Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perang Gerilya di Nusa Dua

Gerilya lobi berlangsung seru di arena Musyawarah Nasional Partai Golkar VII. Dua kubu saling mengklaim dukungan terbanyak. Pemilihan ketua umum berlangsung alot.

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketegangan melanda ruang Bali International Convention Centre, Westin Hotel, Nusa Dua, Bali, Sabtu malam lalu. Rapat paripurna Musyawarah Nasional Partai Golkar VII yang sedianya akan digelar pukul 20.00 baru dimulai pukul 22.00. Begitu acara dimulai, pemimpin sidang Abdul Gafur malah menjelaskan soal molornya sidang dengan bertele-tele. Alasannya, tim verifikasi masih bekerja keras untuk meneliti syarat kandidat Ketua Umum Partai Golkar.

Rupanya para peserta rapat sudah tak sabar. Ketika Gafur masih bicara, Ketua Partai Golkar Maluku Utara M. Yamin Tawari menginterupsi. Ia mendesak bekas Menteri Pemuda dan Olahraga itu segera melakukan penjaringan calon ketua umum. ?Yang berkuasa di sini peserta Munas, bukan tim verifikasi,? ujarnya. Interupsi ini didukung pengurus Golkar provinsi (DPD) Kalimantan Barat dan Lampung. Mereka curiga Gafur sengaja mengulur waktu. Interupsi juga dilancarkan sejumlah pendukung Wakil Presiden dan calon Ketua Umum Golkar, Jusuf Kalla.

Suasana gaduh karena semua peserta berdiri dan berebut bicara. ?Tidak ada verifikasi,? teriak mereka. Karena Gafur tak mampu mengendalikan situasi, Ketua Umum Partai Golkar demisioner, Akbar Tandjung, naik ke podium. Tapi belum sempat bicara, ia diteriaki agar turun. Akbar bergeming. Di depan mikrofon ia berseru, ?Sebagai penanggung jawab Munas, saya tidak ingin terjadi sesuatu dalam Munas ini. Saya mohon peserta rapat tenang.?

Akbar lalu menawarkan agar sidang diskors dan mengundang para Ketua DPD I untuk rapat. Meski ajakan itu ditentang pendukung Kalla, Akbar dan sejumlah wakil dari DPD I tetap keluar ruangan. Hingga Minggu dini hari, proses pemilihan Ketua Umum Partai Golkar tahap pertama terus berlangsung. Karena peta dukungan terus berubah, persaingan antarkubu berlangsung ketat.

Menjelang pemilihan ketua umum tahap pertama, hanya tinggal Kalla, Akbar, dan Marwah Daud Ibrahim yang tetap maju. Slamet Effendi Yusuf memilih mundur. Sementara itu, kandidat lainnya, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto, bos Metro TV Surya Paloh, dan Ketua DPR Agung Laksono tak mengembalikan formulir.

Sebenarnya, ketegangan sudah dimulai sejak Kamis pekan lalu, setelah Akbar menyampaikan pidato pertanggungjawabannya. Saat itu panggung Munas Golkar seolah milik Akbar dan seakan menjadi pertanda Akbar akan kembali memegang rol permainan. Sehari setelah Kalla?Surya?Agung mendeklarasikan koalisi dan mengklaim dukungan mayoritas suara DPD, Akbar memainkan jurusnya. Ia membuka ?keran? suara bagi pengurus daerah kota dan kabupaten. Pengurus Daerah Tingkat II diberi hak suara. Sebelumnya, dalam rangka mengganjal Wiranto, Akbar berketetapan tak memberi hak suara kepada pengurus Golkar Tingkat II.

Keputusan itu diambil cepat lewat teknik persidangan yang piawai. Pemimpin sidang, Freddy Latumahina, tiba-tiba melempar gagasan kepada hadirin agar DPD II memiliki hak suara. Para peserta dari DPD II yang memenuhi ruang sidang langsung menyambut: ?Setuju...!? Suara DPD I yang jumlahnya hanya 31 langsung tenggelam oleh pendapat 440 wakil DPD II. Lalu, ?dok!? palu diketukkan.

Aturan baru ini segera menggelembungkan jumlah suara yang harus diperebutkan. Semula, sesuai dengan tata tertib, hanya ada 36 suara. Calon ketua umum juga minimal didukung oleh 10 suara. Akibat dibukanya ?keran? suara DPD II, kini jumlah suara berubah dari 36 menjadi 484 suara. Jumlah 484 suara ini terdiri dari 33 suara DPD I, 8 suara dari organisasi penyokong Golkar (Hasta Karya), 2 suara dari organisasi sayap, dan sisanya suara DPD II.

Karena jumlah suara yang diperebutkan berubah, syarat minimal seseorang bisa dicalonkan sebagai ketua umum juga berubah. Dalam rancangan tata tertib yang disiapkan panitia pengarah, calon ketua umum kini harus didukung 150 suara. Kriteria si calon harus pernah menjabat lima tahun sebagai pengurus aktif di DPP atau di DPD juga muncul. Minimal ia harus terus aktif menyukseskan program-program Golkar selama 10 tahun terus-menerus dan tak pernah terlibat dengan partai politik lain.

Syarat lain yang juga dibahas adalah si calon tidak pernah keluar dari keanggotaan Golkar. Menurut Bomer, aturan itu bisa ditafsirkan secara luas. Namun ia membantah aturan ini dibuat khusus untuk menjegal Kalla yang pernah dicalonkan Partai Demokrat sebagai wakil presiden. Selain menyulitkan Kalla, Akbar pun mengunci Wiranto. Sebab, bekas Panglima TNI itu belum pernah menjadi pengurus Golkar.

Perubahan ini benar-benar di luar dugaan Kalla. Sebelumnya mereka sudah yakin menang. Anggota tim sukses Kalla pun mengabaikan sidang pembahasan tata tertib. Tapi rupanya untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan, Akbar sengaja mengambangkan masalah ini dalam Rapat Pimpinan Golkar dua pekan sebelumnya. Antisipasi itu terbukti bermanfaat untuk memperbanyak syarat dukungan.

Peta politik mulai agak jelas seusai pemandangan umum. Tak semua DPD menyebut calon. Perkembangan ini membuat Wiranto memutuskan berkoalisi dengan Akbar. Menurut Akbar, Wiranto akan diberi kepercayaan sebagai Ketua Dewan Penasihat. ?Pak Wiranto sudah menyetujuinya karena jabatan itu sangat strategis, berbeda dengan kepengurusan periode sebelumnya,? ujarnya.

Gelagat itu sudah tampak sejak Rabu malam. Di acara jamuan makan pembukaan Munas, Wiranto dan Akbar duduk bersanding satu meja. Saat itu Akbar sudah memastikan akan ada perubahan pada tata tertib. Akbar mengatakan bahwa klaim Kalla soal dukungan 28 DPD I adalah sikap terburu-buru karena Munas belum dimulai. ?Kepesertaan pun belum final karena tuntutan DPD II untuk memiliki suara,? ujarnya.

Akbar sengaja merangkul Wiranto untuk bertarung menghadapi Kalla. Sebab, Wiranto punya basis luas di kabupaten/kota dan menginginkan DPD II punya hak suara. Seusai jamuan makan malam, tim sukses Akbar dan Wiranto bertemu, membahas materi tata tertib. Mereka sepakat DPD II memperoleh hak pilih. Konon, Akbar menawarkan paket trio: ketua umum Akbar, Ketua Dewan Penasihat Wiranto, dan sekjen Marwah Daud.

Pilihan Wiranto sungguh terbatas. Pendekatan ke kubu Surya-Kalla-Agung tak mengubah keadaan. Ajakan kerja sama membongkar tata tertib tak ditanggapi. Pertemuan Kamis malam antara kubu Wiranto dan kubu Kalla hanya menghasilkan tawaran Wakil Ketua Dewan Penasihat untuk Wiranto. ?Masak, Pak Wiranto jadi Wakilnya Surya Paloh? Yang bener aja dong,? ujar orang dekat Wiranto.

Rupanya kubu Wiranto salah duga. Mereka mengira pernah jadi pengurus Golkar juga akan mengeliminasi Kalla. Tapi ternyata Kalla pernah menjadi pengurus Golkar di provinsi dan anggota Dewan Penasihat. ?Jadinya kami tetap maju,? kata Aksa Mahmud. Tapi kubu Kalla sempat waswas juga. Bahkan ada ide untuk mengibarkan Agung jika Kalla terganjal. Dalam skenario itu, Kalla menjadi Ketua Dewan Penasihat, Surya menjadi wakil ketua umum.

Posisi Wiranto sudah terkunci. Jika ia nekat maju, aturan tak memungkinkan. ?Kami tak menyangka perubahan situasinya seperti ini,? kata Indra Bambang Utoyo, tim sukses Wiranto. Tapi Akbar membantah telah menjegal Wiranto. Menurut dia, pemberian suara kepada DPD II disebabkan kuatnya aspirasi yang muncul. ?Kami bisa memahaminya. Karena itu kami memberi kesempatan DPD II untuk memiliki hak suara,? ujarnya.

Kontrak koalisi Akbar-Wiranto pun diteken. Wiranto akan didapuk menjadi Ketua Dewan Penasihat yang, konon, akan sangat menentukan nantinya. ?Semua nasihat Ketua Dewan Penasihat menjadi rujukan pengambilan keputusan DPP Golkar,? kata Akbar. Berubahnya peran Dewan Penasihat akan diatur dalam AD/ART.

Disepakati juga kemungkinan kerja sama mereka untuk pencalonan presiden dan wakil presiden pada 2009. Salah satu orang dekat Akbar mengungkapkan, Akbar sepakat Wiranto maju lagi dalam pencalonan presiden 2009. Posisi wakil presiden akan ditempati Akbar. ?Nah, inilah yang membuat saya memutuskan untuk melakukan kerja sama. Jadi, ada kebersamaan untuk membangun masa depan yang lebih baik,? kata Wiranto.

Deklarasi koalisi Akbar?Wiranto dilakukan sesaat sebelum Akbar menyerahkan formulir pendaftaran pencalonan ketua umum, Jumat malam. Menurut Akbar, Wiranto tak hanya memberi dukungan suara yang begitu besar, tetapi juga partner ideal. Wiranto mewakili Jawa, dan Akbar mewakili non-Jawa. Akbar politisi sipil, Wiranto militer.

Selain format Ketua Dewan Penasihat, juga disepakati formasi kabinet Akbar-Wiranto di Golkar. Wiranto akan mendapat porsi 30 persen kursi DPP, sedangkan Akbar mendapatkan 70 persen. Jika Wiranto ingin mewarnai Golkar, ia bisa menaruh orangnya di posisi sekjen. ?Suaidy Marasabessy, misalnya. Dia kan loyal sama Wiranto,? kata sumber Tempo. Selama ini posisi Sekjen Golkar kerap menjadi jatah pensiunan tentara.

Soal basis dukungan, perpaduan dua orang ini diyakini sudah menang di atas kertas. Akbar memiliki akar di DPD I, kecuali provinsi yang secara tradisional berseberangan dengan dia, misalnya provinsi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Jawa Tengah, dan DIY, yang merupakan garapannya, kini lepas. Jawa Barat dan Lampung juga tak bisa digarap. ?Apalagi, Pak Wiranto mendapat dukungan signifikan dari DPD II,? kata sumber ini.

Ormas sayap Partai Golkar juga digenggam duet Akbar-Wiranto. SOKSI yang semula tidak pro-Akbar, kini mendukungnya karena Wiranto telah berkoalisi. Berdasarkan peta dukungan ini, Akbar dipastikan menang. Namun, kubu Akbar waswas terjadi operasi ?gizi?. Mereka khawatir kubu Kalla-Surya akan bagi-bagi duit. Soalnya, di sana berkumpul banyak pengusaha, termasuk Aburizal Bakrie, Tanri Abeng, dan keluarga besar Jusuf Kalla sendiri.

Untuk memperluas dukungan, Akbar bergerilya ke sana ke mari. Setelah bertemu dengan Wiranto, ia bertemu Prabowo Subianto di kamar 4409 Hotel Westin. Dalam pertemuan itu Prabowo sempat ditawari posisi Ketua DPP. Sebaliknya, dukungan DPD II yang selama ini mengakses ke Bowo dilimpahkan ke Akbar. Bekas Komandan Kopassus itu kini adalah Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Sebagian besar pengurus HKTI di daerah adalah pengurus Golkar tingkat II.

Namun, pembicaraan itu mentah karena Akbar sudah menjanjikan posisi calon presiden pada Pemilu 2009 kepada Wiranto. Kesepakatan ini pula yang menyebabkan Prabowo enggan merapatkan diri ke kubu Akbar-Wiranto. ?Hubungan Wiranto dengan Prabowo sudah seperti air dan minyak,? kata anggota DPR Akil Mochtar.

Setelah mencabut dukungannya kepada Akbar, Prabowo balik mendukung pencalonan Kalla. ?Saya yakin H.M. Jusuf Kalla dapat mewujudkan visi dan cita-cita Partai Golkar masa depan,? ujarnya. Karena itu ia mengimbau peserta Munas, khususnya pendukungnya dalam konvensi Partai Golkar, untuk mendukung Kalla.

Di hari-hari terakhir, kubu Kalla sempat pula mendekati Wiranto. Jumat pagi, Wiranto bertemu Aksa Mahmud, ipar Kalla. Aksa mencoba merayu Wiranto untuk bergabung. Rencananya, pertemuan Kalla-Wiranto akan digelar di Intercontinental Hotel pada Jumat sore, namun diundur menjadi malam harinya. Kepada Aksa, Wiranto sempat melontarkan kekecewaannya terhadap sikap Kalla yang angin-anginan.

Pertemuan Kalla-Wiranto akhirnya digelar malam harinya di Cendrawasih Room, Grand Hyatt Bali, Nusa Dua. Wiranto didampingi Tulus Sihombing dan Indra Bambang Utoyo. Sedangkan Kalla didampingi Surya, Agung, Syamsul Muarif, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Fahmi Idris, Aburizal Bakrie serta anggota tim sukses lainnya.

Namun, pertemuan itu tak menghasilkan apa-apa. Soalnya, tawaran kepada Wiranto malah direduksi. Setelah sebelumnya ditawari menjadi Wakil Ketua Dewan Penasihat, kini malah hanya anggota dewan itu. Wiranto mencoba menawar dengan meminta posisi Ketua Dewan Penasihat, namun Kalla menolak. Saat itu juga Wiranto mengutarakan telah membuat kesepakatan dengan Akbar. ?Maaf, saya telah mengambil keputusan bergabung dengan Akbar. Mohon hor-mati keputusan saya,? kata Wiranto. Setelah itu, Wiranto pamit.

Malam itu, Kalla dan timnya menggelar pertemuan dengan DPD I dan II. Pertemuan dilakukan bergelombang. Berbeda dengan gaya Akbar dan Wiranto yang memilih menunjuk tim-tim khusus untuk bertemu DPD secara kelompok per wilayah. Kalla mengelar pertemuan secara langsung. Secara berurutan, Kalla bertemu DPD se-Jawa, Bali, NTT, NTB, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan Irian Jaya Barat.

Menurut hitungan, perolehan suara dua kubu tak jauh dari gambaran di pemandangan umum. Kubu Akbar bakal didukung mayoritas organisasi Hasta Karya, pengurus pusat, pengurus provinsi (DPD) yang sudah mengibarkan dukungan ke Akbar. Kalla didukung delapan dari 33 DPD I se Indonesia, di antaranya Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Timur, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, Tengah, Barat. Adapun Sulawesi Selatan dan Yogyakarta menyebut Kalla secara implisit. DPD lainnya, termasuk Bali, tak menyebut nama.

Semula Kalla mengklaim didukung 300 suara DPD I dan II, namun Yuddy Chrisnandi, anggota tim suksesnya, hanya memastikan minimal 250 suara bisa diraih. ?Angka 250 suara itu yang berhasil digalang tim kami sebelum Pak Kalla datang untuk konsolidasi dukungan daerah,? ujarnya.

Gerilya lobi makin meluas. Jumat sore, tim sukses Akbar bahkan masih mencoba merayu Agung agar bergabung lagi. Kedua tim bertemu di restoran Galleria, Nusa Dua. ?Alasan yang mereka kemukakan, kalau ingin melakukan perubahan partai ini, maka lakukan dari dalam,? kata Yuddy. Kubu Agung pun setuju asal Agung berada di posisi ketua umum dan Akbar Ketua Dewan Pembina.

Tim Akbar belum bisa memutuskan jawaban. Kedua kubu akhirnya sepakat bertemu pada malamnya. Namun, sebelum kedua kubu mencapai kesepakatan, Kalla datang dari Jakarta. Konsolidasi dengan DPD-DPD pun segera digalang cepat. Hasilnya, diperoleh dukungan 300 suara. Di tengah isu permainan politik uang, seorang pengurus Golkar daerah membisikkan keyakinannya tak akan berpaling dari Kalla. ?Ngapain lagi ketemu dengan Akbar,? ujarnya.

Di Nusa Dua, perang gerilya itu berlangsung. Berpeluh-peluh. Semua demi mencapai puncak Beringin.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Widiarsi Agustina, Sunudyantoro, Jobpie Sugiharto, Rofiqi Hasan, Raden Rachmadi (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus