Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah berencana membeli 42 pesawat tempur Rafale dari Prancis.
Dinilai tidak sinkron dengan jet tempur lain milik TNI.
Kementerian Pertahanan menilai Rafale pilihan terbaik setelah lewat proses panjang.
JAKARTA — Pembelian jet tempur Dassault Rafale mengundang kritik. Pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI), Chappy Hakim, mengingatkan pemerintah bahwa sistem burung besi pabrikan Prancis itu berbeda dengan sistem pertahanan udara kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, barisan pesawat tempur Indonesia terdiri atas Sukhoi dari Rusia dan Fighter dari Amerika Serikat. "Saran saya, setiap membeli peralatan persenjataan harus sesuai dengan sistem yang sudah kita punya. Itu prinsip commonality atau kebersamaan," kata Chappy, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Staf TNI Angkatan Udara periode 2002–2005 itu mengatakan pesawat hanya satu unsur dalam sistem besar pertahanan udara. Unsur lainnya meliputi radar, markas komando, sistem komunikasi, dan lainnya. "Pesawat tidak bisa berdiri sendiri begitu saja," ujarnya. "Orang beli pesawat biasanya membeli sesuai dengan sistem yang sudah tersedia."
Chappy mengatakan pembelian Rafale seperti membangun sistem dari nol. Tidak hanya pelatihan pilot dan teknisi, tapi juga pembangunan fasilitas pendukung, dari bengkel perawatan sampai laboratorium kalibrasi. "Jadi, pasti akan lebih mahal," kata dia.
Akan berbeda jika Indonesia membeli Sukhoi atau Fighter. "Sudah ada instruktur, pilot, juga sarana latihan," ujarnya.
Prabowo Subianto dan Florence Parly menyaksikan penandatanganan pembelian 42 pesawat tempur Dassault Rafale di Jakarta, 10 Februari 2022. Dassault-aviation.com
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengumumkan rencana pembelian 42 unit Rafale setelah menerima kunjungan Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly pada Kamis pekan lalu. Pertemuan itu sekaligus untuk penandatanganan kontrak pembelian perdana enam unit jet tempur generasi 4.5 tersebut.
Seperti dalam proyek pembelian alat utama sistem senjata lain, pemerintah tidak mengumumkan nilai pembelian 42 unit Rafale. Lembaga intelijen pertahanan, Janes, menyebutkan nilai kontrak tersebut sekitar US$ 6,5 miliar atau setara dengan Rp 93 triliun.
Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie mengingatkan bahwa Indonesia belum pernah menggunakan produk Prancis dalam sistem pertahanan udara. Menurut dia, proses peralihan dari F-16 ke Rafale membutuhkan kajian yang matang. "Ini pesawat tempur yang pakai sistem. Jangan cuma beli," ujarnya.
Menurut dia, Kepala Staf Angkatan Udara biasanya membutuhkan waktu hingga satu tahun untuk mempelajari rencana pembelian dengan mengirim perwira untuk dilatih dan mempelajari jet tempur tertentu. Setelah mendapatkan semua informasi, negara akan memesan pesawat itu sesuai dengan kebutuhan pilot-pilotnya. Connie menyebutkan Rafale di Prancis pasti berbeda dengan pesanan Arab Saudi. Dia ragu penilaian mendalam seperti itu akan dilakukan di Indonesia.
Kelemahan lain adalah Rafale terbilang mahal, sekitar US$ 115 juta atau setara dengan Rp 1,6 triliun. Situs web Aero Time menempatkan Rafale sebagai jet tempur termahal ketiga setelah Eurofighter Typhoon, F-35B, serta F-35C.
Dewan Perwakilan Rakyat akan mempertanyakan keputusan pemerintah memborong pesawat yang belum pernah digunakan di Indonesia itu. Anggota Komisi Pertahanan, Dave Laksono, mengatakan pembelian jet tempur memang dibutuhkan untuk memperkuat pertahanan, tapi tetap harus memperhatikan perencanaan sumber daya manusia untuk mengelolanya.
Dewan juga menuntut pemerintah mendapatkan timbal balik berupa transfer teknologi dari produsen. "Jadi, kita bisa melakukan perbaikan dan perawatan jangka panjang sendiri," kata politikus Partai Golkar itu.
Juru bicara Kementerian Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan pemerintah memilih Rafale setelah proses pertimbangan yang panjang. Menteri Prabowo terlibat langsung dalam pemilihan. "Dari proses itu, pilihan jatuh pada Rafale," kata Dahnil.
Menurut dia, pemilihan Rafale melalui empat pertimbangan. Pertama, pembelanjaan sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan. Kedua, faktor geopolitik dan geostrategi. "Kami melihat posisi Prancis di lima negara yang memproduksi alutsista terbesar dunia," ujar Dahnil.
Ketiga, pertimbangan efisiensi dan kemampuan kapasitas fiskal. Keempat, alih teknologi atau upaya mewujudkan kemandirian pertahanan. "Yang memenuhi empat kriteria, Prancis," ujarnya.
Setelah penandatanganan kontrak, Dahnil melanjutkan, Indonesia akan membayar uang muka lewat Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam tiga sampai enam bulan mendatang. Saat itulah kontrak baru dianggap efektif. Enam jet tempur awal akan dikirim ke Indonesia sekitar 4,5 tahun lagi. "Nanti akan ada lagi kontrak 36 pesawat lainnya dan dua kapal selam," kata Dahnil.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo