Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah penyandang disabilitas dari berbagai pemeluk agama melakukan doa bersama sekaligus menyampaikan kekecewaan mereka terhadap Undang-undang atau UU Cipta Kerja. Doa bersama dilakukan setelah aspirasi mengenai beberapa pasal yang 'mencacatkan' penyandang disabilitas dalam UU Cipta Kerja diabaikan pemerintah dan DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami sudah mengajukan surat permohonan audiensi kepada Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Politik Hukum dan HAM, dan DPR, sejak dua minggu lalu, belum ada respons sampai akhirnya kami berpikir untuk melakukan doa bersama," kata Slamet Thohari, inisiator Jaringan Penyandang Disabilitas Indonesia Tolak UU Cipta Kerja saat doa bersama pada Kamis, 29 Oktober 2020. Slamet Thohari yang juga Ketua The Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network atau AIDRAN, ini menyatakan akhirnya Menteri Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD merespons dan menjanjikan audiensi pekan depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam doa bersama tersebut, Ketua Yayasan Puspadi, Bali, I Nengah Latra, yang mewakili penyandang disabilitas Hindu memanjatkan doa pertama. Dilanjutkan oleh Pendeta Simon Widianto dari Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum atau Yakkum sebagai perwakilan bagi penyandang disabilitas Kristiani. Lalu, doa ketiga disampaikan Ferdinan Paulus Anyap dari Yayasan Bakti Luhur Malang, yang mewakili penyandang disabilitas Katolik. Terakhir, doa bersama ditutup oleh KH. Imam Aziz, Ketua Pengurus Besar Nahdathul Ulama yang berdoa bagi penyandang disabilitas muslim.
"Penyandang disabilitas dulu dianggap sebagai orang cacat, sekarang dikembalikan sebagai orang cacat. Ini namanya kemunduran," kata Imam Aziz. Anggapan ini mencuat lantaran kata 'penyandang cacat' dalam UU Cipta Kerja banyak memangkas akses difabel dalam menjalani kehidupan yang setara.
Protes tersebut disampaikan penyandang disabilitas setelah beberapa versi draft UU Cipta Kerja yang telah diketok palu pada 5 Oktober 2020 secara konsisten mencantumkan istilah 'penyandang cacat'. Frasa tersebut selain mengembalikan paradigma sosial yang menempatkan individu dengan disabilitas lebih rendah dari individu non-disabilitas, juga menghapus kapasitas hukum seseorang dengan disabilitas.
Misalkan ketentuan yang membolehkan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja kepada karyawan yang menderita sakit atau cacat dan dalam waktu enam bulan tidak dapat memenuhi pekerjaannya. "Ini bertentangan dengan Undang-undang Penyandang Disabilitas," ujar Nurul Saadah dari Organisasi Advokasi Penyandang Disabilitas SABDA.
Anggota Kelompok Kerja Undang-undang Disabilitas yang juga peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan atau PSHK Universitas Indonesia, Fajri Nursyamsi menyayangkan tidak dilibatkannya penyandang disabilitas dalam penyusunan draft UU Cipta Kerja. Menurut Fajri, hal ini berdampak pada kacaunya penyusunan redaksional hukum UU Cipta Kerja dan melindas banyak ketentuan dalam Undang-undang Penyandang Disabilitas. Padahal pemerintah telah mengesahkan beberapa peraturan teknis yang mengacu pada Undang-undang Penyandang Disabilitas.
Fajri Nursyamsi mencontohkan penggunaan frasa 'penyandang cacat' dalam UU Cipta Kerja yang sudah dihapus dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2020 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas, bahwa istilah 'penyandang cacat' diganti menjadi penyandang disabilitas.