Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Tunas-Tunas yang Terinjak

Sudah berkali-kali STPDN memakan korban. Tiga tahun silam, nyawa Erie juga melayang gara-gara dihukum seniornya.

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMATIAN Wahyu Hidayat, Rabu dua pekan lalu, membongkar luka lama. Ternyata kisah tragis yang dialami mahasiswa junior tak hanya terjadi kali ini di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Sumedang, Jawa Barat. Jauh sebelum mahasiswa 20 tahun itu menjadi korban kekerasan kakak kelasnya, kejadian serupa telah merenggut nyawa Erie Rakhman dan sejumlah korban lain.

Kisah yang dilakoni Erie, yang pada tewas pada 3 Maret 2000, mirip dengan Wahyu. Saat itu ia belum genap setahun menjadi praja alias mahasiswa STPDN. Petaka mulai mengintipnya ketika suatu hari, sebulan sebelumnya, ia telat masuk kampus gara-gara berlibur di rumah orang tuanya di Bandung. Angkutan kota yang ditumpanginya terjebak macet dan Erie baru sampai di sekolah tinggi itu menjelang magrib. Padahal, menurut aturan di sana, seusai liburan, para praja muda harus apel pada pukul 17.00 WIB.

Keterlambatan itu membuat Ompu Muhammad Taufik, seniornya, langsung meminta Erie menemuinya seusai makan malam. Dalam tradisi di kampus ini, senior pertama yang memergoki adik kelasnya melanggar disiplin berhak memberikan "pelajaran".

Takut dihukum fisik, Erie tak memenuhi panggilan Ompu. Begitu pula hari-hari berikutnya. Bahkan ia sempat menahan lapar berhari-hari karena Ompu menunggunya di ruang makan. Sang junior hanya makan makanan sisa yang dibawakan teman-temannya.

Tapi suatu saat Ompu berhasil menemukan Erie. Ia langsung diminta mengangkat beban. Hukuman ini ditolaknya dengan alasan sedang puasa. Mendengar alasan itu, Ompu menyuruhnya datang menghadap malam harinya. Kali ini Erie menurut dan datang sekitar pukul 23.00 WIB. Kejengkelan Ompu yang sudah terpendam segera ditumpahkan. Kepalan tangannya beberapa kali bersarang di perut Erie.

Suara bak-bik-buk itu didengar Idham Khalid, Roni Catur Prabowo, Fadly Wijaya, Irvan Bangapadang, Heris Meyusef, dan Reza Saputra, teman satu angkatan Ompu. Bukannya melerai, mereka malah ikut berpesta. Erie babak-belur dipermak seniornya.

Esok sorenya, baru tubuh sekarat itu dibawa ke poliklinik. Setelah dirawat selama sebulan di Rumah Sakit Al-Islam, Bandung, dan menjalani operasi usus dua kali, anak muda yang bercita-cita menjadi camat itu tak tertolong. Menjelang tengah malam, ia mengembuskan napas yang terakhir.

Menurut sumber di STPDN, sejak sekolah tinggi ini didirikan pada 1992, sudah beberapa nyawa melayang sia-sia. Setelah kematian Erie, pada 11 Juli 2001 seorang praja putri tewas setelah menjalani aborsi yang dilakukan bidan di daerah Cimindi, Bandung. Pacarnya, yang juga praja di sana, akhirnya dipecat tanpa ada pengusutan aparat.

Sebelumnya, pada Juni 1993, Aliyan bin Jerani juga mati penuh misteri. Praja asal Sambas, Kalimantan Barat, ini lantas dikubur di pemakaman Desa Cibeusi, dekat kampus. Menurut M. Ichsan, ketua rukun warga setempat, masyarakat hanya diberi tahu bahwa Aliyan meninggal karena terjatuh dari tangga. Benarkah? Kepala Hubungan Masyarakat STPDN Ujud Rusdia tak bisa menjelaskan penyebabnya.

Kasus Erie terbilang benderang karena dibawa ke pengadilan. Ompu dan kawan-kawan divonis bersalah oleh Pengadilan Sumedang karena menyebabkan kematian Erie. Tapi semuanya dihukum ringan dan tidak pernah mendekam di penjara. Di tingkat banding, vonis ini tak berubah. Sejak Mei 2002, kasus ini sudah sampai ke Mahkamah Agung, tapi belum ada putusan kasasi.

Anehnya, para terdakwa tak dipecat dari STPDN. Padahal mereka telah "menginjak-injak tunas-tunas muda," adik kelasnya sendiri, hingga tewas. Menurut seorang mahasiswa STPDN, satu terdakwa lulus pada 2001 dan sekarang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Jambi dengan golongan III B. Sedangkan Ompu Muhammad diwisuda tahun ini, yang acaranya dihadiri oleh Presiden Megawati.

Kini, Atong Effendy, orang tua Erie, hanya bisa menunggu keadilan dari Mahkamah Agung.

Agus S. Riyanto, Bobby Gunawan, Dwi Wiyana (Sumedang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus