Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menebar surat kepada warga, mengajak mereka memilih Eri Cahyadi-Armudji.
Sejumlah pihak melaporkan tindakan Wali Kota Risma itu ke Bawaslu dan Kementerian Dalam Negeri.
Di Sumatera Barat, pilkada diwarnai penetapan tersangka para calon yang berlaga. Kompetisi memanas sepekan menjelang hari pencoblosan.
TERDIRI atas tujuh alinea, surat yang ditandatangani Tri Rismaharini itu mengajak warga Surabaya memilih calon wali kota dan wakil wali kota Eri Cahyadi-Armudji. Tak menyebutkan jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya, Risma menyatakan pasangan nomor urut satu itu akan membangun Ibu Kota Jawa Timur, membuka kesempatan kerja, dan menyejahterakan rakyat. “Ayo datang ke TPS-TPS, pilih Eri-Armudji. Jangan golput!” demikian penutup nawala tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat tertanggal 20 November 2020 itu menjadi viral setelah dikirimkan ke berbagai penjuru Kota Pahlawan, kurang dari sebulan menjelang hari pencoblosan. Selain surat Risma, amplop cokelat yang dikirimkan kepada warga berisi buklet visi-misi Eri, mantan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya, dan Armudji, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota itu. Pasangan ini diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai politik tempat Risma menjadi ketua bidang kebudayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beredarnya surat itu membuat kubu pasangan nomor urut dua, Machfud Arifin-Mudjiaman, meradang. Ketua tim advokasi Machfud Arifin-Mudjiaman, Sahid, menuding Risma tak netral sebagai kepala daerah dan ikut memenangkan Eri-Armudji. Sahid pun melapor ke Badan Pengawas Pemilihan Umum Surabaya dengan membawa delapan surat. “Bukti sudah cukup, surat itu tersebar ke banyak kecamatan,” ujar Sahid. Juru bicara tim pemenangan Eri-Armudji, Achmad Hidayat, mengatakan surat itu dikirim Risma dalam kapasitasnya sebagai Ketua PDI Perjuangan.
Tudingan soal ketidaknetralan Risma juga disampaikan oleh Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Surabaya. Awal Oktober lalu, KIPP melaporkan Risma ke Badan Pengawas Pemilu Surabaya karena dianggap memfasilitasi penggunaan Taman Harmoni saat penyerahan rekomendasi PDIP kepada Eri-Armudji. KIPP juga mempersoalkan gambar Risma dalam sosialisasi calon wali kota. Pertengahan November lalu, KIPP Jawa Timur melaporkan Risma ke Kementerian Dalam Negeri karena dianggap tak netral. Ketua PDIP Surabaya Adi Sutarwijono membantah tudingan itu. “Kampanye Bu Risma sudah sesuai dengan rambu yang diatur dalam undang-undang,” katanya.
Kepada Tempo pada Kamis, 3 Desember lalu, Ketua KIPP Jawa Timur Novri Bernado Thyssen mengaku diintimidasi pada saat beraudiensi dengan Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Komisaris Besar Jhonny Edison Isir pada akhir November lalu. Menurut dia, Isir malah mempersoalkan jumpa pers KIPP di kantor Bawaslu soal dugaan ketidaknetralan Risma. “Dia menilai tindakan kami ilegal dan tak etis,” tutur Novri.
Novri bercerita, Isir meminta tindakan itu tidak diulangi. “Jangan sampai KIPP dilaporkan ke kepolisian,” tutur Novri menirukan pernyataan Isir. Dia keberatan terhadap peringatan itu. Kepala Polres, kata Novri, juga menyatakan tak peduli lawan pasangan calon yang didukung Risma merupakan purnawirawan polisi. Machfud adalah mantan Kepala Kepolisian Daerah Timur.
Ditanyai soal ini, Isir menyangkal mengintimidasi KIPP. “Kami hanya audiensi dan diskusi biasa,” katanya. Dia mengklaim ada keberatan dari Bawaslu Surabaya terkait dengan penggunaan ruangan lembaga itu untuk jumpa pers. Isir pun membantah jika disebut memihak salah satu calon. “Kami menyadari salah satu calon adalah jenderal purnawirawan. Keberadaan beliau tidak menggerus profesionalitas dan netralitas kami.”
Mendekati pemilihan wali kota, yang digelar Rabu, 9 Desember, suasana politik di Surabaya memang mendekati titik didih. Sebelumnya, beredar video berisi sejumlah orang yang tergabung dalam kelompok Banteng Ketaton—yang berarti “banteng terluka”—menyanyikan lagu “Menanam Jagung” dengan syair yang dipelesetkan menjadi: “Hancurkan Risma”.
Mat Mochtar, kader gaek PDIP Surabaya yang membentuk kelompok itu, enggan berkomentar soal video tersebut. “Saya dimarahi banyak orang,” ujarnya. Namun dia membenarkan soal keinginan sejumlah kader PDIP agar partai banteng menjagokan Whisnu Sakti Buana, yang kini menjabat Wakil Wali Kota Surabaya.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP Bambang Wuryanto mengakui ada kekecewaan “orang lama” di Surabaya terhadap pencalonan Eri Cahyadi. Namun Bambang, yang telah bertemu dengan Whisnu setidaknya dua kali, menyatakan Whisnu sudah ikut bekerja memenangkan Eri. Mengakui pertarungan di Surabaya berjalan keras, Bambang meyakini Eri bakal menang. “Elektabilitasnya melesat jauh setelah rekomendasi partai turun,” kata Bambang.
Sebaliknya, Maman Abdurrahman, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar, juga optimistis jagoannya yang bakal menang. Dia mengklaim mesin delapan partai pengusung Machfud Arifin-Mudjiaman telah bekerja keras. Maman menilai lawannya cenderung hanya mengandalkan sosok Tri Rismaharini. “Eri selalu menggunakan bayang-bayang Risma,” ujarnya.
•••
MENINGGINYA tensi politik lokal juga terjadi dalam pemilihan Gubernur Sumatera Barat. Ini dipicu sejumlah manuver politik untuk menetapkan kedua calon gubernur yang berlaga sebagai tersangka di kepolisian. Di ranah minang, memang ada dua kubu yang tengah berhadap-hadapan. Partai Gerakan Indonesia Raya menyokong pasangan wakil gubernur petahana Nasrul Abit dan Bupati Agam Indra Catri. Sementara itu, Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional menjagokan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Mulyadi, dan Bupati Padang Pariaman Ali Mukhni.
Ketua Gerindra Sumatera Barat Andre Rosiade mengatakan elektabilitas jagonya bersaing ketat dengan lawan. Untuk memenangkan Nasrul, Gerindra menghadirkan petinggi partai, seperti Ketua Harian Sufmi Dasco Ahmad, dan bekas calon wakil presiden Sandiaga Salahuddin Uno ke provinsi itu. “Sumatera Barat halaman depan Gerindra, kami harus menang di sini,” kata Andre pada Rabu, 2 Desember lalu. Pada Pemilu 2019, Gerindra mendulang lebih dari 560 ribu suara dan mendapat tiga kursi Senayan dari dua daerah pemilihan.
(dari kiri) Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar, Mulyadi - Ali Mukhni, Nasrul Abit - Indra Catri, Fakhrizal - Genius Umar , dan Mahyeldi - Audy (kanan), mengikuti Debat Publik Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumbar, di Padang, Sumatera Barat, 23 November 2020. ANTARA/Iggoy el Fitra
Kampanye di sini memanas setelah Kepolisian Daerah Sumatera Barat menetapkan Indra sebagai tersangka. Ia dijerat dengan pasal pencemaran nama di media sosial terhadap rivalnya, Mulyadi. Belakangan, polisi tak melanjutkan kasus tersebut. Kepala Divisi Humas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Argo Yuwono justru menyatakan Indra belum ditetapkan sebagai tersangka. “Belum cukup bukti,” tuturnya.
Seorang pejabat yang mengetahui perkara itu mengatakan Markas Besar Polri telah meninjau ulang kasus tersebut. Buntutnya, Direktur Kriminal Khusus Polda Sumatera Barat Komisaris Besar Arly Jembar Jumhana dimutasi ke bagian Pelayanan Masyarakat Polri. Argo Yuwono menyatakan mutasi itu sesuai dengan mekanisme di lingkup internal kepolisian.
Yang menarik, pada Sabtu, 5 Desember lalu, Markas Besar Polri malah berbalik, menetapkan Mulyadi sebagai tersangka kasus pidana pemilu karena dianggap berkampanye lebih awal di televisi. Ketua Badan Pemenangan Pemilu Demokrat Andi Arief mendadak sontak mengkritik keputusan polisi itu. “Menetapkan tersangka pelanggaran pemilu memasuki minggu tenang bukan hanya aneh. Publik bertanya-tanya, sebenarnya tugas aparat itu mengayomi atau ikut berkompetisi,” kata Andi Arief. Namun dia meyakini Mulyadi bakal memenangi pemilihan gubernur di Sumatera Barat.
PRAMONO, BUDIARTI UTAMI PUTRI, INDRA WIJAYA (JAKARTA), KUKUH S. WIBOWO, NUR HADI (SURABAYA), LANGGAM.ID
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo