SOAL keluhan terlalu mahalnya tarip penumpang kapal perintis --
yang disediakan pemerintah untuk daerah rawan di Kepulauan Riau,
rupanya dapat tanggapan juga dari pihak Departemen Perhubungan.
Buktinya, sejak awal tahun 1977 ini "taripnya sudah diturunkan"
kata Usman Suwarso, Pimpinan PT Pelni Sub Cabang Tanjungpinang.
Berapa? "Sekitar 50 - 60%" ujar Usman lagi. Jadi, hampir tak
berbeda jauh dengan tarip kapal umum yang sebenarnya bukan kapal
penumpang tapi kapal barang yang meskipun menurut aturan tak
boleh bawa penumpang, tapi tetap penuh dijejali manusia.
Kabar ini, meskipun hampir-hampir tak pernah disiarkan secara
luas, tapi di sambut dengan dada lapang. Terutama pihak Pemda
Kep. Riau. Sebab Bupati Firman Eddy SH hampir tiap tahun harus
mengurut dada mendengar kabar musibah menimpa warganya yang
menBgunakan kapal-kapal kecil bulak balik dari kota kabupaten ke
daerah-daerah terpencil. Seperti musibah yang menimpa Km Takari
III (50 ton) dengan 21 penumpang dan 10 awaknya, minggu I
Pebruari lalu.
Penumpang Gelap
Sebab soalnya jelas: Kapal-kapal barang yang menjalani trayek ke
Natuna itu rata-rata kecil dan di bawah 100 ton. Jadi amat
berbahaya buat menentang keganasan arus laut Natuna. Namun,
masyarakat di sana hampir tak pernah kapok meskipun mereka kerap
mengalami musibah di laut. Alasannya adalah: kapal-kapal barang
itu lebih murah. Dengan kapal perintis, dulu mereka harus bayar
2 atau 3 kali lipat.
Di samping itu, keluhan muncul dari pihak pengusaha pelayaran
sendiri dalam melayani serbuan masyarakat Pulau Tujuh ini.
Sebab, mereka tahu bahwa kapal mereka tak boleh bawa penumpang.
Kalaupun mau, mereka harus punya dispensasi dari pihak
kesyahbandaran. Sedangkan untuk dispensasi itu selain mereka
harus menyiapkan perlengkapan penyelamatan penumpang juga tiap
penumpang yang diberi dispensasi harus membayar Rp 500. Padahal,
yang menumpang banyak dengan cara gratis. Kalau pun bayar hanya
untuk uang makan selama di kapal.
Akibatnya, sering kapal-kapal motor jurusan Pulau Tujuh itu tak
melapor membawa penumpang. Seperti kasus Km Takari III. Ternyata
dari 29 penumpang yang diselamatkan oleh KM Montana itu, tak
seorang penumpang yang terdaftar. Mengapa begitu? "Kami serba
salah", keluh Sulistiyo dari PT Takari Raya pemilik KM Takari
III yang tenggelam itu. Soalnya, penumpang itu tak satupun yang
mendaftar ke perusahaannya. Sehingga waktu melapor
keberangkatan kapal memang tak dinyatakan ada penumpang. Tapi
begitu kapal akan berangkat, tahu-tahu kapalnya sudah penuh.
"Jadi mau kami apakan mereka itu? Mau ditolak tak sampai hati",
lanjut Sulistiyo.
Cerita model cincai-cincai begini ini memang diakui oleh banyak
pengusaha pelayaran di Tanjungpinang. Sebab mereka kewalahan:
masyarakat membutuhkan sarana angkutan penumpang yang murah.
Sedangkan kapal barang tak diberi izin membawa penumpang.
Sayangnya, pihak kesyahbandaran Tanjungpinang belum bisa angkat
bicara. "Saya orang baru di sini. belum tahu betul masalahnya",
kata Salim Ode, ex syahbandar Sunda Kelapa yang kini belum
sebulan ditempatkan di Tanjungpinang menggantikan almarhum A.
Majid P. yang meninggal secara mendadak di sebuah hotel di
Singapura. Sementara pihak INSA Kep. Riau mengakui kalau soal
penumpang-penumpang jurusan Tanjungpinang - Pulau Tujuh pp ini
sudah berkali-kali dicoba mengatasinya. "Tapi belum berhasil",
tutur Imam Sudradjad, ketua INSA setempat. Namun, karena armada
perintis sudah menurunkan taripnya maka pihak pengusaha
pelayaran dirnintakan untuk tegas-tegas menolak para penumpang
yang tak memenuhi prosedur. "Sebab kalau terjadi kecelakaan di
laut, pihak pelayaran yang disalahkan", jelas Imam lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini