ANAK tunggal, ontang anting, konon makanan kesukaan Batara Kala.
Untuk membujuk sang Kala, si anak harus diamankan dengan upacara
sakral yang mahal dan menegakkan bulu roma, Murwokolo. Bila
tidak, malapetaka tidak hanya mengancam sianak, tetapi juga
keluarga dan masyarakatnya. Sebagai putera Batara Guru, Kala
punya kekuatan dan keleluasaan untuk bertindak menuntut hak yang
sudah dianugerahkan kepadanya oleh Sang Dewa.
Itulah sebabnya masa kecil saya diliputi kecemasan, akibat
belenggu kepercayaan tentang Sang Kala itu. Semua musibah yang
saya alami - sakit, kecelakaan dan ketidak beruntungan - selalu
dihubungkan dengan Kala menagih janji. Tetangga dan masyarakat
desa suka menuding kami sebagai pendatang bala, manakala timbul
kesulitan. Karena, kata mereka, saya anak tunggal yang tidak
pernah diruwat (diselamatkan). Saya tidak tahu kenapa kami
sekeluarga berontak pada intimidasi sang Kala. Yang saya tahu
kami membenci kesewenang-wenangan. Tidak kecuali terhadap
sementara nilai, kepercayaan dan aturan-aturan yang menurut
keyakinan kami sewenang-wenang. Kenapa aturan kepercayaan
masyarakat memaksa kami menyerah dan meladeni keganasan Sang
Kala?
***
Masyarakat memang hanya bisa tegak berdiri bila diikat oleh
aturan-aturan. Sebaliknya masyarakat hanya bisa lestari bila ada
kekuatan di dalamnya yang merintis dan mengembangkan
pembaharuan. Aturan cenderung menghambat ruang gerak
pembaharuan. Sedang pembaharuan cenderung menggoyahkan tegaknya
aturan. Namun aturan dan pembaharuan rupanya merupakan sepasang
kekuatan yang dua-duanya harus tetap berdampingan menopang
jalannya kehidupan.
Sebahagian besar anggota masyarakat cendemng memilih keadaan
tata tentrem di bawah lindungan aturan tatanilai tradisi,
kepercayaan bahkan takhyul. Tetapi di dalam masyarakat itu
selalu pula ditemui kekuatan-kekuatan pembangkang atas tata
nilai. Kekuatan-ini berbendera pembaharuan gagasan baru,
penemuan dan alternatif yang justru merupakan esensi dari
dinamika kehidupan. Sangat menarik mengamati perilaku kedua
kekuatan itu. Penegakkan aturan hampir selalu berarti
menegakkan status quo maksud saya mempertahankan kenyataan yang
ada, yang cocok dengan apa yang dianggap dan diterima sebagai
hal yang semestinya betapapun rapuhnya anggapan itu.
Berkembangnya gagasan baru di mana-mana harus membentur atau
menabrak kokohnya benteng konvensionalitas, mengatasi rengek
cemas ketidakpastian dan bayangan momok malapetaka.
Gejala ini universil, dan berlaku sepanjang kurun sejarah.
Anehnya, makin ditekan prakarsa, makin terasa kehutunan akan
pembaharuan itu. Makin dibelenggu, makin subur persemaian
gagasan ke arah perobahan. Apabila kekuatan penegak status quo
itu berhasil membendung prakarsa pembaharuan secara sempurna,
hasilnya akan fatal. Cokro manggilingan terhenti berputar.
Wajah masyarakat itu akan mencerminkan fosil kebudayaan hari
kemarin. Kita bisa amati kokohnya benteng tradisi dan akibatnya
yang bisa kita lihat dalam masyarakat Badui, Tengger. Samin.
Kubu dan sebagainya.
Beberapa waktu yang lalu saya mendengarkan ceramah tokoh tua
tetapi bijaksana dan banyak pengabdian. Beliau berceritera
tentang gegap gempitanya kekuatan gagasan dan gerakan
pembaharuan sepertiga abad yang lalu. Dengan bangga digambarkan
betapa gerakan pembaharuannya dulu dicap melanggar segala macam
aturan. Sehingga kesulitan, tantangan dan hambatan dihadapi,
waktu generasinya menegakkan gerakan pembaharuan. Hasil gemilang
perjoangan pembaharuan itu kini kita rasakan bersama sebagai
Indonesia yang merdeka! Tetapi rupanya sang Wredapun terjerat ke
dalam dilema mempertahankan status quo. Beliau juga mengeluh,
kenapa anak muda sekarang tidak seperti generasinya dulu. Kenapa
anak muda sulit diajak menghayati nilai-nilai yang dianutnya.
Rupanya tiap generasi hanya dapat membenarkan dan memuja
prakarsa pembaharuan yang sudah lewat. Sedang prakarsa
pembaharuan masa kini, betapapun relevan dan masuk akalnya
dengan kebutuhan perbaikan... nanti dulu. Kalau bisa mbok ya
dihayati saja warisan nilai yang sudah teruji itu.
Segala prakarsa yang mengancam kelestarian sistim nilai yang
berlaku, selalu akan mengulang lacak jalannya Cokro
manggilingan. Penuh tantangan kesulitan, hambatan, godaan dan
dakwaan-dakwaan. Saya lalu teringat waktu seorang pemuda
cendekia diberi kesempatan ceramah di forum yang sama. Dengan
akal sehat yang sederhana, ia menyajikan logika pembaharuan masa
kini. Dengan rendah hati dan suara datar-lemah dikemukakan jalan
fikiran, bahkan hanya pertanyaan akan kemungkinan adanya
pembaharuan dan pengembangan alternatif. Tetapi tanggapan dari
seorang yang hadir sungguh mengagetkan. Dengan semangat rajawali
dan suara lantang ia seolah menghunus pedang, ojo takon dosa!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini