Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pesta-Pora Dana Desa

Ada ratusan laporan penyelewengan dana desa dari seluruh Indonesia. Pemerataan korupsi?

14 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM genap sebulan Satuan Tugas Dana Desa dibentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, sudah ada 600 pengaduan masyarakat yang melaporkan dugaan penyelewengan. Satuan yang diumumkan pada 5 Juli lalu itu dilengkapi call center 1500040 serta pesan pendek di nomor 0812-889-90-040 dan 0877-889-90-040.

Menteri Desa Eko Putro Sandjojo mencetak berbagai laporan dalam nomor-nomor tersebut dan membundelnya menjadi buku berjilid setebal lima sentimeter. "Ini nila setitik yang merusak susu sebelanga," katanya Rabu pekan lalu.

Eko kian masygul karena laporan pengaduan itu terbukti benar ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Kepala Desa Dasok Agus Mulyadi dan Bupati Pamekasan Achmad Syafii pada 2 Agustus lalu. Keduanya diduga tengah mengatur uang pelicin untuk menghentikan penyidikan dugaan penyelewengan dana desa oleh Agus di Kejaksaan Negeri Pamekasan.

Banyak orang terlibat dalam penyuapan penghentian perkara itu. KPK menetapkan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya sebagai tersangka, juga Inspektur Pemerintah Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo dan Kepala Bagian Administrasi Inspektorat Kabupaten Pamekasan Noer Solehoddin.

Toh, meski banyak laporan dan sudah terbukti ada penyelewengan, Menteri Eko menganggap pesta-pora dana desa ini perkara kecil. Ia membandingkan jumlah laporan sebanyak 600 dengan desa penerima dana tersebut sebanyak 74.900. "Hanya nol koma sekian persen," ujarnya. Ia masygul karena KPK mencokok pelaku korupsi dana desa.

Bagi Eko, penangkapan itu akan mencoreng efektivitas anggaran yang ditujukan untuk memeratakan pembangunan di tiap desa. Sebaliknya, Ketua Satgas Dana Desa Bibit Samad Rianto menganggap laporan dan penangkapan itu sebagai masalah serius. Banyak kepala desa, kata mantan Wakil Ketua KPK ini, belum siap menerima dan mengelola uang ratusan juta rupiah. "Mereka pikir itu duit sendiri, lalu dipakai seenaknya," katanya.

Menurut Bibit, dana desa sangat rawan dikorupsi karena pengawasan penerimaan, pemakaian, dan laporan pertanggungjawabannya lemah. Laporan dari Cirebon menggambarkan kesimpulan Bibit.

Melalui call center, seorang bendahara sebuah desa di Cirebon melaporkan bahwa dana desa untuk wilayahnya disimpan di rumah kepala desa. Uang sebesar Rp 540 juta pun tak jelas pemakaiannya. Ketika dimintai konfirmasi, bendahara itu membenarkan melaporkan dugaan penyelewengan tersebut, tapi menolak nama dan desanya dipublikasikan.

Permintaan kepala desa itu jelas bertentangan dengan Peraturan Bupati Cirebon Nomor 97 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa. Dana yang sudah dicairkan, tertulis dalam aturan itu, harus disimpan di bendahara.

Awalnya, bendahara itu menolak. Ia menyarankan si kepala desa menyimpan uang tersebut di rekening bank saja. Pejabat desa yang ingin memakai uang itu harus mengajukan permintaan secara tertulis kepada bendahara.

Kepala desa berkeras dengan keinginannya. Bendahara itu mengalah dengan syarat kepala desa melampirkan kuitansi serah-terima uang. "Saya tak tahu harga semen dan berapa pajak yang harus dibayar," ujarnya.

Seorang penduduk mengkonfirmasi cerita bendahara. Menurut dia, pemakaian dana desa diatur sepenuhnya oleh kepala desa. Badan Permusyawaratan Desa, yang seharusnya mengawasi kebijakan kepala desa, juga tak menegurnya. Anggota badan itu merupakan teman-teman kepala desa sendiri. "Jadi kelembagaan desa di sini tidak berfungsi," kata bendahara itu.

Kepala desa juga yang menentukan kontraktor proyek pemerintah. Umumnya kawannya sendiri. Setelah proyek berjalan pun pengembang tak melampirkan informasi tentang proyek-proyek itu. Ketidaktransparanan itu diperparah dengan pembentukan tim pengelola kegiatan yang berisi kerabat si kepala desa.

Menurut Bibi Samad Rianto, kepala-kepala desa mengeluarkan biaya tak sedikit agar menang dalam pemilihan umum. Setelah menjabat, mereka melirik dana desa sebagai kompensasi keluar uang banyak saat kampanye.

Bibit pernah menerima laporan dari Mamuju, Sulawesi Barat, bahwa calon kepala desa terkuat di sana meminta uang kepada penduduknya. Warga desa pun urunan untuk biaya kampanye calon yang mereka dukung senilai sekitar Rp 15 juta per keluarga. "Menjadi kepala desa kian menggiurkan," ujar Bibit.

Setelah berhasil menilap dana desa pun, untuk menghilangkan jejak, kepala-kepala desa mendekati polisi atau jaksa agar tak menyelidiki dugaan korupsi itu, seperti yang dilakukan Agus Mulyadi yang hendak menyuap kepala kejaksaan dengan Rp 250 juta. Di Cirebon sama.

Kepala desa itu harus memberikan uang Rp 10 juta untuk diserahkan kepada Forum Kerukunan Kuwu Cirebon (FKKC). Jika di Cirebon ada 424 desa, FKKC telah menerima Rp 4,2 miliar.

Ketua FKKC Mohamad Carkim membantah meminta iuran kepada kepala desa untuk memuluskan pencairan dana desa dan menutupi penyelewengan. "Saya tidak pernah meminta uang urunan seperti itu," tuturnya kepada Ivansyah dari Tempo di Cirebon. "Tidak ada sepeser pun."

Di Desa Lawela Selatan, Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara, lain lagi. Arsad, salah satu kepala dusun di daerah itu, melaporkan penilapan uang Rp 322 juta oleh kepala desanya, La Ode Arbia, dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa Hasiadin ke Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Arsad dan teman-temannya menyimpulkan angka ini setelah membandingkan rencana anggaran biaya dengan kenyataan di lapangan. "Tidak sesuai dengan program yang sudah disusun," ujarnya. Salah satunya soal jalan akses usaha tani.

Jalan yang seharusnya dibangun ke arah selatan, menurut Arsad, malah dibuat ke timur. Perubahan ini tanpa melalui musyawarah desa. Arsad menduga kepala desanya ingin menguntungkan kroni-kroninya yang punya usaha tani di daerah timur.

Arsad juga mengeluhkan tindakan kepala desa yang tidak melibatkan Tim Pengelola Kegiatan dalam pengadaan barang dan jasa. Kepala desa, kata Arsad, malah menunjuk orang-orangnya sendiri sebagai anggota tim. "Itu melanggar aturan," ujarnya.

Di luar kepala desa yang tahu apa yang dilakukannya melanggar, kepala desa lain malah masih bingung dengan segala ketentuan pemakaian dana desa. Mungkin itu karena perjanjiannya sulit dipahami orang desa.

Sekalipun ada beberapa contoh kepala desa yang sengaja menyeleweng, Ketua Satgas Dana Desa Bibit Samad Rianto mengatakan ada juga kepala desa yang melakukan pelanggaran karena ketidaktahuannya. "Barangkali aturannya sudah bagus, tapi sulit dipahami oleh masyarakat desa," ujarnya.

Karena benar-benar tak paham, kata Bibit, ada kepala desa yang bahkan baru sadar akan kesalahannya ketika polisi telah menaikkan penyelidikan menjadi penyidikan. Biasanya orang-orang ini mendapat penjelasan yang kurang tepat dalam proses pencairan dana desa.

Misalnya di Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, Bali. Sekretaris Desa Pegayaman Hatta Amrullah bertutur, gara-gara penjelasan yang kurang tepat, ia terpaksa menalangi pembayaran pajak hingga Rp 27 juta karena ada sejumlah item yang dikira tak kena pajak ternyata jadi obyek pajak. "Penjelasan sering berbeda-beda, bahkan di satu instansi pun sering berbeda," katanya.

Menteri Eko berjanji menguatkan Satgas Dana Desa agar penyelewengan dana desa, baik yang disengaja maupun tak disengaja, terus berkurang. Menurut dia, Satgas akan berfungsi menguatkan kapasitas pamong desa dalam mengelola uang itu sembari menunggu pembenahan dari inspektorat.

Di sisi lain, Eko meminta masyarakat tidak takut melaporkan dugaan penyelewengan dana desa ke Satgas. "Saya ingin membuat baliho di kabupaten-kabupaten yang memberitahukan ada dana desa yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat yang harus diawasi," ujarnya.

Dia berjanji meningkatkan kualitas pendamping desa-pegawai yang direkrut Kementerian Desa untuk mendampingi perangkat desa dalam mengelola dana desa. "Pendamping desa kami awasi setiap enam bulan," katanya. "Yang tidak perform kami pecat."

Gadi Makitan, Rofiqi Hasan (Buleleng)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus