Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Peneliti Sebut Oligarki di Kalsel Sebabkan Masyarakat Tak Berani Mengkritik

Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik Banjarmasin mengatakan oligarki menyebabkan masyarakat tak berani mengkritik kondisi di Kalimantan Selatan.

2 Mei 2021 | 21.02 WIB

Ilustrasi pembungkaman kebebasan berpendapat. Shutterstock.com
Perbesar
Ilustrasi pembungkaman kebebasan berpendapat. Shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik Banjarmasin Muhammad Uhaib As’ad, mengatakan masyarakat di Kalimantan Selatan mengalami budaya diam atau silent culture akibat menguatnya oligarki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Uhaib menjelaskan, sumber daya alam yang melimpah di Kalsel tidak berbanding lurus dengan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, masyarakat tidak bisa apa-apa dan bersuara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Karena kalau ngomong akan nerima risiko baik fisik atau teror. Mengalami silent culture,” ujar Uhaib dalam diskusi Demokrasi dalam Cengkeraman Oligarki, Ahad, 2 Mei 2021.

Uhaib mengatakan, media tidak berani mengekspos oligarki yang menguras sumber daya alam di Kalimantan Selatan. Bahkan para akademisi di Kalsel juga memilih untuk ‘tidur’ dan masa bodoh.

Dosen FISIP Universitas Islam Kalimantan ini menyebut, para akademisi banyak mengalami penjinakan karena kekuatan modal yang sudah mengekspansi pada dimensi perguruan tinggi, institusi agama dan organisasi sipil. “Masuk dalam lingkaran gurita oligarki,” kata dia.

Ibarat kesebelasan sepakbola, Uhaib mengatakan bahwa oligarki tidak perlu menendang bola tapi cukup mengatur irama permainan dan bisa mentransfer pemain yang bisa dijadikan ujung tombak.

Kepala daerah terkini secara syariat memang hasil pilkada, tapi secara substantif yang sejati penguasa itu adalah pemilik modal karena membiaya pilkada yang mahal. Sehingga, kata Uhaib, kebijakan penguasa yang terpilih tersandera terkait regulasi pengelolaan sumber daya alam.

“Jadi SDA sumber patronasi, dan dia menjadi instrumen persengkokolan antara penguasa (oligarki) dan pemilik modal. Ada satu kepentingan yg mempertemukan kepentingan bisnis dan politik. Ada exchange resources,” katanya.

 

Friski Riana

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus