Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Penghuni Baru Gedung Kura-kura

Sejumlah calon legislator tersohor gagal menembus Senayan. Efek ekor jas tak terlihat di pemilu legislatif.

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERMINTAAN stiker bergambar wajah dan nama Johan Budi Sapto Pribowo terus meningkat pada masa kampanye Pemilihan Umum 2019. Para sopir angkutan kota di lima kabupaten di Jawa Timur: Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, Ngawi, dan Magetan, meminta stiker calon legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut untuk dipasang di kaca depan dan belakang mobil mereka.

Padahal, pada awal masa kampanye, tim Johan harus meminta izin lebih dulu kepada para sopir angkot untuk memasang stiker. Setelah masa kampanye berakhir, Johan mendapat informasi dari timnya bahwa para sopir justru menolak stiker tersebut dicopot saat petugas pengawas pemilu dan Satuan Polisi Pamong Praja menertibkan alat peraga kampanye. “Para sopir itu bilang mobil mereka tidak ditilang kalau ada stiker saya,” kata juru bicara presiden tersebut, Jumat, 3 Mei lalu.

Johan tidak mempersoalkan niat para sopir. Mantan juru bicara dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu menilai sopir angkot telah membantu mempopulerkan namanya sebagai calon legislator nomor urut satu di daerah pemilihan Jawa Timur VII. “Banyak orang mengenal saya sebagai juru bicara KPK, tapi belum banyak yang tahu kalau saya nyaleg,” ujar Johan, yang mengaku berkampanye setiap akhir -pekan.

Johan Budi S.P. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Ikut mengkampanyekan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Johan selalu membicarakan keberhasilan pemerintah. Kadang ia tak mampu menjawab pertanyaan calon pemilih yang ditemuinya. Kalau sudah begitu, Johan lantas menghubungi menteri yang bertanggung jawab terhadap persoalan yang ditanyakan. Misalnya, di Pacitan dan Trenggalek, Johan menghubungi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat para nelayan menanyakan pembatasan penangkapan lobster.

Ketika sejumlah penduduk menanyakan ihwal dana desa, Johan pun menelepon Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo. Dua menteri itu lalu memberikan penjelasan langsung. “Jadi kampanye saya menghubungkan para menteri dengan pemilih,” kata Johan. Dimintai keterangan, Menteri Susi membenarkan pernyataan Johan. Sedangkan Eko Putro Sandjojo belum memberikan tanggapan.

Mengaku mengeluarkan duit ratusan juta rupiah dan mengklaim tak bagi-bagi duit, Johan mengantongi lebih dari 75 ribu suara. Ia hampir pasti lolos ke Senayan. Ihwal terpilihnya Johan, Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Bambang Dwi Hartono menyatakan tak kaget. Menurut Bambang, partainya menjadikan Johan sebagai salah satu calon legislator prioritas. “Ibu Megawati meminta struktur partai ikut membantu Pak Johan,” ujar Bambang.

Budiman Sudjatmiko. TEMPO/Nita Dian

Di daerah pemilihan yang sama, calon legislator lain dari PDIP, Budiman Sudjatmiko, gagal melaju ke Senayan. Sebelumnya, Budiman dua kali terpilih dari daerah pemilihan Jawa Tengah VIII, yang meliputi Kabupaten Cilacap dan Banyumas. Budiman, yang menempati nomor urut tiga, mengaku awalnya tak berminat maju kembali karena sudah dua periode menjabat. Ia pun enggan mendaftar saat partainya mulai menyusun daftar calon anggota legislatif. “Tapi partai memerintahkan saya membantu memenangkan Pak Jokowi di Jawa Timur VIII,” katanya.

Mantan aktivis politik yang ditahan pada masa Presiden Soeharto ini memilih berfokus memenangkan Jokowi-Ma’ruf. Budiman berkali-kali tampil di televisi untuk menjelaskan soal strategi firehose of falsehood atau serbuan kabar bohong yang ditujukan kepada Jokowi. Ia juga berkeliling di Belanda dan Inggris serta Australia untuk menggalang suara pemilih luar negeri. Sekitar dua pekan sebelum pencoblosan, barulah Budiman menggarap daerah pemilihannya.

Politikus lain dari partai banteng yang gagal melenggang ke Senayan adalah Eva Kusuma Sundari dan Maruarar Sirait. Meski memperoleh suara lebih dari 80 ribu, Eva tak mendapat kursi di daerah pemilihan Jawa Timur VI, yang meliputi Kabupaten Tulungagung serta Kota dan Kabupaten Blitar dan Kediri. Eva mengaku kesulitan berkampanye dengan nomor urut lima. Menurut Eva, semula ia mendapat nomor urut tiga. “Nomor urut tiga itu lebih mudah berkampanye karena sama dengan nomor partai,” ujarnya.

Adapun Maruarar Sirait masih menunggu rekapitulasi suara selesai. Maruarar masuk parlemen sejak 2004 dari daerah pemilihan Jawa Barat IX, yang meliputi Kabupaten Subang, Sumedang, dan Majalengka. Pada 2019, ia dipindahkan ke Jawa Barat III, Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur, dengan nomor urut sembilan. Maruarar mengaku sudah berkeliling ke 32 kecamatan untuk menarik dukungan. “Apa pun hasilnya, kita harus siap menang, siap kalah,” ucapnya.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi juga diprediksi tak akan menghuni Gedung Kura-kura alias gedung parlemen. Pada 2014, sebelum dilantik Jokowi menjadi menteri, Imam terpilih sebagai anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa dari daerah pemilihan Jawa Timur I, yang meliputi Surabaya dan Sidoarjo. Pada pemilihan kali ini, ia digeser ke DKI Jakarta I. Jika tak terpilih, Imam senasib dengan menteri lain pada pemilihan anggota legislatif 2019.

Meski belum tertutup, peluang dua menteri lain dari PKB, Hanif Dhakiri dan Eko Putro Sandjojo, dinilai berat. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang maju sebagai calon legislator dari Partai Persatuan Pembangunan, juga diperkirakan tak mendapat kursi. Pada 2014, Hanif dan Lukman maju dari daerah pemilihan di Jawa Tengah. Kini, mereka mencalonkan diri dari daerah pemilihan Jawa Barat VI, yang meliputi Depok dan Kota Bekasi—dua kantong suara Partai Keadilan Sejahtera.

Berbeda dengan Imam, Hanif, dan Lukman, anggota DPR yang juga berpindah daerah pemilihan, Mardani Ali Sera, justru mendulang sukses di daerah pemilihan Jakarta Timur. Pada 2014, politikus PKS itu gagal terpilih dari Jawa Barat VII, yang meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Purwakarta. Ia baru dilantik sebagai anggota pergantian antarwaktu pada Februari 2017. Kini, Mardani berhasil menggaet 144 ribu suara.

Mardani mengklaim popularitasnya meroket sejak mendeklarasikan gerakan #2019GantiPresiden pada Maret 2018. Sejak itu, ia diundang ke berbagai gelar wicara di stasiun televisi. Menurut dia, gencarnya siaran di televisi membuatnya ngetop. “Modalnya cukup banyak senyum saja di TV. Pasti dikenal orang,” ujarnya, tertawa. Mardani juga berupaya meningkatkan popularitas dengan berkampanye melalui tiga billboard berukuran jumbo. Salah satunya di depan Terminal Kampung Melayu.

Wakil Sekretaris Jenderal PKS itu juga tak sungkan meminta bantuan dari Front Pembela Islam untuk mendulang suara. Dari 65 kelurahan di Jakarta Timur, FPI memiliki pengurus di 32 lokasi. Kepada mereka, Mardani menitipkan baliho, disertai ongkos pasang Rp 100 ribu per baliho. Mardani meyakini kerja sama dengan FPI ini sangat membantunya meraih suara. “Spanduk saya yang ada di wilayah FPI tidak pernah hilang,” katanya.

Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Daerah FPI Jakarta Novel Chaidir Hasan alias Novel Bamukmin membenarkan kabar bahwa ia ikut membantu memenangkan Mardani. Menurut dia, organisasinya berkomitmen mendukung calon legislator dari partai pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Novel menyatakan personel FPI tak menerima bayaran apa pun. “Kami juga membantu caleg dari partai lain, seperti Gerindra dan Partai Amanat Nasional,” ujarnya.

Suara Mardani naik, perolehan partainya pun melonjak. Sistem Informasi Penghitungan Suara, yang dikelola Komisi Pemilihan Umum, pada Jumat, 3 Mei lalu, menunjukkan PKS mendapat 7,35 persen suara dari 28,6 persen tempat pemungutan suara. Sedangkan hasil hitung cepat lembaga survei Charta Politika menunjukkan PKS mendapat 8,57 persen suara, meningkat dari perolehan sebelumnya, 6,79 persen.

Mardani Ali Sera. TEMPO/Muhammad Hidayat

Menurut Mardani, semula partainya sempat khawatir terhadap coattail effect atau efek ekor jas, yaitu keuntungan yang didapat partai yang bisa mengajukan calon presiden-wakil presiden. Banyak lembaga survei memprediksi suara PDI Perjuangan dan Gerindra bakal melesat jauh karena Jokowi, Prabowo, dan Sandiaga berasal dari dua partai tersebut. Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan mengatakan hasil survei sebelum pemilu menunjukkan partainya berada dalam kondisi kritis dan sulit menembus ambang batas parlemen empat persen.

Sejak dua pasang calon mendaftar ke KPU pada Agustus 2018, partai-partai selain PDIP dan Gerindra mencoba membendung efek ekor jas. PAN dan PKS, misalnya, meminta Sandiaga keluar dari Gerindra. “Supaya tidak semua suara lari ke Gerindra,” ujar Bara Hasibuan. Mardani juga membenarkan adanya desakan tersebut.

Hasil hitung cepat Charta Politika menyebutkan PDIP mendapat 19,93 persen atau hanya naik sedikit dibanding perolehan 18,95 persen suara pada 2014. Gerindra pun diperkirakan mendapat 12,75 persen, lebih tinggi sedikit dibanding lima tahun lalu, sebesar 11,83 persen. Dengan kata lain, efek ekor jas tak benar-benar terjadi.

Sementara perolehan suara PKS meningkat, PAN justru mengalami penurunan. Pada 2014, perolehan suara partai itu 7,59 persen, sedangkan hasil hitung cepat lembaga KedaiKOPI menunjukkan PAN hanya mendapat 6,19 persen. Komisaris KedaiKOPI Hendri Satrio mengatakan PKS berhasil menerapkan kampanye yang menarik perhatian publik. Misalnya dengan janji kampanye memberlakukan surat izin mengemudi seumur hidup dan menghapus pajak motor. “Hitungan kami, di negeri ini ada 105 juta pengemudi motor,” ujar Mardani.

Menurut Hendri, PKS juga mendapat keuntungan dari gaya kampanye Prabowo-Sandiaga yang cenderung islami. Ia mencontohkan, setelah deklarasi sejumlah ulama, seperti Abdul Somad, terhadap pasangan tersebut, suara PKS justru melonjak. “Di Riau, tempat asal Somad, PKS diperkirakan menang,” kata Hendri. Alih-alih memilih Gerindra, pemilih Prabowo-Sandiaga dari kalangan Islam konservatif menyalurkan suaranya ke PKS.

Mardani mengatakan partainya juga mencoba lebih terlihat dekat dengan Sandiaga, yang dianggap mampu menarik banyak suara. Mardani mencontohkan, ia mengajak Sandi ikut berkampanye di enam titik di Cakung dan Duren Sawit, Jakarta Timur. “Kalau saya berkampanye sendiri, yang datang seratus. Kalau ada Sandi, yang datang seribu,” ujar Mardani.

PRAMONO, HUSSEIN ABRI DONGORAN, RAYMUNDUS RIKANG

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus