Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal wacana kepala daerah kembali dipilih lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) banyak yang lucu dan tidak tepat. Penilaian itu disampaikan Feri saat mengisi siniar di kanal YouTube politikus NasDem Akbar Faizal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Apa yang disampaikan presiden bagi kita itu banyak yang lucu sekaligus tak tepat. Kenapa ada lucu dan tidak tepat? Ada beberapa elemen yang saya cermati,” kata Feri dalam video yang diunggah pada Senin, 23 Desember 2024 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diketahui, wacana kepala daerah dipilih DPRD mencuat akhir-akhir ini setelah dilontarkan Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia dalam HUT ke-60 partainya pada Kamis, 12 Desember 2024. Bahlil meminta izin kepada Prabowo yang hadir untuk merumuskan formulasi baru sistem politik di Indonesia, yang dinilainya berbiaya tinggi.
Dalam penjelasannya, ia menyebut harus ada formulasi yang tepat untuk sistem politik yang benar-benar baik untuk rakyat dan negara demi mewujudkan cita-cita proklamasi. Bahlil juga yakin berbagai kalangan mempertanyakan sistem politik yang terjadi saat ini, khususnya setelah pilkada 2024.
“Dan saya pikir Pak Presiden, kalau memang partai lain belum mau menginisiasi, izinkan kami Golkar memulai dialektika ini, kami akan merumuskan, kami akan memberikan satu pemikiran-pemikiran yang baik,” kata Bahlil dalam agenda di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat itu.
Dalam sambutannya di acara itu, Presiden Prabowo sepaham dengan Bahlil dan mengusulkan agar pemilihan kepala daerah atau pilkada diselenggarakan lewat DPRD. Menurut Prabowo, opsi itu dilakukan untuk menekan banyaknya anggaran yang dialokasikan. Anggaran sebesar itu menurutnya lebih baik digunakan untuk rakyat.
“Saya lihat, negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih ya sudah DPRD itu lah milih gubernur, milih bupati. Efisien, enggak keluar duit, keluar duit, keluar duit, kayak kita,” kata Presiden.
Menurut Feri Amsari, pernyataan Presiden Prabowo lucu lantaran kepala negara mengutip referensi dari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Padahal, kata dia, Bahlil tidak memiliki wewenang melakukan evaluasi atau menilai kepemiluan. Ia heran Prabowo bersandar pada pernyataan Bahlil untuk mengungkapkan pokok pikirannya.
“Presiden mengutip referensi dari Menteri ESDM pak Bahlil. Itu menurut saya lucu karena pak Bahlil bukan tugasnya untuk melakukan evaluasi atau menilai kepemiluan atau pilkada,” kata Feri dalam podcast yang juga dihadiri pakar politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Saiful Mujani itu.
Akbar Faizal kemudian menanggapi dengan menyebut Bahlil adalah Ketua Umum Partai Golkar. “Tapi Bahlil ketua umum partai lho?” Kata Akbar. Menurut Feri, sebagai petinggi partai pernyataan Bahlil justru bermuatan kepentingan politik. Sebab itu, Prabowo menurutnya menyampaikan pendapat kudu berdasarkan pertimbangan ahli.
“Harusnya pak Prabowo saya berdasarkan pertimbangan ahli-ahli kepemiluan tentu penyampaiannya kepada publik akan jauh lebih tepat,” kata Feri.
Lebih lanjut, Feri menilai pernyataan Prabowo lucu lantaran Ketua Umum Partai Gerindra itu mengatakan pelaksanaan pilkada butuh dievaluasi, namun di sisi lain solusinya sudah disimpulkan. Padahal evaluasi adalah untuk mengetahui permasalahan sebelum kemudian dicarikan solusinya.
“Beliau mengatakan kita butuh mengevaluasi pilkada kita. Tapi kesimpulannya sudah muncul, bahwa harus kembali ke DPRD,” ujar Feri .
Feri Amsari juga menyoroti pernyataan Prabowo yang menjadikan biaya tinggi sebagai alasan agar pilkada dialihkan ke DPRD. Pernyataan Prabowo, kata dia, seolah-olah yang menyebabkan biaya tinggi pilkada adalah rakyat sehingga rakyat harus dihukum yang mana hak suaranya dialihkan ke anggota dewan perwakilan.
Padahal menurutnya, jika dicermati, selama pilkada yang menyebabkan biaya tinggi adalah peserta pemilu. Kandidat, kata dia, punya kecenderungan merangkul semua partai demi menutup peluang bagi lawan untuk maju. Padahal, menggandeng banyak partai artinya memerlukan mahar dalam jumlah yang tak sedikit.
Selain itu, penyebab tingginya biaya pilkada menurut Feri juga disebabkan adanya politik uang. Menurutnya kandidat yang menyogok dan pemilih yang mau disogok adalah sama-sama salah. Namun, tidak adil jika jika hanya pemilih yang dihukum dengan dihilangkan hak memilihnya. Sedangkan kandidat masih dapat berlaga di pemilu.
“Kalaupun pemilih salah menerima uang sogokan ini, kenapa hanya pemilih yang dihukum dengan hilangnya daulat mereka? Kenapa juga peserta tidak dihukum?” katanya.
Nandito Putra dan Alfitria Nefi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.