Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Paham Lama dalam Kemasan Baru

Aktivitas gerakan Negara Islam Indonesia bangkit lagi. Sudah seberapa serius?

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYUKRI sedang gundah. Laki-laki 53 tahun itu berbicara terbata-bata, matanya berlinang. Pikirannya tumpah kepada Novel, anak perempuannya yang kuliah di Jurusan Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB). Prestasi akademis Novel mendadak jatuh. Nilai untuk beberapa mata kuliahnya terjun bebas sampai ke titik terendah, karena Novel sering bolos kuliah. Tapi, yang lebih membuat hati Syukri tertusuk, dalam beberapa semester terakhir ternyata Novel tak menyetor uang kuliah yang dengan rutin ia titipkan kepada putrinya itu. Setiap kali ditanya, Novel cuma menjawab ringan, "Uang itu milik Allah. Jadi, sudah saya infakkan." Belakangan baru Syukri tahu bahwa anaknya terlibat dalam kegiatan yang sering disebut orang sebagai gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Uang bayaran Novel disumbangkan ke imam gerakan untuk biaya perjuangan. Syukri ternyata tak sendiri. Rabu pekan lalu, setidaknya 20 orang wali mahasiswa ITB membuat petisi bersama di Masjid Salman ITB. Para orang tua itu meminta agar aparat bertindak terhadap maraknya gerakan ini di Bandung. NII bangkit lagi? Banyak yang percaya begitulah adanya. Miftah Faridl, Ketua Majelis Ulama Indonesia Bandung, membenarkan sinyalemen ini. Hitung-hitungan kasar menyebutkan di Bandung paling tidak 500 ribu orang telah masuk ke dalam gerakan yang kerap dipendekkan menjadi N 11 ini. Kabar yang tidak enak lainnya adalah sekitar 200 orang mahasiswa ITB terancam drop out karena keterlibatan mereka dalam gerakan tersebut. Mahasiswa yang ikut gerakan ini memang punya karakter yang hampir seragam. Mereka umumnya pandai dan datang dari keluarga berkelas ekonomi menengah ke atas. Pada tahap awal, mereka sering bentrok dengan orang tua karena pandangan yang radikal terhadap persoalan keagamaan. Lalu, "Setiap kali pergi ke pengajian, mereka selalu minta uang dalam jumlah besar, Rp 450 ribu sampai Rp 1 juta," kata Faridl. Uang itu umumnya disumbangkan untuk membiayai gerakan. Anehnya, dalam hal prinsip keagamaan, penggiat NII itu ternyata punya keyakinan sendiri. Mereka, misalnya, hanya wajib sembahyang dalam lingkungannya. Dasar pikirannya, mereka beranggapan bahwa saat ini mereka sedang berada dalam tahap Mekah—saat awal perjuangan, ketika salat belum diwajibkan Allah. Jika negara Islam kelak sudah berdiri, barulah periode Madinah dimulai dan salat menjadi wajib. Selain itu, keterlibatan seseorang dalam proyek N 11 bersifat mengikat. Artinya, Sekali seseorang masuk, biasanya sulit keluar. Soalnya, keterlibatan dalam gerakan ditandai dengan prosesi sumpah setia, yang dalam bahasa agama sering disebut baiat. Jika berkhianat, hukumnya bisa mahaberat: mati. Iqbal Al-Fajri adalah salah satu yang berhasil keluar dari gerakan NII dengan selamat. Mahasiswa ITB angkatan 1996 ini terlibat kegiatan itu tiga tahun lalu. Mula-mula ia dibujuk oleh seorang teman. Terdorong oleh rasa ingin tahu, Iqbal bergabung. Setelah melalui proses baiat yang ruwet, ia diterima. Kemudian ia diharuskan merekrut sepuluh orang setiap bulan. Setiap orang yang direkrut menentukan tingkat prestasi Iqbal. Prestasi tersebut nantinya menentukan posisi apa yang bakal diterimanya dalam struktur organisasi NII: sekadar ketua RT, ketua RW, atau lurah. Selain itu, Iqbal juga diwajibkan menyetor iuran wajib yang besarnya ditentukan berdasarkan kemampuan tiap personel. Dengan uang yang dikumpulkan itulah roda organisasi berputar. Tujuan besarnya adalah mendirikan Negara Islam Indonesia. Tapi, sementara tujuan belum tercapai, kegiatan mereka adalah mengadakan diskusi-diskusi terbatas dan menambah jumlah anggota. Keinginan untuk mendirikan negara Islam muncul lagi? Atau tidakkah ini merupakan bentuk fanatisme beragama yang "kepeleset" saja? Tidak ada yang bisa memastikan. Miftah Faridl tidak menutup kemungkinan bahwa gerakan ini punya kaitan historis dengan NII era Kartosuwiryo dulu. Tapi bukan tidak mungkin ini organisasi baru yang sedang mencari-cari bentuk. Asep Zaenal Ausof, dosen ITB yang sedang menyiapkan tesis tentang NII, mengatakan saat ini di Bandung ada dua kelompok yang muncul. Pertama adalah kelompok yang menjadikan NII sebagai wacana alternatif untuk menampung nilai-nilai Islam yang selama ini dianggap tidak terserap oleh pemerintah Indonesia. Artinya, levelnya baru pada tingkat diskusi. Kedua, kelompok yang mengupayakan terbentuknya negara Islam. Jadi, levelnya sudah lebih praksis. Tampaknya, pada kelompok yang kedua itulah Iqbal dan Novel tergabung, dan keduanya sampai kepada tahap yang "serius": menolak kuliah dan menolak "kompromi" dengan orang tuanya. Maka, Syukri pun berkata dengan resah, "Anak-anak kami tidak tahu apa-apa. Mereka hanya jadi korban." Arif Zulkifli, Upiek Supriyatun, Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus