Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Awas, batara kala

Masyarakat cenderung untuk mempertahankan status quo. prakarsa pembaruan sebagai alternatif akan menerangkan tantangan. pembaruan cenderung menggoyahkan kanaturan yang ada, maka ada yang ingin menghalangi.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK tunggal, ontang anting, konon makanan kesukaan Batara Kala. Untuk membujuk sang Kala, si anak harus diamankan dengan upacara sakral yang mahal dan menegakkan bulu roma, Murwokolo. Bila tidak, malapetaka tidak hanya mengancam sianak, tetapi juga keluarga dan masyarakatnya. Sebagai putera Batara Guru, Kala punya kekuatan dan keleluasaan untuk bertindak menuntut hak yang sudah dianugerahkan kepadanya oleh Sang Dewa. Itulah sebabnya masa kecil saya diliputi kecemasan, akibat belenggu kepercayaan tentang Sang Kala itu. Semua musibah yang saya alami - sakit, kecelakaan dan ketidak beruntungan - selalu dihubungkan dengan Kala menagih janji. Tetangga dan masyarakat desa suka menuding kami sebagai pendatang bala, manakala timbul kesulitan. Karena, kata mereka, saya anak tunggal yang tidak pernah diruwat (diselamatkan). Saya tidak tahu kenapa kami sekeluarga berontak pada intimidasi sang Kala. Yang saya tahu kami membenci kesewenang-wenangan. Tidak kecuali terhadap sementara nilai, kepercayaan dan aturan-aturan yang menurut keyakinan kami sewenang-wenang. Kenapa aturan kepercayaan masyarakat memaksa kami menyerah dan meladeni keganasan Sang Kala? *** Masyarakat memang hanya bisa tegak berdiri bila diikat oleh aturan-aturan. Sebaliknya masyarakat hanya bisa lestari bila ada kekuatan di dalamnya yang merintis dan mengembangkan pembaharuan. Aturan cenderung menghambat ruang gerak pembaharuan. Sedang pembaharuan cenderung menggoyahkan tegaknya aturan. Namun aturan dan pembaharuan rupanya merupakan sepasang kekuatan yang dua-duanya harus tetap berdampingan menopang jalannya kehidupan. Sebahagian besar anggota masyarakat cendemng memilih keadaan tata tentrem di bawah lindungan aturan tatanilai tradisi, kepercayaan bahkan takhyul. Tetapi di dalam masyarakat itu selalu pula ditemui kekuatan-kekuatan pembangkang atas tata nilai. Kekuatan-ini berbendera pembaharuan gagasan baru, penemuan dan alternatif yang justru merupakan esensi dari dinamika kehidupan. Sangat menarik mengamati perilaku kedua kekuatan itu. Penegakkan aturan hampir selalu berarti menegakkan status quo maksud saya mempertahankan kenyataan yang ada, yang cocok dengan apa yang dianggap dan diterima sebagai hal yang semestinya betapapun rapuhnya anggapan itu. Berkembangnya gagasan baru di mana-mana harus membentur atau menabrak kokohnya benteng konvensionalitas, mengatasi rengek cemas ketidakpastian dan bayangan momok malapetaka. Gejala ini universil, dan berlaku sepanjang kurun sejarah. Anehnya, makin ditekan prakarsa, makin terasa kehutunan akan pembaharuan itu. Makin dibelenggu, makin subur persemaian gagasan ke arah perobahan. Apabila kekuatan penegak status quo itu berhasil membendung prakarsa pembaharuan secara sempurna, hasilnya akan fatal. Cokro manggilingan terhenti berputar. Wajah masyarakat itu akan mencerminkan fosil kebudayaan hari kemarin. Kita bisa amati kokohnya benteng tradisi dan akibatnya yang bisa kita lihat dalam masyarakat Badui, Tengger. Samin. Kubu dan sebagainya. Beberapa waktu yang lalu saya mendengarkan ceramah tokoh tua tetapi bijaksana dan banyak pengabdian. Beliau berceritera tentang gegap gempitanya kekuatan gagasan dan gerakan pembaharuan sepertiga abad yang lalu. Dengan bangga digambarkan betapa gerakan pembaharuannya dulu dicap melanggar segala macam aturan. Sehingga kesulitan, tantangan dan hambatan dihadapi, waktu generasinya menegakkan gerakan pembaharuan. Hasil gemilang perjoangan pembaharuan itu kini kita rasakan bersama sebagai Indonesia yang merdeka! Tetapi rupanya sang Wredapun terjerat ke dalam dilema mempertahankan status quo. Beliau juga mengeluh, kenapa anak muda sekarang tidak seperti generasinya dulu. Kenapa anak muda sulit diajak menghayati nilai-nilai yang dianutnya. Rupanya tiap generasi hanya dapat membenarkan dan memuja prakarsa pembaharuan yang sudah lewat. Sedang prakarsa pembaharuan masa kini, betapapun relevan dan masuk akalnya dengan kebutuhan perbaikan... nanti dulu. Kalau bisa mbok ya dihayati saja warisan nilai yang sudah teruji itu. Segala prakarsa yang mengancam kelestarian sistim nilai yang berlaku, selalu akan mengulang lacak jalannya Cokro manggilingan. Penuh tantangan kesulitan, hambatan, godaan dan dakwaan-dakwaan. Saya lalu teringat waktu seorang pemuda cendekia diberi kesempatan ceramah di forum yang sama. Dengan akal sehat yang sederhana, ia menyajikan logika pembaharuan masa kini. Dengan rendah hati dan suara datar-lemah dikemukakan jalan fikiran, bahkan hanya pertanyaan akan kemungkinan adanya pembaharuan dan pengembangan alternatif. Tetapi tanggapan dari seorang yang hadir sungguh mengagetkan. Dengan semangat rajawali dan suara lantang ia seolah menghunus pedang, ojo takon dosa!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus