Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti politik dari Populi Center, Usep Saepul Ahyar, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold menguntungkan partai politik. Terutama partai politik nonparlemen yang memiliki sumber daya terbatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tetapi, meski ambang batasnya dihapus, tidak berarti jika rintangannya hilang juga," kata Usep saat dihubungi, Jumat, 3 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rintangan yang dimaksud Usep, ialah ihwal ongkos politik yang amat besar yang harus dikeluarkan oleh para pihak maupun partai yang berkeinginan mencalonkan kadernya menjadi calon presiden atau wakil presiden pada pemilu 2029 mendatang.
Dia mengatakan, ongkos politik untuk maju sebagai calon presiden di Indonesia, terbilang sangat mahal ketimbang negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya.
Sehingga, meski putusan MK menguntungkan, tapi tidak membuat peluang menang bagi partai akan besar. "Namun, putusan ini tentu harus diapresiasi karena berpotensi meningkatkan partisipasi publik," ujar Usep.
Pendiri Lembaga survei KedaiKOPI, Hendri Satrio, menyatakan hal senada dengan Usep. Ia mengatakan putusan Mahkamah menghapus presidential threshold telah membuka kesempatan bagi partai politik untuk mengusung kadernya secara mandiri.
Akan tetapi, kata dia, biaya yang diperlukan untuk mengusung pencalonan presiden atau wakil presiden tidaklah murah. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mencalonkan dirinya.
"Dukungannya bukan hanya tentang dukungan finansial, tetapi dia juga harus memiliki tabungan atau investasi elektoral," ujar dia.
Adapun MK mengabulkan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menguji Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berkaitan dengan syarat persentase Presidential Threshold.
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua Mahkamah Saldi Isra mengatakan syarat presidential threshold berapa pun besaran persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut Mahkamah, mempertahankan ketentuan ambang batas tersebut hanya akan memberikan dampak terbatasnya calon presiden dan wakil presiden yang bisa diusulkan. Apabila dibiarkan, kemungkinan potensi pemilu diikuti calon tunggal juga amat besar.
Sehingga, kata Saldi, jika hak tersebut terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.
"Agar pelaksanaan kedaulatan rakyat dan partisipasinya meluas sesuai perkembangan demokrasi," ujar Saldi.