Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pentingnya Program Pensiun Sosial untuk Lansia

Jumlah warga lanjut usia atau lansia di Indonesia terus meningkat. Sebagian besar bergantung pada anak tanpa bantuan negara.

28 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga lansia menerima Bantuan Langsung Tunai (BST) di Kampung Gandekan, Solo, Jawa Tengah. TEMPO/Bram Selo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Jumlah warga lansia di Indonesia meningkat dari 22 juta pada 2016 menjadi 31 juta pada 2022.

  • Darmawan Prasetya, peneliti dari The Prakarsa, menyatakan peran negara dalam memenuhi kebutuhan hidup warga lansia terlalu minim.

  • Reformasi skema pensiun kelompok lansia tak bergerak karena budaya Timur yang menyebutkan orang tua merupakan tanggung jawab anak dan keluarga.

Penerapan berbagai program pensiun bagi populasi lanjut usia (lansia)—biasanya diberikan dalam bentuk bantuan sosial—kerap dimaknai sebagai kebijakan yang menggeser peran dan fungsi keluarga dalam "mengurus orang tua".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggapan ini masih tertanam cukup kuat di berbagai negara yang memiliki budaya serta keyakinan bahwa merawat orang tua bagi anak adalah bentuk penghormatan serta balas budi atas kasih sayang, jasa, dan seluruh pengorbanan orang tua mereka. Ini termasuk di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu praktiknya adalah ketika seorang anak memberikan sejumlah uang kepada orang tuanya secara rutin, terutama saat orang tua sudah masuk usia pensiun dan tidak dapat bekerja lagi.

Tidak ada yang salah dengan kebiasaan tersebut. Yang menjadi masalah adalah ketika praktik tersebut memunculkan pola pikir bahwa mengurus orang lansia menjadi domain dan tanggung jawab utama keluarga—biasanya anak dan cucu—sehingga mengesampingkan pentingnya peran negara untuk menghadirkan program-program perlindungan sosial, yang berfungsi memberikan jaminan kesejahteraan bagi kehidupan warga lansia selama menjalani masa tua mereka.

Saat ini, setidaknya ada tiga program sosial dari pemerintah ihwal perbaikan pendapatan yang dapat mengakomodasi kelompok lansia, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan nontunai (BPNT), dan Bantuan Bertujuan Lanjut Usia (BanTu LU). Dari ketiga program tersebut, hanya BanTu LU yang khusus menyasar kelompok lansia. Sedangkan dua program lainnya menyasar keluarga miskin secara umum.

Cakupan program-program tersebut juga cukup kecil, yakni 4,5 juta orang dari total 24,5 juta penduduk lansia. Penelitian kami pada 2020 menemukan bahwa pendanaan yang ditujukan untuk kelompok lansia, terutama di tingkat daerah, sering kali tidak berkelanjutan, nominalnya terlalu kecil, dan penerima manfaat tidak tepat sasaran.

Karena itu, pemerintah perlu memperluas program pensiun sosial khusus untuk warga lansia saat ini agar mereka memiliki kemandirian dan sumber daya untuk terus berkontribusi dalam hubungan timbal balik di komunitasnya.

Namun, sebelumnya, kita perlu lebih dulu meluruskan pemahaman yang keliru soal anggapan bahwa mengurus orang tua yang sudah lansia adalah murni tanggung jawab keluarganya.

Petugas mendata warga lansia kurang mampu saat Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BST) di Kampung Gandekan, Solo, Jawa Tengah. ANTARA/Mohammad Ayudha

Pemahaman yang Keliru

Kuatnya pengaruh budaya di Indonesia bahwa orang lansia adalah tanggung jawab keluarga diyakini menjadi penyebab lambatnya reformasi skema pensiun kelompok lansia saat ini.

Peran keluarga dalam merawat dan memenuhi kesejahteraan kelompok lansia memang diakui dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Selain aturan hukum, praktik pemenuhan kebutuhan orang lansia melalui pemberian biaya hidup bulanan oleh anak-cucunya juga seakan-akan menjadi bagian dari "kewajiban" bagi keluarga.

Inilah yang pada akhirnya menciptakan fenomena generasi sandwich, yaitu seseorang yang mempunyai tanggung jawab ganda dalam menjadi aktor utama penyedia sumber daya keluarga. Individu yang menjadi generasi sandwich biasanya harus menopang keluarganya sendiri (anak dan pasangan) serta orang tua ataupun mertuanya pada saat bersamaan, dari segi finansial, alokasi waktu, sampai perawatan fisik.

Umumnya, sistem redistribusi keuangan dalam suatu rumah tangga dibangun atas dasar resiprokal (timbal balik). Artinya, ada kewajiban yang dijalankan sehingga ada hak yang didapatkan. Misalnya, satu pasangan harus menopang orang tua mereka yang sudah lansia. Sebagai gantinya, orang tua mereka ikut membantu mengurus cucunya selama mereka bekerja. Namun terkadang pemberian dilakukan tanpa prasyarat atau timbal balik apa pun.

Dampak yang paling dirasakan bagi generasi sandwich ini, terutama bagi yang sudah berumah tangga, adalah segi ekonomi. Apalagi jika sumber daya yang dimiliki orang tersebut juga masih terbatas.

Karena itu, sudah waktunya menghentikan anggapan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup orang lansia adalah tanggung jawab utama keluarga.

Warga lansia menjaga dagangannya di atas trotoar di Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima mulia

Urgensi Perluasan Program Pensiun Sosial

Sebuah penelitian kualitatif menemukan bahwa masih banyak pula warga lansia yang masih terus bekerja. Alasannya adalah tidak mau merepotkan sang anak.

Jumlah populasi lansia yang masih terus bekerja di Indonesia pada 2019 sebesar 27 persen. Sekitar 64 persen dari kelompok lansia yang bekerja itu berkecimpung di sektor informal dengan jam kerja 35-48 jam dalam satu minggu, lebih dari standar jam kerja maksimal, yakni 40 jam per minggu sesuai dengan aturan ketenagakerjaan.

Data tersebut menunjukkan bahwa cukup banyak orang lansia yang sebenarnya ingin mandiri dan tidak bergantung dari segi finansial pada anak cucu ataupun anggota keluarga lainnya.

Ditambah lagi, jumlah warga lansia di Indonesia diprediksi terus meningkat sehingga pemerintah harus sesegera mungkin memperluas program pensiun sosial—skema pensiun yang diberikan kepada yang orang tidak melakukan kontribusi premi sebelumnya—sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab dalam mendukung kehidupan kelompok lansia yang sejahtera dan bermartabat.

Di beberapa negara, program ini dilaksanakan dengan cara negara memberikan bantuan berupa uang tunai setiap bulan dan menyasar seluruh populasi lansia yang tidak memiliki jaminan pensiun atau tabungan hari tua.

Di Meksiko, sejak 2014, misalnya, kelompok lansia yang sudah menerima jaminan sosial di bawah MXN$ 1,092 (Rp 897.557) tetap masuk daftar penerima jaminan pensiun sosial. Artinya, kelompok lansia tidak perlu masuk kategori miskin, sebagaimana dalam program BanTu LU di Indonesia, untuk bisa mendapat bantuan pensiun sosial.

Dalam studi kebijakan sosial, perluasan program pensiun sosial memiliki dua efek: crowding-in dan crowding-out.

Efek crowding-in terjadi apabila program pensiun sosial oleh pemerintah justru membantu nilai tambah sumber daya keluarga dan mendorong keluarga untuk memperbesar jumlah redistribusi. Sebaliknya, efek crowding-out adalah ketika program tersebut menggantikan peran keluarga untuk mendanai kehidupan kelompok lansia.

Warga lansia menerima bantuan tunai di Jakarta. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Nyatanya, penelitian di Jerman, misalnya, menemukan bahwa pensiun atau bantuan sosial untuk kelompok lansia tidak mempengaruhi kecenderungan anak untuk tetap mentransfer sejumlah uang setiap bulan.

Hal serupa ditemukan di Cina, salah satu negara yang memiliki budaya "mengurus orang tua lansia" yang mirip di Indonesia. Skema pensiun sosial bagi penduduk perdesaan di Cina justru meningkatkan kebahagiaan warga lansia dan tidak mengurungkan keputusan anak untuk memberikan uang kepada orang tuanya.

Di Indonesia, penelitian menemukan bahwa 72,9 persen kelompok lansia yang menerima program bantuan dari pemerintah, seperti PKH dan BPNT, memberikan manfaat kepada anggota rumah tangga, yang tidak lain adalah anak dan cucunya.

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa program pensiun sosial untuk kelompok lansia tidak akan serta-merta mengurangi peran keluarga dalam memberikan dukungan finansial kepada orang tua.

Justru ini bisa menambah jumlah pemasukan dalam keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga yang terdapat orang lansia.

Belajar dari kondisi kehidupan warga lansia saat ini, pemerintah juga perlu membuka akses jaminan sosial pensiun bagi seluruh pekerja di Indonesia, baik domain kerja formal maupun informal. Ini dilakukan demi terwujudnya keadilan dan kesetaraan karena pekerja informal dengan pendapatan di bawah UMR pun berhak atas akses jaminan sosial dan kesehatan.

Dengan kata lain, program-program kesejahteraan bagi kelompok lansia pada dasarnya tidak menyiratkan bahwa anak atau cucu tidak perlu mengurus ataupun mendanai orang tua mereka yang sudah berusia lanjut. Bahwa mereka ingin mengurus orang tuanya, itu adalah keputusan masing-masing individu.

Namun yang perlu ditekankan adalah mensejahterakan kelompok lansia, termasuk secara finansial, merupakan tanggung jawab negara.

---

Artikel ini ditulis oleh Darmawan Prasetya, peneliti sosial-politik di The Prakarsa. Terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus