Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kekuasaan yang gagal

Dioclentianus, penguasa romawi, adalah satu-satunya kaisar sebagai pembangun sosialisme. dia mengerahkan para birokrat untuk mengontrol kekayaan & perdagangan di negerinya. toh birokrasinya gagal.

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA memanggil dirinya sendiri dominus. Ia menyebarkan desas-desus bahwa dia, sang Maharaja, adalah titisan Jupiter. Ia bahkan mengenakan mahkota yang jarang dipakai kaisar-kaisar Romawi pita putih bertatahkan mutiara. Anehnya Gaius Aurelius Valerius Diocletianus, penguasa Romawi antara tahun 284-305 Masehi, adalah satu-satunya kaisar yang dicatat sejarah sebagai pembangun "sosialisme" di imperium luas itu. Di tahun 301, ia keluarkan satu maklumat, Edictum de pretiis. Keadaan sosial ekonomi dan agaknya perasaan adil baginda menghendaki itu. Ia membagi-bagikan makanan bagi si miskin. Ia menyelenggarakan proyek-proyek pemerintah secara meluas -- untuk menampung tenaga kerja. Ia meletakkan industri di bawah pengawasan negara, agar tak ada segelintir pengusaha yang melonjak dari kebersamaan. Negara, dalam tradisi Romawi, memang telah lama menguasai kekayaan alam. seperti ladang garam dan pelbagai tambang. Kini di bawah Diocletianus wewenang itu bertambah. Tukang daging, tukang roti, tukang batu, pandai besi, peniup gelas, pemborong semuanya ditertibkan dengan aturan pemerintah yang mendetail. Dan mereka tak bisa berontak. Mereka kurang punya alasan moral. Sebaliknya, Diocletianus punya dasar yang kuat. Kerajaan sedang prihatin dan diancam musuh, sementara, begitulah keluh sang Maharaja dalam Edictum de pretiis "kebakhilan bersimaharajalela". Tak ayal lagi, para saudagar, dalam sistem kekuasaan yang punya asumsi demikian, jadi anjing diburu. Tapi sayang: Edictum itu ternyata cepat rontok. Para pedagang dengan tangkas menyembunyikan barang mereka. Untuk melawan permainan ini, dlkerahkan birokrasi. Tapi itulah yang harus ditanggung sebuah pemerintahan yang hendak mengatur terlalu banyak: aparat terpaksa bercabang-cabang, jawatan bertumpang tindih. Sejarahwan kuno Lactantius memperkirakan jumlah birokrasi zaman itu sampai mencapai separuh jumlah penduduk. Mungkin sekali angka itu berlebihan. Tapi ia toh melukiskan sebuah kesan yang kuat, tentang suatu masa, ketika biaya untuk birokrasi setiap tahun praktis menghabiskan seluruh pendapatan negara. Tentu, satu catatan perlu ditambahkan. Bukan biaya itu benar yang jadi soal, tapi kesia-siaa yang berlangsung. Will Durant, yang menyusun riwayat peradaban Barat dalam sebelas jilid tebal-tebal, di salah satu bagian karya besarnya itu mengungkapkan dengan bagus kesulitan yang dihadapi birokrasi Diocletianus: "The bureaucrats found their task too great for human integrity, their surveillance too sporadic for the evasive ingenuity of men." Tugas para birokrat itu ternyata terlampau berat bagi kejujuran manusia, dan pengawasan mereka terlampau terpecah-pecah untuk dapat menangkap kecerdikan orang yang pintar mengelak. Maka korupsi pun tumbuh, kelalaian berkecambah. Scmakin tercium pembusukan, semakin bertambah lapisan birokrasi untuk mengawasi -- dan begitulah seakan tak ada habisnya. Pada gilirannya, Diocletianus sendiri bahkan dituduh "ada main". Betapa menyedihkan. Sebab Diocletianus pada dasarnya bukanlah jiwa yang rendah. Ia memang memanggil dirinya dominus, tapi seperti dikatakan penulis tarikh kuno Aurelius Victor, "ia berperilaku bagai bapak". Baju-baju kebesaran itu dikenakannya, tapi ia tersenyum mafhum, bahwa di masa krisis itu, kekuasaan memerlukan banyak tata rias. Juga desas-desus bahwa dirinya keturunan dewa -- di masa ketika agama Kristen sudah menyebar -- bisa dilihat hanya sebuah siasat politik. Sebab bukan kekuasaan itu yang ia cari. Ia memakzulkan diri pada umur 55 tahun, menyerahkan kepemimpinan negara kepada yang lebih muda. Dan ketika orang memintanya kembali ke tahta untuk membereskan sebuah konflik, ia cuma menunjukkan tanaman kobisnya yang subur: seorang swasta yang ingin melupakan eksperimennya dengan "sosialisme".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus