Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pelurusan Sejarah 1965 Terhambat Isu PKI

Para pemain politik kesulitan menjual isu lain, seperti toleransi atau hak asasi manusia.

1 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas saat mengambil gambar patung tujuh pahlawan revolusi di Monumen Kesaktian Pancasila, Jakarta, 29 September 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Dalam beberapa tahun terakhir, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) rutin berembus saban September atau menjelang Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober. Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan isu tersebut mulai muncul pada 1998, ketika banyak orang secara bertahap berupaya meluruskan sejarah tragedi 1965.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun upaya pelurusan sejarah ini kemudian terhenti, antara lain karena diimpit atau diganggu oleh isu kebangkitan PKI. “Kalau melihat surveinya, baru pada periode 2016-2020 (beredar isu kebangkitan PKI). Sebelumnya, tidak terdengar isu ini,” kata dia saat rilis Survei Nasional SMRC dan webinar “Penilaian Publik terhadap Isu Kebangkitan PKI”, kemarin.

Asvi menuturkan, memasuki era reformasi, terbit buku-buku yang memberikan perspektif sejarah 1965 yang berbeda dengan perspektif Orde Baru. Langkah pelurusan sejarah itu kemudian dibarengi dengan upaya membentuk pengadilan hak asasi manusia ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa 1965.

Ia mengungkapkan, sejak 1998 hingga 2016 banyak bermunculan hal dan informasi baru mengenai peristiwa 1965. Puncaknya adalah digelarnya International People Tribunal (IPT) 1965 yang membahas pelanggaran HAM pada masa itu.

Asvi berujar, pengadilan IPT 1965 di Den Haag, Belanda, pada 11-13 November 2015, memberi dampak besar bagi pemerintah Indonesia. Pemerintah bahkan membuat simposium nasional mengenai peristiwa 1965 beberapa bulan kemudian, meski kemudian acara itu ditandingi oleh simposium lain.

Setelah 2016, kata dia, isu kebangkitan PKI mulai berbiak dan membanjiri media sosial. Menurut dia, orang-orang yang mempercayai kebangkitan PKI umumnya adalah orang-orang yang secara rutin menerima informasi bohong. “Itu dampak yang sebetulnya sangat buruk dari munculnya isu kebangkitan PKI ini,” ujar Asvi.

Isu mengenai PKI kembali muncul baru-baru ini. Berawal dari tudingan terhadap politikus PDIP, Arteria Dahlan, yang dianggap cucu dari kader PKI. Hal ini disampaikan wartawan Hasril Chaniago dalam acara Indonesia Lawyers Club pada 8 September lalu. Arteria membantah tudingan tersebut.

Isu PKI makin hangat setelah mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, mengaku dicopot dari jabatannya karena mengeluarkan perintah menonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI. Gatot juga menyebutkan, seorang sahabatnya dari PDIP memberinya peringatan mengenai hal tersebut. Tudingan ini dibantah oleh politikus PDIP, T.B. Hasanuddin.

Dosen Departemen Sejarah Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, mengatakan Reformasi 1998 tidak tuntas menghapus kekuatan Orde Baru. Ia menambahkan, tidak hanya orang-orang yang terlibat Orde Baru yang masih bertahan pada era hari ini, tapi juga visinya.

Bagi dia, orang-orang yang mengembuskan isu kebangkitan PKI merupakan pihak yang pada masa Orde Baru terlibat dalam penyebaran isu tersebut. Para pemain politik tersebut kini kesulitan menjual isu lain, seperti toleransi atau hak asasi manusia, karena bakal menjadi bumerang.

“Sekarang mereka mencoba mengangkat isu yang dulu proyek utama mereka. Enggak ada yang lain jualannya,” ucap Bondan saat dihubungi, kemarin.

Dia berujar, sudah saatnya masyarakat melihat peristiwa 1965 sebagai pembelajaran, bukan sebagai masalah politik. Ia juga meminta pemerintah menggagas rekonsiliasi terhadap peristiwa ini dengan meniru pengalaman negara lain yang juga memiliki sejarah traumatis.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Firman Noor, mengatakan isu kebangkitan PKI muncul sebagai dampak polarisasi politik selama pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 dan 2019. Narasi-narasi yang dibangun juga ditujukan kepada pemilih mengambang. “Ini cebong dan kadrun lagi ujung-ujungnya,” kata dia.

Firman menyampaikan, isu ini sebetulnya tidak mempengaruhi publik secara luas karena kebanyakan bersikap apatis. Selain itu, banyak generasi muda yang memiliki keinginan untuk menggali informasi seputar peristiwa kelabu itu dari berbagai referensi. “Mereka tidak mudah menerima informasi begitu saja. Kritis,” tutur dia.

EGI ADYATAMA | DIKO OKTARA 

 


Pelurusan Sejarah 1965 Terhambat Isu PKI

 

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus