RASA gusar terhadap wartawan Australia belum reda. Panglima ABRI, Jenderal L.B. Moerdani, Sabtu pekan silam mengatakan, pemberitaan harian Australia The Sydney Morning Herald 10 April lalu itu sungguh "sangat menyakitkan" dan sudah "mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Ia mengungkapkan itu seusai upacara serah terima Kepala Staf TNI Angkatan Udara di Lanuma Adisucipto, Yogyakarta. Pangkopkamtib menganggap, berita yang ditulis David Jenkins, penjaga gawang rubrik luar negeri koran terkenal Australia itu sudah merupakan penghinaan terhadap Kepala Negara. Apalagi, katanya, itu berdasarkan hal yang tidak pasti kebenarannya. "Kalau ada tulisan, Benny mempunyai istri dua puluh, saya akan diam saja," katanya. "Tapi ini sudah menyangkut Kepala Negara. Kita harus mengambil sikap dan mempertahankan kehormatan Kepala Negara." Agaknya tulisan 13 kolom, terdiri dari tiga bagian, ditulis bekas koresponden senior yang pernah bertugas di Indonesia 1976-1980 itu mungkin akan mengundang tindakan "balasan" dari pemerintah Indonesia. Seperti dikatakan Dubes RI untuk Australia August Marpaung pekan lalu, Indonesia tidak membolehkan sembilan wartawan Australia datang dan meliput kunjungan Presiden Ronald Reagan ke Bali akhir bulan ini. Beberapa wartawan yang berniat meliput pertandingan Piala Thomas di Jakarta, konon, juga urung karena tidak mendapat izin. Namun, seperti diucapkan Jenderal Benny, rincian balasan belum diumumkan. Reaksi ada pula atas berita yang menyebutkan seolah-olah ada usaha dari beberapa orang dekat Pak Harto untuk menanamkan modalnya di sejumlah perusahaan yang membuahkan untung besar itu. Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, misalnya, dengan tegas memuji kepemimpinan Pak Harto selama dua dekade ini. Presiden Soeharto, kata Lee di depan National Press Club, Canberra, Rabu pekan lalu, telah berprestasi dalam memajukan perekonomian Indonesia dan menggalang kerja sama bangsa-bangsa Asia Tenggara. Lee mengingatkan pers Australia. Mereka pada waktu dekat ini akan dipaksa mempertanyakan pilihan: atas nama kebebasan pers atau panggilan untuk tidak merugikan kepentingan nasional mereka. Bila pers Australia memilih "menghukum" pemimpin negara Dunia Ketiga, kata Lee, hal itu dianggap sebagai suatu penghinaan dan mengundang rasa permusuhan. "Bukan cuma terhadap media massa khususnya, tetapi juga terhadap Australia pada umumnya." Menurut Lee, pers Australia meniru cara kerja rekan mereka di Amerika Serikat. Tapi Australia bukan AS. Soalnya, bila pers AS mengkritik pemimpin negara lain, hanya sedikit dari Dunia Ketiga yang mampu mengambil tindakan yang merugikan kepentingan AS. Australia sebaliknya: banyak negara Dunia Ketiga yang dengan mudah mengambil tindakan yang merugikan Australia. "Media Australia akan melihat kenyataan itu dalam waktu yang tidak lama," kata Lee, yang kebetulan menjadi tamu resmi pemerintah Australia. Jenkins sendiri, seperti dilaporkan Sinar Harapan, mengatakan artikelnya semula akan diturunkan beberapa minggu sebelum kunjungan Menteri Ristek B.J. Habibie dan Seminar Australia-Indonesia di Jakarta. Artikel baru turun setelah pemimpin redaksi koran itu balik dari London sebelum 10 April lalu. Ia menjelaskan latar belakang dirinya: "Perlu Anda ketahui, saya adalah pengagum Indonesia yang mengagumi dan menghormati Indonesia dengan keberhasilan-keberhasilan yang dicapai Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Beliau telah menyelamatkan ekonomi yang tadinya hampir bangkrut di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno." Apa pun niat dan sikap Jenkins, belum jelas bagaimana persoalan ini bisa diredakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini