Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberi usulan kepada DPR untuk menghapus kategori haji reguler dan khusus di bawah peraturan perundang-undangan. PBNU menyarankan sistem itu diganti dengan kategori haji berbasis layanan.
Salah satu ketua PBNU, Ishfah Abidal Azis, memberi usulan tersebut atas nama Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf. Ishfah, atau akrab disapa Gus Alex, mengatakan peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak relevan dengan perkembangan kebijakan haji di Arab Saudi, salah satunya karena sistem kuota Indonesia.
“Selama ini kuota jemaah haji Indonesia itu terbagi dalam dua rezim, yaitu reguler dan khusus. Maka kemudian ini akan berdampak pada keterbatasan kemampuan kita untuk memberikan layanan pada jemaah,” kata Gus Alex dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VIII DPR RI di gedung parlemen, Jakarta Pusat pada Rabu, 19 Februari 2025.
Adapun PBNU, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memberi masukan kepada Komisi VIII tentang pengaturan perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Gus Alex mengatakan, tempat dan fasilitas haji yang ada saat ini terbatas dan tidak mencukupi untuk jemaah haji reguler dengan kuota 92 persen. Ia memperkirakan, jika Indonesia mendapat tambahan kuota haji imbas dari target Arab Saudi untuk melayani 30 juta jemaah pada 2030, maka Indonesia akan kewalahan mengelolanya.
Berkiblat pada praktik di Arab Saudi, Gus Alex mengatakan PBNU ingin layanan haji berbasis layanan.
"Oleh karena itu, kami mengusulkan kuota jemaah haji Indonesia itu berbasis layanan. Jadi tidak lagi berbasis reguler dan haji khusus, tapi berbasis layanan,” kata mantan staf khusus Menteri Agama itu.
Selain itu, PBNU juga mengusulkan perubahan sistem kuota haji di provinsi. Selama ini, pembagian kuota dilakukan berdasarkan proporsi jumlah penduduk muslim atau proporsi jumlah daftar tunggu antarprovinsi.
“Kami mengusulkan ada kombinasi. Jadi, alternatif ketiga yaitu kombinasi antara jumlah penduduk muslim dan jumlah daftar tunggu antarprovinsi dengan pertimbangan kemaslahatan,” ujarnya.
Ihwal pembagian kuota haji reguler dan khusus diatur dalam UU No. 8 Tahun 2019. Berdasarkan definisi di undang-undang tersebut, jemaah haji reguler adalah jemaah haji yang menjalankan ibadah haji yang diselenggarakan oleh menteri. Sedangkan, jemaah haji khusus menjalankan ibadah haji yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Para jemaah haji khusus, atau sering disebut juga haji plus, menikmati fasilitas dan layanan tambahan dibandingkan dengan haji reguler. Mengutip Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), haji plus biasanya menawarkan paket perjalanan yang lebih lengkap dan nyaman, dengan biaya yang lebih tinggi.
Contoh fasilitas yang didapatkan para jemaah haji plus misalnya akomodasi di hotel-hotel berbintang yang berlokasi lebih dekat ke Masjidil Haram, serta transportasi yang lebih modern dan efisien. Selain itu, masa tunggu untuk haji plus biasanya lebih singkat daripada haji reguler karena kuota haji plus terbatas, sehingga proses keberangkatannya lebih cepat.
Sementara itu, haji reguler adalah jenis haji yang dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan syarat yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi. Haji reguler umumnya memiliki paket perjalanan standar tanpa tambahan fasilitas khusus, dan biaya yang lebih terjangkau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini