Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Ada Gizi, Abang Melayang

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pesan itu diselipkan di bawah pintu kamar hotel tempat menginap para peserta Musyawarah Nasional Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, Jumat pekan lalu. Tak tercantum nama atau alamat sang pemberi pesan. "Uang memang penting, tapi hati nurani jauh lebih penting," begitu bunyi selebaran itu. Pamflet serupa juga tersebar di areal Bali Convention Center, lokasi forum tertinggi partai itu digelar.

Pesan itu jelas ditujukan kepada peserta Munas. Maklum, menjelang pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, ramai dibicarakan besarnya "gizi" yang dibagikan para kandidat kepada peserta. Praktek bagi-bagi gizi alias "duit" ini marak terjadi ketika konvensi pemilihan calon presiden dari Partai Golkar, April silam. Ajang pemilihan calon presiden itu diwarnai bagi-bagi uang bagi kepengurusan Partai Golkar di daerah agar mendukung mereka.

Seorang pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi Lampung berkisah, saat pemilihan presiden, April silam, setidaknya ia mengantongi Rp 300 juta. Ini pemberian dari semua kandidat presiden yang waktu itu berlaga. "Angka itu belum termasuk sumbangan peralatan untuk kantor partai," ujarnya.

Besarnya angpao memang menggiurkan. Jurus ini dianggap efektif mendulang dukungan. Tak mengherankan jika praktek bagi-bagi "gizi" ini lazim terjadi di ajang pemilihan semacam Munas. "Ada pembagian uang dalam pertemuan-pertemuan," kata Akil Mochtar, Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), organisasi sayap partai berlambang beringin itu.

Akil mengaku punya bukti. Deklarasi pencalonan satu paket kandidat yang mengklaim didukung puluhan pengurus daerah tingkat provinsi, misalnya, disebutkan telah menggelontorkan duit pelicin. Saweran itu dilakukan dalam berbagai pertemuan yang digelar hari itu. "Jumlahnya, saya dengar, sampai ratusan juta," ujar tim sukses Akbar Tandjung. Sayang, ia enggan menyebut siapa yang dimaksud.

Indra Bambang Utoyo, mantan Ketua Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI (FKPPI) yang juga tim sukses Wiranto punya kisah menarik. Suatu ketika, pengurus partai tingkat kabupaten di Jawa Tengah mengontaknya, minta ketemu. Mereka mengeluhkan jumlah saweran yang diterima dari salah satu kandidat yang tak sesuai banderol. Awalnya, dalam satu pertemuan, tim sukses kandidat tertentu memberikan Rp 20 juta. "Tak tahunya, bujet yang diberikan untuk DPD II adalah Rp 25 juta," kata sang pengurus.

Tak percaya dengan sang penghubung, pengurus ini langsung mengontak tim sukses. Usut punya usut, ternyata para pengurus provinsi itu mendapat jatah yang jauh lebih yahud: Rp 500 juta. Uang yang diberikan Rp 20 juta itu sekadar kompensasi atas tak dipakainya hak suara DPD II. "Ini enggak fair, " katanya lagi. Apalagi, belakangan, Munas memutuskan untuk memberi hak kepada pengurus kota dan kabupaten untuk memilih sang calon ketua. "Kalau sudah begini, kami bisa bebas memilih calon yang diinginkan," ujarnya.

Praktek saweran duit ini jamak dilakukan oleh hampir semua calon. Sejumlah pengurus daerah tingkat kota di Jawa Timur yang ditemui Tempo bercerita, "gizi" itu sudah digerojokkan sejak Musyawarah Daerah (Musda) digelar. "Istilahnya, persekot untuk munas mendatang," ujarnya.

Saat munas digelar, gizi pun digelontorkan lagi oleh sejumlah kandidat. Besarnya variasi antara Rp 15 _ Rp 25 juta per pengurus kota/kabupaten. Jumlah ini diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya eskalasi persaingan politik. Dari 34 DPD II di Jawa Timur, 30 DPD II di antaranya sudah menerima amplop. "Uang terima kasih itu diberikan hampir semua kandidat," ujarnya.

Tak semuanya digelontorkan sekaligus. Biasanya, kata sang pengurus, masing-masing kandidat menyetorkan uang muka. Sisanya akan dibayarkan ketika pemilihan tiba. Jumlahnya semakin meningkat menjelang pemilihan. Apalagi jika DPD itu juga didekati kandidat lain.

Pembayarannya tak langsung dilakukan sang kandidat. Biasanya, pengurus provinsi akan ditunjuk sebagai liaison officer yang akan mengkoordinasi pertemuan, sekaligus menunjuk beberapa koordinator. "Di Jawa Timur, kami punya tiga koordinator," ujarnya. Harga pun ditetapkan berbarengan. "Hampir semua kandidat memberi uang muka," kata sumber itu.

Yudi Chrisnandi, anggota tim sukses trio Jusuf Kalla, Agung Laksono, dan Surya Paloh, mengakui praktek seperti ini dilakukan semua calon. Menurut dia, pemberian "atensi" seperti itu wajar-wajar saja. "Tak ada yang aneh karena itu bagian dari terima kasih," ujarnya. Repotnya, kata Yudi, pemberian "atensi" ini kerap dijadikan senjata oleh si kalah dengan mengatakan si pemenang melakukan politik uang. "Karena itu, jika ada yang bukti, mari kita buka-bukaan," ujarnya.

Widiarsi Agustina, Sunudyantoro, Raden Rachmadi (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus