Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Maulid Nabi Muhammad SAW yang tahun ini jatuh pada 28 September dirayakan dengan aneka cara di berbagai negara, termasuk membagi-bagikan mainan untuk anak-anak di Mesir.
Arab Saudi, tanah kelahiran Rasul, menghormati sang Rasul dengan tidak merayakan hari kelahirannya.
Deina Abdelkader, peneliti Pusat Kajian Timur Tengah di Harvard University, menulis perbedaan cara pandang di Islam soal penghormatan bagi Nabi Muhammad.
Sebagian besar umat Islam di seluruh dunia merayakan kelahiran Nabi Muhammad pada hari ke-12 bulan ketiga dalam kalender Islam, Rabi'ul Awwal. Tahun ini jatuh pada 28 September 2023. Bagi muslim, perayaan yang biasa disebut Maulid Nabi ini, seperti banyak perayaan Islam lainnya, merupakan tanda penghormatan dan pemujaan terhadap Nabi Muhammad, yang diyakini sebagai utusan Tuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut tradisi Islam, Muhammad adalah sosok yang saleh, lahir sekitar tahun 570 Masehi, yang ditetapkan Allah sebagai nabi terakhirnya. Dia menghafal pesan-pesan Tuhan dan melafalkannya. Kemudian ayat-ayat tersebut dituliskan untuk dilestarikan dalam bentuk teks, yang sekarang menjadi Al-Quran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian besar negara dengan mayoritas penduduk muslim, dari Pakistan, Malaysia, hingga Sudan, memperingati Maulid Nabi setiap tahun. Perayaan paling meriah pernah dilakukan di Mesir, dengan menampilkan zikir Sufi untuk memperingati sang Nabi, disertai pembagian mainan dan permen berwarna-warni kepada anak-anak.
Sejumlah abdi dalem membawa sesaji saat tradisi Panjang Jimat untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat, 28 September 2023. ANTARA/Dedhez Anggara
Meski demikian, ternyata tidak semua muslim merayakan hari raya ini. Di beberapa negara, seperti Arab Saudi, perayaan ini sama saja seperti hari-hari lainnya.
Fokus penelitian saya adalah bagaimana hubungan masyarakat Islam dengan keyakinan mereka, termasuk rasa keadilan sosial dan harapan mereka terhadap pemerintah. Saat sebagian besar negara muslim mendorong peringatan Maulid Nabi, hal sebaliknya terjadi di masyarakat yang dibentuk oleh mazhab Islam Wahabi yang ultra-konservatif, yang pengaruh globalnya telah meluas dengan cepat dalam beberapa dekade terakhir.
Penolakan Wahabi
Gerakan Wahabi dimulai pada 1744, diinisiasi oleh Muhamed Ibn Abdel Wahab, seorang ulama dan pembaru di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Arab Saudi. Muhamed Ibn Saud, seorang pemimpin politik yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Saud, melegitimasi kekuasaannya dengan mencari pendapat keagamaan Ibn Abdel Wahab. Ibn Saud sangat ingin merebut lebih banyak kekuasaan dari Kekaisaran Ottoman, yang menguasai sebagian besar semenanjung pada masa itu.
Sejak saat itu, Wahabisme menyebar ke seluruh dunia muslim, di negara-negara seperti Yaman, negara-negara pasca-Soviet, Tunisia, dan Mesir, terutama setelah Revolusi Iran 1979, yang memicu kebangkitan Iran sebagai kekuatan regional serta mencoba menyaingi Arab Saudi.
Sebagai aliran Islam garis keras, Wahabisme sering mendorong penafsiran harfiah terhadap Al-Quran dan sangat mencurigai praktik-praktik yang mereka anggap sebagai penyembahan berhala.
Sebagai contoh, pihak berwenang Saudi menindak tegas pemujaan di makam para wali dan meratakan beberapa tempat suci secara keseluruhan. Dalam kasus-kasus ekstrem, Salafi—sebuah aliran Islam serupa—mengklaim bahwa peninggalan dan patung-patung Mesir Kuno harus dihancurkan. Di Arab Saudi, polisi agama, yang disebut mutaween, menjaga tempat pemakaman Nabi Muhammad di Madinah selama musim ziarah untuk mencegah pengunjung menyentuhnya atau berdoa di dekatnya.
Kaum konservatif tidak menyukai pemujaan terhadap Nabi. Kaum puritan Wahabi menganggap Maulid Nabi sebagai bidah. Mereka kerap mengutip hadis Nabi yang mengatakan: "Setiap bidah adalah kesesatan dan setiap kesesatan akan berakhir di neraka." Kata “bidah” di sini sering digunakan untuk mengutuk praktik-praktik muslim yang dianggap sebagai inovasi, seperti merayakan hari kelahiran Nabi.
Peserta membawa gunungan berisi hasil bumi saat mengikuti Kirab Ampyang Maulid di Desa Loram, Jati, Kudus, Jawa Tengah, 28 September 2023. ANTARA/Yusuf Nugroho
Merayakan dengan Rasa Kagum
Para pengkritik Wahabi berpendapat bahwa paham ini justru merendahkan hubungan manusia dengan Tuhan karena melarang perilaku naluriah manusia seperti keinginan untuk menghormati Nabi.
Padahal, berbeda dengan fokus harfiah dan konservatif pada keesaan Tuhan yang ditekankan oleh kaum Wahabi, sebagian besar muslim merayakan Maulid Nabi sebagai tanda cinta, rasa hormat, dan kekaguman terhadap Nabi Muhammad.
Di negara-negara mayoritas muslim, Maulid Nabi dirayakan dengan berbagai cara dan bentuk, baik secara diam-diam dengan berpuasa dan membaca Al-Quran maupun oleh anak-anak yang berdandan dengan warna-warna cerah dan membawa kuda-kudaan atau boneka yang terbuat dari gula. Bentuk perayaannya bervariasi, tapi satu hal yang hendak mereka tunjukkan adalah betapa sosok Nabi Muhammad begitu dikagumi dan sangat dicintai oleh para pengikutnya.
---
Artikel ini ditulis oleh Deina Abdelkader, lektor kepala ilmu politik di University of Massachusetts Lowell, Amerika Serikat. Terbit pertama kali di The Conversation.