Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu mereka tak membicarakan apa pun kecuali kelapa. Seharian para peserta Festival Bioteknologi Pangan di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya pada 4 Mei 2015 mengangkat topik tentang buah kelapa. Dengan kombinasi riset dan teknologi yang tepat, buah ini bisa menjadi penganan apa saja: dari makanan dan kue berbahan tepung kelapa hingga permen kenyal hasil olahan arang aktif tempurung kelapa.
Festival itu adalah lanjutan International Youth Conference on Coconut (IYCC) yang digelar Fakultas Teknobiologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Konferensi internasional itu dihadiri pakar teknologi pangan Indonesia dan perwakilan dari Asia-Pacific Coconut Community. Pameran diikuti 200 peserta yang membawa beragam produk olahan kelapa, termasuk dari Institut Pertanian Bogor, yang memboyong kelapa kopyor.
Sebagian besar peserta adalah mahasiswa fakultas teknobiologi yang mengambil mata kuliah teknologi pangan. Mereka diberi kebebasan untuk meneliti dan membuat produk olahan kelapa yang dipamerkan. "Hasil riset mereka juga masuk ke penilaian kuliah," kata Lissa Kristiono, Sekretaris Jenderal IYCC, Selasa pekan lalu.
Pameran karya ilmiah mahasiswa itu salah satu upaya mengembangkan hasil penelitian dan membangun universitas berbasis riset. Ya, usaha mewujudkan universitas riset-istilah yang mulai muncul sejak tiga dekade silam-semakin gencar. Menurut Sekretaris Eksekutif Universitas Atma Jaya, Willem L. Turpijn, riset menjadi bagian dari sistem pendidikan kampus ini sejak 1970-an.
Kini beberapa perguruan tinggi negeri besar di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung, juga memasukkan istilah universitas riset dalam visi, misi, dan pengembangan kampus mereka. Banyak kampus sekadar ikut menyemarakkan pembicaraan universitas riset. "Tidak sedikit yang hanya mendengarkan saja hiruk-pikuk pembicaraan universitas riset," tulis Yasman, pakar biologi dan bahan alam laut dari Universitas Indonesia, dalam jurnal internal DRPM Gazette.
Konsep universitas riset, kata Agus Subekti, Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, masih relatif dan definisinya pun bias. Banyak perguruan tinggi mengklaim sebagai universitas riset tapi tak menunjukkan kinerja sepadan. Jumlah dosen, sumber daya, dan fasilitas penelitian, serta produk riset adalah dasar penilaian kinerja sebuah universitas riset.
Berdasarkan survei pada 2014, hanya 14 universitas negeri dan swasta yang masuk kelompok mandiri. Ini adalah grup perguruan tinggi yang memiliki kemampuan dan potensi menjadi universitas riset karena kinerja penelitiannya bagus. Dalam kelompok ini hanya dua perguruan tinggi dari luar Jawa, yaitu Universitas Andalas dan Universitas Hasanuddin. "Sebenarnya kinerja penelitian itu otonom. Empat belas universitas ini kami anggap layak diberi otonomi seluas-luasnya," kata Agus.
Minimnya universitas riset menunjukkan Indonesia masih kurang memperhatikan dunia penelitian. Angelia N. Umboh, juru bicara Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L) Jakarta, mengatakan perkembangan sebuah negara akan terlihat dari universitas yang memiliki fasilitas riset yang memadai. "Dengan riset yang bagus, perkembangan teknologi dan industri negara itu juga akan maju," kata Angelia.
Kesiapan pendidikan tinggi, teknologi, dan inovasi adalah indikator dalam penilaian peringkat daya saing global. Dalam laporan daya saing global 2014-2015 yang dilansir World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat ke-34 dari 144 negara. Indonesia unggul atas Spanyol, Portugal, Turki, Italia, Brasil, dan India. Tapi, di Asia Tenggara, Indonesia dikalahkan Singapura, yang menempati peringkat ke-2, dan Malaysia (20). Negara-negara peringkat atas, seperti Swiss, Amerika Serikat, Finlandia, dan Jerman, memiliki basis riset dan sistem pendidikan yang kuat.
Menurut Angelia, pemerintah Indonesia masih sedikit memberikan sokongan dana untuk riset. Dana riset di negara-negara Asia lainnya, kata Angelia, setidaknya mencapai 2 persen dari produk domestik bruto. Sedangkan dana untuk riset di Indonesia hanya 0,09 persen dari PDB. "Bahkan dana untuk riset life sciences jauh lebih kecil dibanding Cina dan negara Asia lainnya, padahal Indonesia memiliki sumber daya yang luar biasa besar," katanya.
Agus Subekti mengatakan anggaran pemerintah untuk riset memang masih kecil dibanding negara lain berdasarkan proporsi PDB. Anggaran riset idealnya sekitar 2 persen dari PDB. Dana bantuan operasional perguruan tinggi negeri saja tahun ini cuma Rp 1,4 triliun. Dari dana sebesar itu, alokasi untuk penelitian hanya 30 persen. "Sifatnya masih kompetitif, dengan keterbatasan dana penelitian harus dipilih skala prioritas bidang yang diteliti," tuturnya.
Angelia mengatakan riset yang berkaitan dengan studi tentang makhluk hidup masih dimasukkan ke multidisiplin ilmu di perguruan tinggi Indonesia. Dan i3L berkosentrasi membangun institusi khusus untuk riset life sciences. Institusi yang merupakan kolaborasi universitas dan lembaga riset itu dibentuk menyusul kesepakatan transfer teknologi yang dilakukan Indonesia dan Swedia pada 2012. "Swedia sudah dikenal unggul di bidang inovasi," kata Angelia.
Kampus yang didirikan pada 2013 ini memberikan keleluasaan pada para pelajarnya untuk melakukan riset. Angelia mengatakan 70 persen dari anggaran kampus dialokasikan untuk riset. Biaya yang diperlukan untuk menempuh studi selama empat tahun di i3L mencapai Rp 250 juta. "Semua fasilitas perlengkapan dan bahan riset disediakan kampus, pelajar bebas melakukan penelitian," kata Angelia.
Lissa Kristiono mengatakan sistem pengajaran yang terbuka dan pengajar yang berkualitas juga menjadi faktor penting dalam pengembangan riset. "Dosen kami bisa terus terang bilang tak tahu ketika menghadapi pertanyaan yang tak bisa dia jawab. Tapi dia pasti mencari jawabannya dan di sesi berikutnya kami bisa berdiskusi," kata mahasiswi yang kini menjalani semester VI di Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya itu.
Menurut Lissa, pengalaman mahasiswa dalam riset akan berkembang ketika bisa mengikuti proyek yang dilakukan pengajar atau peneliti senior. "Di sini partisipasi untuk riset dengan dosen sangat terbuka, arahannya jelas. Mereka senang kalau mahasiswa aktif mengikuti riset," kata Lissa, yang juga menjabat asisten riset untuk membantu adik kelasnya.
Agus Subekti mengakui perguruan tinggi Indonesia memiliki potensi besar menjadi universitas riset karena sumber dayanya banyak. Namun pembangunan universitas riset tak akan berjalan lancar jika hanya didukung pemerintah. "Swasta dan dunia bisnis juga harus peduli," katanya. Menurut Agus, dunia bisnis dan industri sebenarnya punya kepentingan besar memanfaatkan hasil penelitian. "Itu yang perlu didorong, bahkan seharusnya dukungan dari swasta bisa lebih besar," ujarnya.
Gabriel Titiyoga, Erwin Prima
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo