PANTAI Kuta yang termasyhur itu, belakangan ini semakin
menakutkan. Juga pantai berpasir putih ini dah terlanjur
mendapat julukan sebaliknya, daerah hitam. Karena begitu sang
surya lenyap, pelacur pun gentayangan, pengedar obat bius
bisik-bisik, hipies 90 prosen telanjang berbaring-baring. Dan
konon pencopet. penjambret juga nampak mondar-mandir.
Namun ketakutan bahwa Kuta akan menjadi daerah maksiat adalah
juga berbau promosi. Semakin seram cerita-cerita mengenai
kehidupan di pantai ini, semakin memancing minat orang untuk
mengunjunginya. Bersamaan dengan itu semakin meningkat pula
kegigihan penduduk Desa Kuta menjual kamar-kamar rumahnya plus
makanan kecil. Dan sekarang, terdengar ketakutan baru. Terutama
datang dari masyarakat pinggir Pantai Kuta, baik pengusaha
hotel, nelayan atau pelancong yang doyan laut. Jeritannya kali
ini: "pantai Kuta akan ditelan arus dan kalau tidak
ditanggulangi secara serius, beberapa tahun lagi musnah".
Ini mengagetkan. Karena apa artinya daerah wisata murah semacam
Kuta kalau pantainya tidak bisa lagi dinikmati?
Dewa Baruna
Yang dimaksud adalah bahaya erosi akibat arus laut yang
menghantam pinggir pantai, terutama sepanjang 1 km dari
Pertamina Cottage ke utara. Bahkan kompleks perumahan dinas
PUTL, proyek Bina Marga, Hotel Sunset Beach kompleks Hutama
Karya, pada bagian bangunan yang menjorok ke pantai sudah porak
poranda dilanda arus. Pada komplek PUTL dan Bina Marga, usaha
menjinakkan arus sudah ditempuh dengan membuat tanggul darurat,
dari batang pohon kelapa dan beton. Tapi tanggul itu sudah jebol
karena dasarnya terkuras arus.
Di sepanjang pantai yang indah ini nampak bekas tembok pagar,
bangunan untuk lampu hiasan dan bangunan untuk berteduh.
Semuanya sudah bergelimpang di pasir. Kuburan Tunon, persis di
muka Sunset Baach sudah pula dilanda arus. Perumahan Hutama
Karya saat ini kurang dari 6 meter sudah tercium air di waktu
pasang, padahal ketika dibangun 1974 jarak itu masih 15 meter.
Secara berkelakar, nelayan setempat menyebut, ini akibat
kemarahan Dewa Baruna (dewa laut) yang tidak menghendaki pantai
Kuta dijadikan daerah wisata dengan mengabaikan norma-norma
agama. Nelayan itu sambil memperbaiki jalannya di atas jukung
melanjutkan kelakarnya, "lihat saja sekarang, masyarakat sudah
jarang melasti ke pantai Kuta". Sebabnya? "Kita rikuh sembahyang
ditonton bule bugil", jawabnya sendiri. Melasti adalah upacara
turun ke laut jika ada persembahyangan di sebuah pura yang besar
atau menjelang Tahun Baru Icaka llyepi. Hal ini agaknya memang
benar, sebab masyarakat di sekitar Denpasar akhir-akhir ini
mencari pantai lain untuk upacara melasti, yang dulu-dulu memang
tempatnya di Kuta.
Pencari Karang Laut
Memang belum ada penelitian, kenapa arus laut menghantam dengan
deras sepanjang pantai Kuta yang indah ini. Setidak-tidaknya,
suara resmi dari kalangan pemerintah belum pernah dilontarkan,
itupun kalau Pemda sudah menaruh perhatian. Tapi yang tidak
resmi ada. Misalnya seorang menejer hotel yang tak mau ditulis
namanya ("agar jangan saya dikatakan mengadu",) bilang, arus
keras ini sudah terasa sejak perluasan landasan pelabuhan udara
Ngurah Rai yang menjorok ke laut.
Arus ini semakin keras lagi menghantam ke utara, ketika
Pertamina Cottage juga mengambil lokasi yang menimbun laut.
Akibat bangunarl Pertamina Cottage itu, arus laut gencar
merongrong pantai ke utara. "Karena 2 hal ini membuat keadaan
semakin parah, lebih-lebih adanya nelayan yang mencari karang
laut", tambah sumber TEMPO.
Perkara arus yang belok menghantam pantai dengan kuat ini juga
mengkuatirkan I Gde Beratha, Ketua Team Penyelamat Pantai.
"Areal untuk mandi semakin berkurang, dan angka kecelakaan
semakin bertambah", kata Beratha. Ia setuju, kalau pemerintah
melarang penduduk Kuta mencari karang laut di pantai seperti
larangan serupa di pantai Sanur. "Karang laut itu sangat
berfungsi untuk membendung arus", tambahnya.
Barangkali yang tinggal, bagaimana mencarikan jalan hidup lain
bagi pencari karang laut di pantai Kuta ini, kalau itu merupakan
sebab pantai Kuta semakin ditelan erosi. Pantainya tetap indah,
penduduknya tetap makan. Maklum, tidak semua penduduk Desa Kuta
terlibat dan berbakat mengurus bule.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini