Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Akademisi Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP kalah dan rugi dengan dukungan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terhadap pencalonan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden 2024. Ujang menyebut isu polemik putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK digunakan lawan politik untuk menjatuhkan pasangan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Makanya isu soal putusan Mahkamah Konstitusi digunakan untuk menyerang habis-habisan untuk mendegradasi Prabowo-Gibran dan Jokowi,” kata Ujang ketika dihubungi, Kamis malam, 9 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah PDIP untuk menjatuhkan Prabowo-Gibran, kata Ujang, merupakan suatu hal yang biasa dalam politik. “Namanya juga politik, saling menjatuhkan, serang, dan delegitimasi,” kata Ujang.
Sementara itu, Ujang mengatakan polemik pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto tidak terlalu dimengerti oleh kalangan masyarakat di akar rumput. Menurut Ujang, fenomena ini dapat dilihat dari hasil survei yang menunjukan elektabilitas Prabowo-Gibran masih unggul.
“Prabowo-Gibran elektabilitas masih tinggi daripada pasangan capres dan cawapres lain,” kata Ujang kepada Tempo saat dihubungi, Kamis sore, 9 November 2023.
Menurut Ujang polemik yang terjadi di Mahkamah Konstitusi dan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sulit dimengerti oleh masyarakat, kecuali kalangan menengah ke atas atau orang berpendidikan.
Meski demikian, Ujang mengatakan dampak polemik ini bisa dilihat kembali pada survei objektif pasca-putusan MKMK. Kalau elektabilitas Prabowo-Gibran tetap turun, kata Ujang, artinya putusan itu berdampak terhadap elektabilitas dan mulai dipahami oleh masyarakat.
“Parameter dan indikatornya seperti itu,” kata Ujang.
62,1 Persen Masyarakat Masih Bisa Terima Dinasti Politik
Lembaga Survei Populi Center merilis hasil sigi terbaru mereka mengenai dinasti politik. Survei dilakukan setelah putra sulung Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo.
Pencalonan Gibran ini pun memunculkan isu dinasti politik karena Jokowi dianggap tengah menyiapkan sang anak untuk jadi wakil presiden. Apalagi perjalanan Gibran menjadi cawapres Prabowo melalui Mahkamah Konstitusi yang memutus soal batas usia capres-cawapres 40 tahun dengan tambahan frasa atau pernah menjadi kepala daerah. Saat itu MK masih dipimpin Anwar Usman, paman dari Gibran.
Populi lewat surveinya memperlihatkan hasil bahwa sebanyak 62,1 persen masyarakat masih bisa menerima praktik dinasti politik.
"Terkait persepsi terhadap dinasti politik sebesar 62,1 persen masyarakat menyatakan bisa menerima praktik dinasti politik," kata peneliti Populi Center Hartanto Rosojati, di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis, 9 November 2023.
Kemudian kata Hartanto, masyarakat yang menerima praktik dinasti politik tersebut terbagi menjadi dua kategori yakni bisa menerima sebanyak 15 persen dan biasa saja sebanyak 46,3 persen.
Adapun mereka yang tidak bisa menerima praktik dinasti mencapai 27,4 persen. Kategorinya terbagi kurang bisa diterima 18,9 persen dan sangat tidak bisa diterima 9,2 persen. Sedangkan sisa lainnya 10,5 persen tidak menjawab dan tidak tahu.
Hartanto mengatakan survei ini ingin menangkap bagaimana persepsi masyarakat mengenai dinamika politik usai tiga pasang calon mendaftar ke KPU sebagai peserta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.
Pilihan Editor: Pasca-putusan MKMK, TKN Sebut Survei Menunjukkan Ada Peningkatan Suara Prabowo-Gibran
ADIL AL HASAN | TIKA AYU