Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Istana angin surga itu berembus. Tapi bukan silir udara sejuk yang terasa, melainkan hawa gerah. Menjelang Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar pekan lalu, angin itu menghantam bekas Menko Polkam Jenderal (Purn) Wiranto, salah seorang yang mencalonkan diri untuk menjadi Ketua Golkar. "Saya ditikam dari belakang," kata Wiranto seperti dikutip kolega dekatnya.
Kisah tentang keinginan pemerintahan Yudhoyono untuk ikut campur dalam penentuan posisi Ketua Umum Golkar sudah sebulan berembus. Semula, calon yang direstui Istana adalah bos Metro TV, Surya Paloh. Menurut seorang anggota tim sukses Surya, restu telah didapat ketika lelaki berewok itu sowan ke kediaman SBY di Puri Cikeas, Bogor, beberapa hari setelah SBY terpilih menjadi presiden.
Surya, kata koleganya, rela tidak masuk kabinet sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi karena diplot menjadi Ketua Umum Partai Golkar, menggantikan Akbar Tandjung. Surya memang beberapa kali bertemu dengan SBY. Dalam beberapa pertemuan, kata sumber tadi, Presiden telah menyampaikan dukungannya.
Berbekal dukungan Presiden, Surya menggalang dukungan. Sejak awal November silam, ia melobi pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Tingkat I. Dari hasil safari itu, Surya mengklaim 22 DPD Golkar provinsi menyatakan akan mendukung dia dalam Munas Golkar. Klaim itu lalu dibawa ke rumah Wakil Presiden Jusuf kalla, Rabu pekan lalu, beberapa hari sebelum Rapim Golkar digelar.
Setidaknya, 20 pengurus Golkar Tingkat I ditraktir Surya makan malam di Hotel Hilton. Setelah menyamakan persepsi, mereka bertandang ke rumah dinas Kalla di Jalan Diponegoro. Dalam pertemuan yang dihadiri mantan Menteri Komunikasi dan Informasi Sjamsul Muarif, Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris, Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud, dan mantan anggota DPR Tajudin Noor Said itu dibahas format pencalonan Surya-Kalla. Skenario saat itu: Surya ketua umum dan Kalla Ketua Dewan Penasihat.
Awalnya, Kalla turut menyokong Surya. Tapi ia ragu pada kemampuan Surya menggalang dukungan untuk melawan Akbar. Maka, diam-diam Kalla mendekati Ketua DPR Agung Laksono. Kalla tahu, Agung pun berminat masuk bursa pencalonan.
Kalla lebih sreg dengan Agung. Ia dianggap lebih bisa dikendalikan ketimbang Surya yang meledak-ledak. Agung juga tak terbentur kendala administratif. Tak seperti Surya, Agung sudah lama sebagai pengurus aktif partai. Namun, Agung kurang didukung pengurus DPD. "Agung awalnya mengklaim 15 DPD, tapi tak bisa memerinci asal dukungan," kata orang dekat Kalla. Dari pembicaraan itu disepakati bahwa Kalla menjadi Ketua Dewan Penasihat, sebagai ketua umum adalah Agung Laksono, dan sekretaris jenderal ialah Marwah Daud.
Karena merasa direstui Istana, Jumat dua pekan lalu Agung mendeklarasikan kesiapannya menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Langkah ini mengagetkan Akbar. Sebab, Agung dulu pernah berjanji tak akan mencalonkan diri setelah ia melalui Koalisi Kebangsaan disokong menjadi Ketua DPR. Saat itu pilihan Akbar untuk calon Ketua DPR ada dua, Agung dan Slamet Effendy Yusuf. "Tapi Akbar memilih Agung setelah dia berjanji mendukung Akbar di Munas," kata Fahmi.
Maka, ketika Agung meminta izin Akbar untuk ikut merebut kursi Ketua Umum Partai Golkar, Sabtu malam pekan lalu, sikap Akbar berubah. Keduanya bertemu di rumah Akbar di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan. Agung mengaku, dirinya pamit secara baik-baik, "Dan Bang Akbar mengiyakan." Tapi kata orang dekat Akbar, bekas Ketua DPR itu marah besar. Agung diam saja.
Wiranto juga menyesalkan manuver Agung, sebab dalam halal bihalal Hasta Karya?organisasi penyokong Golkar?di Hotel Shangri-La beberapa waktu lalu, Agung telah berjanji kepada Wiranto bahwa dirinya tidak akan maju. "Secara emosional, saya dekat dengan Akbar, tapi secara struktural saya lebih dekat dengan Bapak," ujarnya ketika itu kepada Wiranto.
Di lain pihak Kalla juga kepingin duduk di kursi ketua umum. Menurut Aksa Mahmud, ipar Kalla, sebenarnya kesepakatan Kalla dan Surya belum final. Jika ada yang meminta Kalla bergabung dengan Wiranto atau Agung sebagai Ketua Dewan Penasihat, ia oke-oke saja, sebab adanya duet Kalla-Surya tak lebih karena Surya meminta lebih dulu. "Tapi kalau DPD-DPD meminta, Pak Kalla tak akan menolak," kata Aksa.
Kalla sebenarnya sudah lama menggalang pengurus DPD I dan II. Sesudah pelantikannya sebagai wapres, 20 Oktober silam, sudah dua kali ia bertemu pengurus Golkar Indonesia Timur. Pertemuan itu adalah penjajakan dukungan jika Kalla mencalonkan diri sebagai ketua umum. Tapi Kalla terbentur paket yang sudah disetujui SBY. Apalagi tim sukses Surya yang beranggotakan beberapa menteri pun telah dibentuk.
Sejumlah orang dekat Surya sudah merasa Kalla berniat maju. Sejak Jumat dua pekan lalu, Kalla ditengarai sudah tak sepenuh hati. Belakangan Surya mendengar, selain menggandeng Agung, Kalla pun berhasrat maju sendiri. "Salah satu pertimbangannya, seluruh Sulawesi dan Indonesia Timur menyokongnya," kata Aksa.
Peta berubah pada Ahad malam pekan lalu. Dukungan yang tanggung kepada Agung membuat Kalla berpikir ulang. Agung diperkirakan tetap sulit mengganjal Akbar. Kalla akhirnya memutuskan maju sendiri. Ahad malam itu juga ia menemui Surya. "Ia ingin menjajaki dukungan daerah kepada Surya," kata tim sukses Surya.
Saat ditanya Kalla, Surya mengaku mengantongi 20 DPD. "Agung juga didukung 20 DPD. "Kalau ditotal dengan yang saya punya jumlahnya 60. Ini kan melebih jumlah DPD tingkat I," kata Kalla seperti ditirukan seorang pengurus Golkar.
Saat itulah Kalla secara terbuka menyatakan ingin maju. Surya mengalah setelah sempat berselisih pendapat. "Ya sudah, kalau gitu saya Ketua Dewan Penasihat," ujarnya. "Alhamdulillah," kata Kalla girang.
Keputusan ini membuat kesal tim sukses Surya. Jika Surya berganti posisi, kata Syamsul, sebaiknya sebagai wakil ketua umum. Tapi posisi itu sudah disiapkan untuk Agung. Kesepakatan diambil saat tim Kalla bertemu dengan Agung, Senin lalu. Saat itu tim Kalla yang diwakili Burhanudin Napitupulu dan Anton Lesiangi meminta Agung mundur. Sebagai gantinya, mereka menawarkan posisi wakil ketua umum.
Pada awalnya, Agung menolak sebab, idealnya, Kalla Ketua Dewan Penasihat dan Agung ketua umum. Apalagi dalam hal kriteria, Agung lebih memungkinkan karena Kalla bisa diusik masalah tata tertib mengenai pencalonannya sebagai wakil presiden oleh partai lain. Tapi kata Syamsul, hal itu tak bisa jadi ukuran, sebab dalam rapat, waktu itu DPP Golkar gagal menentukan kesalahan Kalla. "Posisinya waktu itu bukan pengurus, tapi kader partai," ujarnya.
Menjelang tengah malam, Agung luluh. "Kalla tak mau ambil risiko mengikuti dua putaran. Dia ingin terpilih aklamasi," kata Syamsul. Sore harinya, Kalla menghadap Presiden di Istana Negara dan menyatakan niatnya untuk maju. Dalam pertemuan itu, kata tim sukses Kalla, SBY pun merestui trio Kalla-Agung-Surya.
Manuver Kalla makin tak terbendung. Selasa siang, Aksa bertemu 21 pimpinan DPD I Golkar di Kamar 704 Hotel Regent, Jakarta. Menurut sumber Tempo, selain pengurus Golkar, hadir pula beberapa birokrat daerah seperti gubernur, bupati, wali kota, dan Ketua DPRD. "Kontrak politik mendukung Kalla pun ditandatangani," kata sumber itu.
Perubahan peta ini membuat Wiranto tersisih. Hubungannya dengan Surya pun merenggang. Tim sukses kedua kandidat yang awalnya bekerja sama mengegolkan perubahan tata tertib, akhirnya bersilang jalan. Sabtu, seusai makan malam di sebuah restoran di Jakarta, ia menumpahkan kekesalannya kepada orang-orang dekatnya. Di sinilah ungkapan "ditikam dari belakang" muncul.
Melalui orang dekatnya, Wiranto pun "buka-bukaan" menjabarkan keinginan SBY menguasai Golkar. Beberapa hari sebelum dilantik menjadi presiden, SBY kabarnya mendatangi rumah Wiranto di Bambu Apus, Jakarta Timur. Kunjungan itu untuk membicarakan kondisi DPR dan Golkar sebagai pemilik kursi terbesar di parlemen. Dalam pertemuan itu, SBY mempersilakan dan mendukung bekas atasannya itu untuk berjuang di Munas Golkar.
Saat itu Wiranto sebenarnya masih berpikir panjang atas angin surga yang diembuskan SBY. Belantara dukungan DPD I dan II selama Konvensi Partai Golkar yang telah dipahaminya cukup membuat Mr. Whiskey?begitu panggilan akrab Wiranto?berpikir keras. Apalagi, lawannya adalah Akbar Tandjung.
Beberapa hari setelah SBY, giliran Kalla yang sowan. Dalam pertemuan itu, Kalla mengulangi lagi harapan Istana. "Pak Wiranto sebaiknya mengambil alih Golkar," kata Kalla sebagaimana dikutip sumber Tempo. Kalla pun memastikan dirinya tak akan maju dan akan menyokong Wiranto. Kalla malah menawarkan pertemuan reguler untuk membahas masalah ini.
Penegasan Kalla ini menjadi salah satu pendorong Wiranto untuk maju ke medan tempur. Beberapa orang dekatnya mulai diajak bicara. Ia pun beberapa kali bertemu sejumlah pengurus daerah.
Awal November, giliran Wiranto beranjangsana ke Istana dan menyatakan rencananya masuk bursa pencalonan Ketua Umum Partai Golkar. SBY mempersilakan. "Ya, silakan. Saya lebih menginginkan Pak Wiranto maju," kata Yudhoyono seperti ditirukan Wiranto.
Saat itu, Wiranto sempat menanyakan posisi Surya dan dukungan SBY kepada bos Metro TV itu. "Surya akan saya carikan tempat yang terhormat," kata Presiden. Sebagai jaminan, SBY menyatakan akan meminta Fahmi Idris, Aburizal Bakrie, dan Jusuf Kalla untuk membantu Wiranto. "Silakan juga berhubungan dengan Menteri Dalam Negeri agar ada pertemuan reguler," kata SBY.
Maka, mulailah Pak Whiskey menggalang dukungan. Jaringan Golkar daerah yang dimilikinya kembali diaktifkan. Kebetulan, sejumlah tokoh sepuh Golkar menyokong dia. Tapi belakangan Wiranto kecewa. Pertemuan reguler yang dijanjikan SBY dan Kalla tak pernah terealisasi. Mereka pun makin sulit dikontak.
Wiranto pun sempat bertemu Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar. Saat itu ia menanyakan alasan Syamsir mengikuti Surya berkeliling di Musyawarah Daerah. "Saya ditugasi Kalla mengawasi Surya agar dukungan jelas," kata Syamsir seperti ditirukan tim sukses Wiranto. Namun, saat Tempo mencoba meminta konfirmasi, Syamsir tak bisa dihubungi. "Bapak sedang pergi," kata seorang ajudan.
Wiranto sempat pula menawarkan format: ketua umum: Wiranto; wakil ketua: Surya; Ketua Dewan Penasihat: Kalla. Formasi itu diterima Syamsir. Tapi, soal sampai ke SBY atau tidak, itu cerita lain. Sebab, sehari kemudian, Wiranto mendengar terbentuknya trio Kalla-Surya-Agung. "Kalau maunya maju, mbok enggak usah memprovokasi orang lain. Mbok kalau A ya A, B ya B," kata Wiranto kepada Tempo.
Presiden Susilo melalui Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi berkali-kali menyangkal keterlibatan Istana dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. "Presiden tidak ikut-ikut. Siapa pun yang maju, silakan," kata Sudi.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Widiarsi Agustina, dan Jobpie Sugiharto (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo