Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Peneliti Pukat UGM: Pengampunan Koruptor Sinyal Buruk Pemberantasan Korupsi

Ide Prabowo memberi pengampunan kepada koruptor bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

24 Desember 2024 | 14.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi korupsi. Pexel/Cottonbro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan, ide Presiden Prabowo memberikan pengampunan kepada koruptor asal mengembalikan hasil curian merupakan sinyal buruk bagi pemberantasan korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zaenur menilai, ide itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU). Ide itu bertentangan dengan pasal 4 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal itu berisi pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Secara hukum saat ini tidak boleh ada pelaku tindak pelaku korupsi yang tidak diproses hanya karena mengembalikan kerugian negara,” kata Zaenur saat dihubungi, Selasa 24 Desember 2024.

Zaenur menjelaskan, ketika pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan hasil pidana, tidak otomatis menghapus penuntutan. Apalagi, pengembalian hasil pidana itu biasa digunakan jaksa penuntut umum dalam mengajukan tuntutan bahkan dimanfaatkan hakim untuk memberikan vonis. “Bisa jadi pertimbangan untuk meringankan,” kata Zaenur.

Pada sisi lain, Zaenur menilai, pelaku korupsi tidak mungkin mau mengembalikan hasil curiannya hanya karena perintah presiden. Pelaku hanya gentar bila ada penindakan dari aparat penegak hukum. “Mereka tidak akan gentar hanya diancam secara lisan meski oleh presiden. Diperlukan bentuk penindakan tegas dan keras terhadap pelaku dari aparat,” kata Zaenur.

Ia mengatakan, bila maksud presiden melakukan pengampunan itu dalam kerangka mereformulasi pemidanaan korupsi memang bisa dilakukan dengan mengubah undang-undang. Namun, pengampunan itu hanya bisa dilakukan untuk korporasi, bukan individu. “Pelaku perorangan tidak bisa dilakukan pengampunan meski dia sudah mengembalikan. Yang bisa dilakukan hanya pengampunan korporasi,” kata Zaenur. 

Pengampunan kepada korporasi bisa dilakukan dengan menggunakan sistem Deffered Prosecution Agreement (DPA). DPA adalah upaya untuk mengoptimalisasikan pengembalian kerugian negara yang pelakunya adalah korporasi. Dalam penerapan sistem itu, pelaku tidak hanay mengembalikan hasil korupsi tapi wajib membayar denda.

Meski begitu, Zaenur mengatakan, pemerintah lebih baik segera membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Perampasan aset itu bisa digunakan untuk repatriasi aset-aset korupsi yang dilarikan ke luar negeri. 

Selain pengesahan RUU Perampasan Aset, pemerintah juga perlu merevisi UU Tipikor, diikuti pembahasan dan pengesahan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. “Lalu kembalikan independensi KPK dengan merevisi UU KPK,” kata Zaenur. 

Menurut Zaenur, penyediaan regulasi bagi aparat penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi ini lebih penting ketimbang memberikan tindakan pengampunan. Tindakan pengampunan Prabowo justru berbahaya. “Pengampunan itu berbahaya karena memberikan intensif pelaku tindak pidana korupsi karenabisa diampuni. Sinyal buruk,” kata Zaenur.

Wacana pengampunan untuk koruptor ini disampaikan Prabowo saat berpidato di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Presiden Prabowo Subianto mengatakan ingin memberikan kesempatan kepada koruptor untuk bertaubat.

Menurut dia, para koruptor yang mengembalikan uang atau kerugian negara akan diberikan maaf oleh pemerintah dan tidak akan dipublikasikan identitasnya. "Kami beri kesempatan koruptor mengembalikan korupsinya supaya enggak ketahuan," ujar Prabowo, dikutip dari tayangan YouTube Sekretariat Presiden pada Rabu, 18 Desember 2024.

Adapun Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menjelaskan pernyataan Presiden Prabowo itu sebagai salah satu bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara atau asset recovery.

"Apa yang dikemukakan presiden itu sejalan dengan pengaturan UN Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah kita ratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006. Sebenarnya setahun sejak ratifikasi,” kata dia dalam keterangan resmi, Kamis, 19 Desember 2024.

Dia juga mengatakan pemerintah Indonesia perlu melakukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan menyesuaikan aturan tersebut agar selaras dengan UNCAC. “Kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya," kata dia.

Yusril mengatakan upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi adalah pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif dan pemulihan kerugian negara.

Yusril tak merasa ada yang salah dari pernyataan Prabowo yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang negara yang dicuri. “Dapat dimaafkan jika mereka dengan sadar mengembalikan kerugian negara akibat perbuatannya,” kata Yusril.

Dia menyebut pernyataan Presiden Prabowo itu menjadi gambaran dari perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan KUHP Nasional yang akan diberlakukan awal tahun 2026 yang akan datang. Menurut dia, penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi menekankan pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.

“Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi haruslah membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi bangsa dan negara, bukan hanya menekankan pada penghukuman kepada para pelakunya,” kata dia.

Nandito Putra berkontribusi dalam tulisan ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus