Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Apdesi kembali menggelar aksi di depan gedung DPR untuk menuntut pengesahan revisi Undang-Undang Desa sebelum Pemilu 2024.
Tidak ada relevansi antara penambahan masa jabatan kepala desa dan peningkatan kualitas tata kelola desa.
DPR sudah memasuki masa reses.
JAKARTA – Massa demo dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) kembali menggelar aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu kemarin, 31 Januari 2024. Mereka menuntut DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Desa sebelum Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pegiat otonomi daerah dan anggaran menilai desakan organisasi perangkat desa itu tidak realistis karena pelaksanaan pemilihan presiden tinggal beberapa hari lagi. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan tidak ada urgensi untuk mengesahkan revisi Undang-Undang Desa sebelum pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman, desakan sejumlah organisasi perangkat dan kepala desa itu hanya mengejar momentum kontestasi politik. Apalagi, kata Armand, ada 70 ribu lebih desa yang bisa menjadi daya tawar bagi para kepala desa untuk mengkapitalisasi kepentingan mereka kepada anggota parlemen. "Kalau ditanya seberapa urgensinya ini mesti direvisi sekarang, sebenarnya kepala desa hanya menangkap momentum politik," ujarnya saat dihubungi, kemarin.
Sejumlah kepala desa (keuchik) hasil pemilihan keuchik langsung (pilchiksung) membaca pakta integritas saat prosesi pelantikan di Banda Aceh, 28 Desember 2023. ANTARA/Irwansyah Putra
KPPOD juga menyoroti substansi tuntutan para kepala desa terhadap revisi regulasi tersebut. Organisasi perangkat desa dan para kepala desa menuntut tiga poin yang dinilai kontroversial. Ketiga hal itu adalah perpanjangan masa jabatan, penambahan dana desa, dan hak kelola anggaran dana desa yang lebih besar.
Armand melihat tidak ada relevansi antara penambahan masa jabatan kepala desa dan peningkatan kualitas tata kelola desa. Masa jabatan, dia menjelaskan, bukan variabel determinan atau solusi dari sistem yang menentukan kualitas tata kelola pemerintahan desa.
Ketua Majelis Pertimbangan Apdesi Muhammad Asri Anas sebelumnya memaparkan sejumlah tuntutan asosiasi agar dimasukkan ke revisi Undang-Undang Desa. Organisasi meminta pendamping desa dimasukkan ke Kementerian Dalam Negeri untuk memonitor fungsionalisasi pemerintahan desa. Apdesi juga akan menyarankan agar kepala desa memiliki sistem untuk mengevaluasi kinerja kepala desa.
Tuntutan lainnya, pemerintah desa mendapat otonomi pengelolaan anggaran lebih besar. Anas meminta 70 persen pengelolaan dana desa berdasarkan musyawarah dan mufakat. Tuntutan ini dinilai berbanding terbalik dengan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Dalam regulasi tersebut hanya tercantum pengalokasian 30 persen dana desa.
Besarnya persentase anggaran itu ditujukan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa dalam biaya operasional desa, biaya operasional Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan biaya operasional tim penyelenggara alokasi dana desa. Sedangkan 70 persen sisanya digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi desa; pemberdayaan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat; serta bantuan keuangan kepada lembaga di desa, seperti RT, RW, PKK, karang taruna, dan linmas.
Armand Suparman menegaskan bahwa kualitas tata kelola desa berhubungan dengan perencanaan, penganggaran, penyusunan kebijakan, dan pelayanan di desa. Hal yang mesti diperhatikan dalam penambahan masa jabatan adalah memperkuat kualitas sistem pemilihan kepala desa. Proses pemilihan yang adil dan transparan akan melahirkan kepala desa yang berintegritas dan berkualitas.
Pengendara sepeda motor melintas di jalan desa yang baru diaspal di Desa Balane, Sigi, Sulawesi Tengah, 5 Desember 2023. ANTARA/Basri Marzuki
Dia menilai hal yang perlu diperhatikan adalah meningkatkan demokratisasi di level desa dengan memperkuat peran panitia pengawas desa (PPD), bukan menambah masa jabatan. "Soal permintaan perpanjangan masa jabatan karena adanya fragmentasi pasca-pemilihan kepala desa, alasan itu juga tidak cukup kuat," ujarnya.
Para kepala desa meminta perpanjangan masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun untuk menghindari konflik dan perpecahan antarwarga setelah pemilihan kepala desa. Asumsinya, jika masa jabatan enam tahun dikalikan tiga pemilihan, artinya dalam 18 tahun terjadi tiga kali konflik. Sedangkan jika masa jabatan kepala desa sembilan tahun dan diperpanjang satu periode lagi, konflik hanya terjadi dua kali dalam 18 tahun.
Armand menegaskan, fragmentasi masyarakat tidak hanya terjadi pada level desa, bahkan bisa sampai kabupaten/kota dan provinsi. "Maka solusinya bukan menambah masa jabatan kepala daerah."
Dia menilai Undang-Undang Desa saat ini telah memberikan masa jabatan kepala desa enam tahun dan bisa diperpanjang dua kali. Artinya, kata Armand, kepala desa tetap bisa memimpin sampai 18 tahun. "Jika enam tahun pertama berprestasi, para kepala desa bisa dipercaya lagi oleh masyarakat untuk memimpin enam tahun berikutnya. Kalau dipercaya lagi, bisa memimpin enam tahun berikutnya," tuturnya.
Adapun permintaan kenaikan dana desa dari Rp 1 miliar menjadi Rp 2 miliar, menurut Arman, tidak tepat. Sebab, ditengarai masih ada praktik korupsi di tingkat desa. Dia menilai lebih baik menunda menaikkan dana desa sebelum ada pembenahan sistem pengawasan dana desa. Apalagi ada tuntutan pemerintah desa agar pengelolaan anggaran desa sebesar 70 persen.
Kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga terbatas jika menuntut adanya kenaikan dana desa. Menurut Armand, penyelenggaraan pemilu jelas-jelas menguras APBN. Dia menyebutkan anggaran negara tidak hanya diprioritaskan pada pembangunan desa, tapi juga sektor lain.
Desakan agar pengesahan revisi UU Desa dilakukan sebelum pemilu juga tidak akan berpengaruh pada kenaikan dana desa. Sebab, pengesahan APBN sudah diketok pada September 2023. Karena itu, Armand menegaskan, pengesahan revisi UU Desa sebaiknya ditunda hingga pelaksanaan pemilu selesai. Menurut dia, penundaan pembahasan memberikan waktu bagi parlemen untuk mengkaji lebih dalam proses revisi undang-undang tersebut.
DPR Memasuki Masa Reses
Dihubungi secara terpisah, peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, menyatakan muskil revisi UU Desa disahkan DPR sebelum pemilu. Jika dilihat dari proses dan waktu pembahasannya, kata Badiul, regulasi tersebut belum juga dibahas. Sedangkan pada 6 Februari mendatang, DPR memasuki masa reses dan penutupan masa sidang III 2023/2024. "Anggota DPR memasuki masa reses sampai Maret 2024," ucapnya.
Badiul menjelaskan, proporsi pengelolaan dana desa idealnya memang lebih besar. Sebab, aparatur pemerintah desa yang memahami kondisi di desanya. Kendati begitu, dia menekankan agar proporsi pengelolaan dibarengi dengan pendampingan atau asistensi dan pengawasan.
Menurut Badiul, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan pengaturan desa berasaskan subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal desa dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Ia menuturkan besarnya campur tangan dalam pengelolaan dana desa kerap kali berdampak sulitnya menggunakan dana desa. "Asas atau prinsip subsidiaritas merupakan komitmen politik untuk menguatkan desa dalam menata dan mengelola dirinya sendiri," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Fitra Misbah Hasan juga menilai revisi UU Desa yang dilakukan sebelum pemilu tidak tepat. Sebab, perlu ada evaluasi mendalam dan komprehensif atas pelaksanaan UU Desa selama 10 tahun terakhir. Misbah pun berkeberatan atas penambahan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun. "Semakin lama seorang kepala berkuasa, biasanya akan semakin otoriter dan potensi penyimpangannya semakin besar, termasuk penyimpangan keuangan desa," tuturnya.
EKA YUDHA SAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo