Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemekaran Papua Tunggu Revisi UU Otonomi Khusus

Rencana pembentukan provinsi baru di 10 kabupaten di wilayah adat Lapago menuai kontroversi.

15 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah pusat menunggu revisi UU Otonomi Khusus Papua untuk membentuk satu provinsi baru di Papua.

  • Delegasi Papua menyampaikan aspirasi pemekaran provinsi di sana sejak September tahun lalu.

  • Rencana pembentukan provinsi baru di Papua menuai pro dan kontra di masyarakat.

JAKARTA — Pemerintah pusat berencana membentuk provinsi baru di sepuluh kabupaten di wilayah adat Lapago, Papua. Dengan adanya pemekaran ini, Papua akan terdiri atas lima provinsi. Namun rencana pemekaran provinsi tersebut masih menunggu hasil revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, yang saat ini dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan pemerintah akan mendiskusikan terlebih dulu mengenai payung hukum untuk melakukan pemekaran wilayah di Papua. "Memang ada aspirasi dari rakyat Papua untuk memekarkan Papua agar dibentuk provinsi baru seperti di Papua Selatan,” kata Mahfud kepada Tempo, kemarin. "Tapi kami masih menampung aspirasi itu dan menganalisis payung hukumnya. Nantilah kami diskusikan dulu payung hukumnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wacana melakukan pemekaran Papua menjadi lima wilayah ini mengemuka pada September 2019. Sebanyak 61 orang Papua diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara. Dalam kesempatan tersebut, delegasi Papua ini menyampaikan keinginan pemekaran wilayah Papua. Belakangan, sejumlah pihak di Papua mengklaim bahwa 61 orang delegasi itu tidak merepresentasikan warga Papua secara keseluruhan.

Presiden Joko Widodo saat menerima sejumlah masyarakat Papua di Istana Negara, Jakarta, 10 September 2019. TEMPO/Subekti

Setelah pertemuan itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menggelar rapat bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian serta Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo. Seusai rapat yang digelar di gedung MPR untuk membahas rencana revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, Mahfud mengungkapkan bakal ada penambahan tiga wilayah Papua. Isu pemekaran wilayah ini akan diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua versi teranyar.

Dalam mewujudkan rencana pemekaran ini, Mahfud mengatakan, pemerintah akan melibatkan Kaukus Papua MPR yang bernama For Papua. Tujuannya untuk melancarkan komunikasi rencana pemekaran tersebut. Komunikasi itu diperlukan untuk meluruskan perbedaan pendapat dan mendekatkan kembali hubungan antara masyarakat Papua dan pemerintah.

Bambang Soesatyo berargumen bahwa pemekaran Papua menjadi lima provinsi bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat Papua. Apalagi klausul pemekaran juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. "Pemekaran wilayah telah menjadi amanat undang-undang. Ini tujuannya untuk lebih berfokus menyejahterakan rakyat Papua karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia," kata Bambang, September tahun lalu.

Mahfud Md. TEMPO/Imam Sukamto

Masyarakat Papua terbelah menanggapi rencana pemekaran wilayah ini. Dikutip dari Jubi—media lokal di Papua—Sekretaris Fraksi Bangun Papua Alfred Fredy Anouw meminta DPR Papua menolak rencana pemekaran tersebut. Alfred mengklaim penolakan itu berasal dari berbagai kelompok masyarakat, seperti mahasiswa, pemuda, tokoh adat, serta tokoh agama.

"Kami ingin DPR Papua bersikap dan menunjukkan kepada rakyat sebagai lembaga wakil rakyat, DPR Papua benar-benar ada bersama rakyat," kata Alfred.

Menurut Alfred, keinginan untuk melakukan pemekaran bukan berasal dari mayoritas warga Papua, melainkan hanya aspirasi para bupati dan elite politik daerah.

Pekan lalu, ratusan mahasiswa asal wilayah adat Lapago berkumpul di Kota Jayapura. Mereka berasal dari 10 kabupaten di wilayah adat Lapago, yakni Kabupaten Jayawijaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yahukimo, Lanny Jaya, Puncak, Nduga, Mamberamo Tengah, dan Yalimo.

Mahasiswa menolak usul pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk provinsi baru di wilayah adat Lapago. Para mahasiswa ini menilai usul pemekaran tersebut merupakan kepentingan elite politik Lapago untuk berkuasa. Pemekaran itu dianggapnya tidak akan menyejahterakan rakyat di Lapago.

Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa asal Kabupaten Nduga, Warnus Tabuni, meminta elite politik wilayah adat Lapago berhenti mengatasnamakan rakyat untuk meminta pemekaran. “Pembangunan provinsi baru itu untuk siapa? Jumlah kami sedikit. Yang mau kerja di (daerah otonomi baru) itu siapa? Manusia atau babi?” kata Warnus. “Jadi, elite politik yang meminta-minta pemekaran itu, stop korbankan rakyat.”

Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib menguatkan pendapat Warnus itu. Ia mengatakan lembaganya menolak rencana pemerintah mengubah Pasal 76 Undang-Undang Otonomi Khusus Papua mengenai pemekaran Provinsi Papua tanpa persetujuan masyarakat Papua. Ia menduga, lewat revisi Undang-Undang Otonomi Khusus nantinya, pemerintah berencana menghapus kewenangan MRP dan gubernur dalam memberi pertimbangan pemekaran wilayah di Bumi Cenderawasih. “Orang kampung bilang, ini ibarat orang Papua yang makan, tetapi yang rasa Jakarta,” kata Timotius.

Tokoh politik Lapago, Briyur Wenda, berpendapat berbeda. Ia justru menegaskan bahwa para tokoh dan masyarakat mendukung Provinsi Papua dimekarkan menjadi beberapa provinsi. Briyur mengusulkan agar 10 kabupaten di wilayah adat Meepago dibentuk menjadi satu provinsi baru. Usulan Briyur ini sudah disampaikan kepada Komisi Pemerintahan DPR.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng, mengatakan pemerintah pusat harus memiliki agenda nasional sebelum memutuskan untuk memekarkan Provinsi Papua. Ia berharap pemerintah memikirkan lebih dulu tujuan yang ingin dicapai dari pemekaran tersebut. "Harus jelas apa yang mau dicapai dengan pemekaran itu," katanya.

MAYA AYU PUSPITASARI | JUBI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus