali. Sebab menurut
batas landas kontinen yang disusun oleh pemerintah Saigon dulu,
wilayah tempat beroperasi maskapai minyak Agip itu masih
termasuk dasar laut Vietnam. Sedang menurut pemerintah
Indonesia, daerah itu jelas masuk wilayah perairan RI. Kalau
bukan, mana mungkin Indonesia memberikan izin operasi pada Agip
di situ.
Masalahnya memang rumit. Sebab baik Vietnam maupun Indonesia dan
Malaysia terletak pada landas kontinen yang sama. Artinya
kedalaman laut yang membatasinya kurang dari 200 meter. Nah,
dalam keadaan begitu, menurut konvensi Jenewa 1958 tentang
landas kontinen, batas antara dua negara ditarik dengan membagi
dua wilayah laut yang terletak antara pulau-pulau atau jazirah
terjauh dari kedua negara. Tapi repotnya, Vietnam yang dulu mau
pun yang sekarang tidak ikut menandatangani konvensi Jenewa itu.
Namun Cao Xuan Ha optimis, bahwa "dengan semangat persahabatan
antara rakyat kedua negara, batas landas kontinen itu dapat
dirundingkan oleh Vietnam dan Indonesia". Apakah itu berarti
Hanoi mau menarik mundur klaim Thieu dulu (lihat peta), atau
malah maju? "Saya belum bisa mengatakannya", kata Cao Xuan Ha
dengan senyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini