Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pegiat Lingkungan Ungkap Dampak Negatif Alih Fungsi Hutan

Mahkamah Agung mencabut PP No. 104 Tahun 2015 yang mengatur alih fungsi kawasan hutan.

3 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara kawasan hutan yang gundul akibat penebangan kayu di Jawa Barat, 25 Desember. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/aww.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendukung putusan uji materi Mahkamah Agung yang mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Selama ini, aturan yang mengizinkan alih fungsi hutan lindung dan kawasan konservasi menjadi perkebunan itu kerap dijadikan tameng oleh perusahaan untuk merambah hutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Komunikasi Yayasan Auriga Nusantara Syahrul Fitra menyebutkan bahwa aturan mengenai alih fungsi hutan diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo melalui paket ekonomi dengan target mendorong investasi. Namun, kata dia, sejak awal penerbitannya, aturan itu menuai kritik dari para aktivis lingkungan. "Pengusaha nakal yang selama ini berinvestasi dengan mengabaikan prinsip-prinsip investasi yang baik dan berkelanjutan diuntungkan," kata Syahrul, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahrul mengatakan banyak pengusaha nakal di sektor sawit yang merambah kawasan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi untuk dijadikan kebun sawit. Padahal kawasan hutan tidak diperkenankan dikonversi menjadi perkebunan sawit. "Namun pemerintah bukannya melakukan penegakan hukum, justru melegalkan penguasaan tersebut melalui PP 104 Tahun 2015," ujar dia.

Pekan lalu, Mahkamah Agung mengabulkan uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sebagai penggugat mempersoalkan pasal yang mengatur prosedur alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan. Pasal 51 PP No. 104 juga dipersoalkan lantaran menyatakan bahwa pemerintah melegalkan kawasan hutan yang telanjur dialihfungsikan menjadi kebun selama satu daur tanaman pokok.

Menurut Syahrul, praktik pelepasan kawasan hutan menjadi kebun sawit sering terjadi di Kalimantan Tengah dan Riau. Data yang diolah Auriga menemukan bahwa terdapat 115.694 hektare kawasan konservasi dan 174.910 hektare hutan lindung yang telah beralih fungsi menjadi kebun sawit.

Adapun jumlah keseluruhan kebun sawit yang berada di kawasan hutan mencapai 3,47 juta hektare, atau mencapai 20,2 persen dari keseluruhan kebun sawit yang seluas 16,8 juta hektare. Data Kementerian Pertanian mencatat luasan sawit terbesar berada di Riau dengan jumlah 3,38 juta hektare.

Auriga, yang bergerak di bidang pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, juga menemukan sejumlah modus korporasi untuk mendapatkan amnesti melalui PP 104. Pertama, korporasi secara sengaja mengkonversi kawasan hutan menjadi kebun sawit tanpa izin. Tindakan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan.

Modus lainnya, perusahaan melakukan ekspansi perkebunan sawit melalui pembakaran lahan di kawasan hutan. Setelah lahan terbuka dan kebun berdiri, pemerintah menerbitkan izin dengan landasan PP No. 104. Syahrul mengatakan tak mengherankan jika hampir setiap tahun Indonesia mengalami kebakaran lahan dan hutan.

Juru kampanye Greenpeace, Rio Rompas, mengatakan perambahan oleh korporasi berimplikasi pada kebakaran hutan seluas 1 juta hektare di hutan alam primer, hutan gambut, dan kawasan konservasi sepanjang 2015-2018. "Paling parah terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo. Di sana sudah dirambah habis-habisan untuk sawit," ucap dia.

Menurut Rio, perambahan dilakukan sejak lama oleh korporasi. Bahkan data World Wide Fund for Nature menemukan 70 persen dari 88 ribu hektare luas Taman Nasional Tesso Nilo telah dikuasai oleh korporasi sawit. Dia mengatakan pemerintah sama sekali tak melakukan penegakan hukum, tapi justru melegalkan pelanggaran hukum tersebut melalui PP No. 104.

Rio mendesak pemerintah mematuhi putusan Mahkamah Agung dengan mencabut PP No. 104. Selain itu, pemerintah harus mengeluarkan data ihwal konsesi kebun di kawasan hutan, sehingga penegak hukum dapat melakukan penyelidikan terhadap perusakan kawasan hutan.

Manajer Kajian Kebijakan Walhi Boy Even Sembiring menyatakan alih fungsi kawasan hutan dilakukan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia berujar, pada 2010 dan 2012, Presiden Yudhoyono juga menerbitkan aturan yang sama tentang alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan. "Peraturan pemerintah ini dibuat untuk memfasilitasi ketelanjuran, kebun-kebun di kawasan hutan dilegalkan," kata dia. AVIT HIDAYAT


Pegiat Lingkungan Ungkap Dampak Negatif Alih Fungsi Hutan

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus