Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KECERIAAN yang biasa menghiasi kampus bagaikan menghilang. Tak kelihatan para praja alias mahasiswa yang berjalan-jalan sambil berceloteh atau tertawa-tawa di lingkungan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Jumat sore pekan lalu, hanya tampak beberapa praja berseragam resimen mahasiswa sedang berlatih baris-berbaris di pelataran kampus yang berdiri megah di sisi Jalan Raya Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, itu. Lalu, di lapangan, sejumlah praja sedang berlatih terjun payung. Tidak ada pesawat terbang di atasnya. Mereka hanya berlari sekuat tenaga sambil tangannya mengendalikan parasut. Diterjang oleh angin, akhirnya payung naik ke atas, tapi cuma beberapa saat saja, lalu mendarat lagi ke tanah. Selebihnya sepi.
Dalam beberapa hari terakhir, mahasiswa STPDN memang tidak boleh keluar dari kampus atau tempat kosnya tanpa tujuan yang jelas. Perubahan ini merepotkan pedagang makanan sekitarnya. "Sekarang saya mesti lebih sering mengantarkan pesanan makanan ke kampus," tutur seorang pemilik warung Padang di dekat kampus.
Kematian Wahyu Hidayat, 20 tahun, yang mengubah suasana itu. Mahasiswa tingkat dua STPDN ini tewas pada Selasa, 2 September silam. Sempat dikubur di pemakaman di kampungnya di Desa Asem Timur, Citeureup, Bogor, akhirnya mayatnya dibongkar lagi untuk diautopsi karena kematiannya mencurigakan. Hasilnya? Pekan lalu Dokter Mun'im Idris, ahli forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, menyatakan kematian Wahyu akibat kekerasan benda tumpul yang mengenai bagian leher dan kepala belakangnya. Di bagian bawah otak terdapat luka bekas pemukulan. Tanda yang sama juga terdapat pada kelenjar gondok, yang menyebabkan saluran napas terjepit. "Ada pencekikan dan kepala yang dibentur-benturkan. Korban mati lemas," kata Dokter Mun'im.
Hasil autopsi itu menguatkan dugaan bahwa Wahyu tewas karena diberi "pelajaran" oleh para seniornya di tingkat tiga. Kecurigaan ini sudah muncul di kepala Raudi Hidayat, kakak kandungnya, saat memandikan korban. Ada luka memar di seputar leher Wahyu. Bibirnya biru dan dari hidungnya mengucur darah segar. Bahkan, sampai saat autopsi, masih terlihat bekas darah dari hidung di kain kafannya.
Berdasarkan pemeriksaan polisi terhadap 63 praja kelompok Jawa Barat di sekolah tinggi itu, akhirnya dipastikan Wahyu tewas karena dihajar oleh seniornya. Gara-garanya, ia dianggap tidak mematuhi perintah kakak kelasnya pada pertengahan Agustus silam. Wahyu dinilai tidak disiplin karena tak mengikuti upacara Hari Kemerdekaan di Lapangan Gasibu, Bandung. Selain itu, dia juga tak mau membawa proposal kegiatan kepada alumni STPDN yang telah berhasil, antara lain kepada Dani Setiawan, yang baru terpilih menjadi Gubernur Jawa Barat.
Usai upacara tujuh belasan, Wahyu langsung diburu kakak kelasnya dan dipukuli. Akibat perlakuan ini, dia sempat mengeluh kepada ibu asuhnya di barak Jawa Barat. Pemberian hukuman itu terhenti karena datang masa liburan sampai 31 Agustus. Saat itu kampus yang berada di bawah naungan Departemen Dalam Negeri ini tengah menerima praja baru. Hanya, Wahyu mencium gelagat bahwa seniornya belum puas menghukumnya.
Benar saja. Sehari setelah liburan usai, pemuda Bogor itu langsung menjadi sasaran lagi. Pada Selasa, 2 September lalu, sekitar pukul 22.00, ia digelandang di kawasan kontingen Jawa Barat. Di tempat itu, menurut salah seorang tersangka, Yayan Sofyan, 50 orang senior memukul, menendang, mencekik, dan membentur-benturkan kepalanya ke tembok. "Korban mendapat pukulan banyak," kata Yayan.
Akhirnya Wahyu kehabisan napas, tergeletak pingsan di lantai dan ditinggal begitu saja oleh para seniornya. Rupanya, Wahyu bukan sekadar pingsan, tapi sudah sekarat. Wahyu segera dilarikan ke Rumah Sakit Al-Islam, Sumedang. Tapi terlambat. Menjelang pukul 24.00, nyawanya sudah tiada.
Kini sembilan praja STPDN yang diduga terlibat langsung dalam pemukulan itu, termasuk Yayan Sofyan, ditahan Polres Sumedang. Menurut Kepala Kepolisian Resor Sumedang, Ajun Komisaris Besar Yoyok Subagyono, para tersangka dijerat Pasal 170 tentang pengeroyokan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukumannya penjara 12 tahun "Hingga saat ini pemeriksaan baru sampai pada tahap para pelaku langsung. Namun, tak menutup kemungkinan secara vertikal akan sampai ke pengasuh dan pimpinan STPDN," kata Yoyok.
Wahyu Hidayat bukanlah korban pertama. Tiga tahun sebelumnya seorang mahasiswa tahun pertama, Erie Rahman, juga tewas dianiaya seniornya. Bahkan di luar Wahyu dan Erie, diduga masih ada lagi korban kekerasan yang tak terungkap di kampus yang didirikan pada 1992 ini (lihat Tunas-Tunas yang Terinjak).
Kekerasan yang terjadi di STPDN boleh jadi karena cara penggemblengan yang salah di kampus ini. Sekolah para calon pegawai negeri sipil ini mengadopsi pendidikan ala militer. Semua praja adalah anggota resimen mahasiswa. Mereka dilatih dan diajar mirip calon tentara. Salah satu buku yang menjadi pegangan mereka adalah Pengetahuan Dasar Ketahanan Nasional Wawasan Nusantara, karya Kolonel (Purn.) Suratman dan Kolonel (Purn.) Nuzuar Zainun. Dalam buku ini diuraikan antara lain soal pengamanan senjata, mesin, makanan, dan bangunan militer. Dipaparkan juga cara melawan sabotase dan menundukkan bawahan. Di situ ditulis, "Pupuklah kesadaran wajib lapor bagi setiap anggota agar mereka segera melaporkan semua kejadian atau peristiwa yang mencurigakan."
Tim Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, pernah mengadakan penelitian di sekolah calon camat itu. Kesimpulannya, model pendidikan yang diterapkan di kampus ini memicu para mahasiswanya bersikap agresif, termasuk pula dalam perilaku seksualnya. "Di Jerman saja penggemblengan semacam itu hanya direkomendasikan untuk tentara," ujar salah seorang anggota tim itu. Sampel penelitian ini para praja madya tahun 2002, yang sebagian di antara mereka kini para pelaku penganiayaan terhadap Wahyu.
Hanya, sejauh ini Pembantu Ketua III STPDN, Baharudin Jalil, membantah bahwa kampusnya menggunakan kurikulum yang militeristik. Ia juga menjelaskan bahwa di kampusnya ada larangan melakukan pemukulan atau tindakan kekerasan. "Jadi, kejadian itu di luar sistem," ujarnya.
Kepala Dinas Psikologi Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Heryono, yang ikut membina para praja STPDN, prihatin atas kejadian kekerasan di sekolah calon pamong praja itu. Menurut dia, siswa STPDN bakal menjadi calon pemimpin bangsa. "Tapi malah bertindak di luar kontrol, tak mampu mengendalikan emosi, mengerdilkan dirinya sendiri, brutal, preman, dan jauh dari sikap sebagai seorang pengayom. Padahal, dulu waktu kami tes, mereka anak-anak yang penurut, baik, dan memiliki tingkat IQ yang bagus," kata Heryono kepada Upiek Supriyatun dari TEMPO.
Menurut Brigjen Heryono, lingkungan dan situasi yang mengubah mentalitas pamong praja itu menjadi brutal. "Saya melihat ada kelemahan dalam hal pengawasan sistem di lembaga pendidikan itu," kata Heryono. Ini terletak pada pengasuhan yang salah oleh seniornya. "Cara menegakkan disiplin bukan main pukul ramai-ramai, tapi cukup diberikan dalam bentuk push-up atau lari putar lapangan dan apa saja yang bersifat mendidik," ujarnya.
Bukan cuma cara pengasuhannya yang perlu diperbaiki. Menurut Jenderal (Purn.) Rudini, sistemnya juga mesti dibenahi, jika perlu pimpinan STPDN diganti. Pelatih yang diminta menggembleng mereka juga harus ditertibkan dan tidak boleh sembarangan. "Pelatihnya harus memenuhi kualifikasi. Tak bisa sembarang tentara yang jago perang lalu bisa jadi pelatih," kata Rudini kepada Putri Alfarini dari TEMPO.
Perubahan memang harus dilakukan. Sebaiknya, seperti yang diusulkan banyak orang, STPDN dilebur saja dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), yang juga berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Ini agar kematian Wahyu tidak semakin sia-sia. Syarif Hidayatullah, ayah Wahyu, yang sampai kini masih berduka, pun mengungkapkan keinginan yang sama. "Saya berharap Wahyu korban terakhir dan menjadi pelajaran bagi STPDN untuk mengubah sistemnya," ujarnya lirih.
Ahmad Taufik, Bobby Gunawan (Sumedang), dan Dwi Wiyana (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo