Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pakar hukum tata negara mengkritisi langkah DPR yang melanjutkan pembahasan revisi sejumlah undang-undang di akhir masa periode jabatan, salah satunya ihwal revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar hukum tata negara, Herdiansyah Hamzah, mengatakan proses legislasi yang tengah dilakukan DRP beberapa hari ini amat buruk. Proses itu melabrak semua prinsip dan cenderung memaksakan kehendak guna merealisasikan kepentingan politik sepihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena basisnya kepentingan politik, Herdiansyah menilai, tidak sulit untuk menyatakan agenda revisi masif terhadap sejumlah undang-undang ini kental nuansa politis ketimbang penguatan hukum. "Ini seperti proses menyandera undang-undang guna memuluskan syahwat politiknya," kata Herdiansyah saat dihubungi, Kamis, 16 Mei 2024.
Proses menyandera ini, kata dia, misalnya mengenai upaya mengesahkan revisi UU MK yang dinilai akan mendegradasi independensi dan akuntabilitas hakim konstitusi dengan aturan mengenai masa jabatan dan batas usia.
Pengajar di Universitas Mulawarman itu mengatakan, upaya DPR untuk mengkooptasi Mahkamah sejalan dengan upaya menggoalkan revisi Undang-Undang Kementerian Negara dan agenda revisi Undang-Undang Penyiaran. "Jika Mahkamah dapat dikendalikan, artinya tidak sulit bagi DPR mengesahkan produk hukum seperti ini," ujar dia.
Adapun, Pada Pasal 23A draf revisi Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, masa jabatan hakim konstitusi diatur menjadi 10 tahun, di mana pada 5 tahun masa jabatan hakim konstitusi diwajibkan memperoleh rekomendasi untuk menanggalkan atau melanjutkan jabatannya oleh lembaga pengusul, yaitu DPR, Presiden dan Mahkamah Agung. "Hakim akan tersandera karena aturan ini," ucap Herdiansyah.
Pun, Pasal 50B ayat (2) huruf c yang memuat larangan penayangan ekslusif jurnalisme investigasi di draf revisi RUU Penyiaran. Pasal ini dinilai sebagai upaya untuk membungkam pers.
Sementara pada revisi Undang-Undang Kementerian Negara, DPR berupaya menghapus norma angka 34 sebagai jumlah Kementerian pada Pasal 15 Undang-Undang tersebut. Herdiansyah mengatakan norma angka 34 sebagai jumlah kementerian sarat akan kepentingan. Sebab, pemerintahan Prabowo-Gibran memang berencana menambah jumlah Kementerian menjadi 40 guna mengakomodir kursi bagi koalisi pendukungnya.
Dengan demikian, kata dia, seluruh agenda revisi Undang-Undang yang didalihkan sebagai upaya penguatan, tak lain menjadi upaya DPR dan pemerintah untuk mengamankan pemerintahan saat ini. "Dan tentunya ini jadi warisan bagi pemerintahan selanjutnya yang notabene genus politiknya sama," kata Herdiansyah.