Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembahasan revisi UU ITE digelar secara tertutup di DPR.
Membuka celah masuknya pasal selundupan.
Hak publik dalam proses legislasi dilanggar.
JAKARTA – Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, mempertanyakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlangsung secara tertutup. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dinilai mengabaikan prinsip transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas. Padahal undang-undang ini berdampak luas bagi masyarakat. "Kami khawatir ada penyisipan sejumlah pasal baru yang berbahaya bagi demokrasi," kata Damar, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usulan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah disetujui oleh DPR sejak 2021. Namun Komisi I DPR, yang membawahkan bidang komunikasi dan informatika, baru membentuk panitia kerja (panja) untuk membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) pada April lalu.Â
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun pembahasan revisi UU ITE dimulai sejak Mei 2023, dengan melibatkan panja dan pemerintah. Seluruh pembahasan digelar secara tertutup. Ketua Panja RUU ITE, Abdul Kharis Almasyhari, mengatakan pembahasan telah menyelesaikan Pasal 27 dan 28. "Saat ini masih membahas Pasal 45," katanya.Â
Rapat kerja pembahasan RUU Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 13 Februari 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Ketentuan yang tercantum pada Pasal 27 UU ITE mengatur tentang kesusilaan, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, dan pengancaman. Sedangkan Pasal 28 mengatur ketentuan berita bohong atau informasi menyesatkan yang menyebabkan kerugian materiil konsumen. Abdul menolak menjelaskan secara detail tentang perubahan pasal-pasal itu. "Intinya, kami usahakan untuk tak ada lagi pasal karet." Â
Alih-alih menjelaskan isi pasal hasil pembahasan, Abdul justru menceritakan proses pembahasan yang cukup lama. Menurut dia, untuk membahas satu ayat saja, dibutuhkan waktu sekitar delapan hari. "Kami buat exercise, pandangan dari polisi terhadap ayat ini bagaimana, kejaksaan bagaimana, serta dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bagaimana," katanya. Â
Kerumitan inilah yang menurut Abdul menjadi alasan rapat pembahasan digelar secara tertutup. Namun ia mengklaim pihaknya sungguh-sungguh dalam merumuskan setiap pasal yang dibahas. Dia tidak yakin revisi kedua UU ITE ini bisa segera dirampungkan untuk dibawa ke rapat paripurna DPR. "Belum sinkronisasi dan harmonisasi," ujarnya. "Kami tak mau kasus Prita Mulyasari terulang." Â
Pendapat berbeda disampaikan anggota Panja RUU ITE, Dave Akbarshah Fikarno Laksono. Menurut dia, pembahasan revisi UU ITE justru sudah hampir rampung. "Hampir semua pasal rampung, tinggal diharmonisasi dan disinkronisasi untuk dibawa ke rapat paripurna," ucapnya.
Dave tidak menjelaskan pasal-pasal apa saja yang sudah dirampungkan. Dia hanya menyebutkan pasal-pasal itu selama ini menjadi sorotan karena dianggap sebagai pasal karet. "Kami perbaiki sehingga ada kepastian soal kebebasan demokrasi dan kebebasan berekspresi," kata dia.
Ihwal rapat yang digelar secara tertutup, kata Dave, itu karena ada hal-hal sensitif yang dibahas. "Tapi bukan berarti kami menutup masukan dari luar," katanya. "Kami terima (masukan), baik dari para ahli, tokoh masyarakat, maupun akademikus."
Damar Juniarto mengatakan SAFEnet dan beberapa organisasi masyarakat sipil memang pernah diundang Komisi I DPR untuk mengikuti rapat dengar pendapat umum tentang RUU ITE. Dalam rapat yang digelar pada 27 Maret lalu itu, organisasi masyarakat sipil memberikan tiga rekomendasi.Â
Pertama, pembahasan revisi UU ITE harus melibatkan tim penyusun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Pelindungan Data Pribadi, dan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mereka perlu dilibatkan karena undang-undang itu lebih dulu mengatur norma dalam UU ITE. "Tanpa melibatkan mereka, akan ada potensi tumpang-tindih," kata Damar.
Kedua, pembahasan revisi ini harus terbuka agar publik bisa ikut mengawasi. Keterlibatan publik penting untuk mencegah adanya penyelundupan pasal dalam UU ITE. "Jadi, bukan sekadar pada rapat dengar pendapat," kata Damar. Ketiga, UU ITE yang sudah direvisi tidak memberi celah untuk mengkriminalkan masyarakat. "Tapi kami kecewa. Rekomendasi kami tak dipertimbangkan." Â
Dengan pelaksanaan rapat tertutup, kata Damar, Panja DPR justru menghidupkan sejumlah pasal yang ingin dihapus pemerintah. Pasal yang dimaksudkan itu adalah pasal mengenai pencemaran nama dan penghinaan yang tertuang dalam Pasal 27 dan 28 UU ITE.Â
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharief Hiariej (kanan) di Jakarta, 20 Maret 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Damar melanjutkan, pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej pada 28 November 2022 menyatakan Pasal 27 dan 28 UU ITE akan dimasukkan ke KUHP baru agar tidak terjadi disparitas dan gap. Penyesuaian ini dengan sendirinya mencabut ketentuan pidana pencemaran nama dan penghinaan. "Tapi, berdasarkan informasi yang saya terima, pasal itu tetap dipertahankan dalam rapat revisi UU ITE," katanya. "Alasannya, demi melengkapi KUHP." Â
Aturan kembar pada undang-undang yang berbeda itu, kata Damar, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Pada akhirnya, aturan ini justru mempersulit penegak hukum melakukan penindakan. "Akan semakin banyak kriminalisasi," ujarnya.
Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arbain, mengatakan rapat pembahasan RUU ITE yang digelar tertutup itu melanggar tiga hak publik dalam proses legislasi, yakni prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. "Transparan, sejauh mana data dikeluarkan. Partisipasi, sejauh mana publik dilibatkan dalam perumusan, bukan sekadar mendengarkan," ucapnya.
Untuk akuntabilitas, kata Arbain, DPR dinilai bermasalah karena dokumentasi hasil rapat hanya sedikit yang bisa diakses publik. Misalnya, Panja tercatat sudah 20 kali menggelar rapat pembahasan. Namun hanya 12 hasil rapat yang tercantum dalam situs web DPR. Informasi yang tertuang pun tidak lengkap. "Hanya ada jadwal karena rapat tertutup," ujarnya.
Dengan tidak terpenuhinya tiga prinsip itu, Arbain mengimbuhkan, DPR telah melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Regulasi itu mengatur bahwa rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, presiden, atau DPD harus disertai dengan naskah akademik, risalah rapat, dan catatan rapat. Semua itu harus bisa diakses publik. "Semua dokumen itu, kalau dicek di situs web DPR, tak ada," kata Arbain. "Ini jelas pelanggaran formil pembentukan undang-undang." Â
HENDRIK YAPUTRAÂ
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo