Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik Banjarmasin Muhammad Uhaib As’ad, mengatakan masyarakat di Kalimantan Selatan mengalami budaya diam atau silent culture akibat menguatnya oligarki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uhaib menjelaskan, sumber daya alam yang melimpah di Kalsel tidak berbanding lurus dengan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, masyarakat tidak bisa apa-apa dan bersuara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Karena kalau ngomong akan nerima risiko baik fisik atau teror. Mengalami silent culture,” ujar Uhaib dalam diskusi Demokrasi dalam Cengkeraman Oligarki, Ahad, 2 Mei 2021.
Uhaib mengatakan, media tidak berani mengekspos oligarki yang menguras sumber daya alam di Kalimantan Selatan. Bahkan para akademisi di Kalsel juga memilih untuk ‘tidur’ dan masa bodoh.
Dosen FISIP Universitas Islam Kalimantan ini menyebut, para akademisi banyak mengalami penjinakan karena kekuatan modal yang sudah mengekspansi pada dimensi perguruan tinggi, institusi agama dan organisasi sipil. “Masuk dalam lingkaran gurita oligarki,” kata dia.
Ibarat kesebelasan sepakbola, Uhaib mengatakan bahwa oligarki tidak perlu menendang bola tapi cukup mengatur irama permainan dan bisa mentransfer pemain yang bisa dijadikan ujung tombak.
Kepala daerah terkini secara syariat memang hasil pilkada, tapi secara substantif yang sejati penguasa itu adalah pemilik modal karena membiaya pilkada yang mahal. Sehingga, kata Uhaib, kebijakan penguasa yang terpilih tersandera terkait regulasi pengelolaan sumber daya alam.
“Jadi SDA sumber patronasi, dan dia menjadi instrumen persengkokolan antara penguasa (oligarki) dan pemilik modal. Ada satu kepentingan yg mempertemukan kepentingan bisnis dan politik. Ada exchange resources,” katanya.